⚽️ Yellow Card

174 25 18
                                    

Banu menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Benar kata orang-orang kalau hari sial tidak ada dalam kalender.

H-3 El clasico, justru dirinya ditempatkan diantara dua manusia yang sedang perang dingin. Bahkan sangat dingin akhir-akhir ini.

Bu Tika yang membagi tugas kelompok membuat proposal yang masing-masing kelompok beranggotakan tiga orang, dengan kejinya menempatkan Banu satu kelompok dengan Saga dan Zera.

Bukannya bekerjasama supaya proposal cepat kelar, justru sedari tadi sibuk war mempertahankan pendapat masing-masing. Zera yang keras kepala ditambah Saga yang tak mau mengalah, cukup membuat Banu kewalahan.

Seperti saat ini. Sepulang sekolah ketiganya langsung ngacir ke salah satu kafetaria yang dekat dengan sekolah, dan duduk di bangku paling pojok.

Di depan mereka, tersedia tiga gelas milk shake yang tersisa sedikit. Sudah hampir satu jam mereka disana. Satu jam yang sangat lama menurut Banu.

"He, iklas nggak sih lo minjemin flashdisk?!" Zera menggerutu kesal. Flashdisk milik Saga di tangannya sedari tadi seakan enggan tertancap pada laptop Zera.

Sebelum menggarap, Banu memutuskan membagi tugas. Menyusun proposal bersama dengan laptop Zera, disimpan di flashdisk Saga, dan diprint oleh Banu. Cukup adil.

"Ck, sini." Saga yang bersandar di kursi memajukan tubuh meraih flashdisk dari tangan Zera, dan dengan tenang memasangkan pada laptop Zera. "Kebalik lo masangnya!"

"Jangan grogi, Je. Tenang aja tenang.." Kali ini Banu nyeletuk dengan air muka kesulitan menahan tawa. Zera yang merasa ditertawakan menginjak keras kaki Banu yang berada di dekat kakinya hingga si empunya kaki memekik tertahan.

Untung masih sadar kalau sedang di tempat umum.

"Udah nih? Mau diedit sekarang atau lo sendiri ntar dirumah?" Tanya Saga pada Banu yang berada di depannya. Di samping Zera juga.

"Udahlah gue aja ntar." Balas Banu sembari membereskan buku-buku referensinya yang berserakan di atas meja kafetaria. Di sampingnya, Zera menyeruput kandas milk shake cokelatnya.

Tiba-tiba Banu tersenyum miring. Sebuah pemikiran terlintas di otaknya. "Duh, Je. Lo ke sekolahnya sama Saga gimana? Cewek gue dah minta jemput nih."

Dasar otak licik.

Zera menganga. Detik berikutnya ia tersadar maksud terselubung Banu. "Lah loh wahh sialan, nggak gitu mainnya. Yang bener aja! Gue kesini sama elo ya pulangnya sama lo juga lah!" Protesnya jelas tak terima.

Sebenarnya Banu tak berbohong. Si pacar yang berbeda sekolah tiba-tiba menelpon. "Sumpah dah nih. Cewek gue nelpon. Dah dulu ye.. bye. Lo berdua ati-ati." Si ketua kelas IPA 4 itu langsung ngacir sebelum mendapat protesan dari manusia satunya lagi, Saga.

"Eh gila ya Banu! Gue nggak mau pulang sama Saga woy!!" Sampai tak sadar suara kerasnya membuat pengunjung kafetaria lain mengalihkan perhatian ke arah Zera.

"Siapa juga yang mau nganterin lo!" Saga berucap ketus lantas berdiri dari duduknya.

Zera yang mendengar itu menatap Saga sinis dengan senyum miring yang tercetak jelas seperti menantang. Meskipun dalam batinnya ia enggan berjalan 200 meter kembali ke sekolah untuk mengambil sepedanya. Juga meruntuki kebodohannya yang tidak memilih ke kafetaria sekalian membawa Mark, sepedanya.

Mau nelpon Figo pun untuk saat ini percuma. Figo sedang latihan sepak bola di sekolah, ponselnya pasti di dalam tas. Huft, pemuda itu memang tidak bisa diharapkan untuk situasi saat ini.

RIVALITIONSHIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang