Selasa siang yang begitu terik. Para siswa IPA 4 bergerombol duduk di kursi bagian tengah kelas tepat di bawah kipas yang tanpa lelah berputar. Sebagian dari mereka menggenggam botol soda demi menetralisir hawa panas siang itu, sembari membuat candaan kecil.
"Lo pada tau nggak, pemain Liverpool ada yang asli Bandung?" Si receh Adam tak henti memberi topik candaan siang ini.
"Ha?" Lainnya kompak ternganga tak mengerti.
"Serius lo? Sejak kapan?"
"Itu loh, Mane teh saha?" Ucap Adam dengan tawa khasnya. Sayangnya, hanya dirinya sendiri yang tertawa.
"Lanjutin, dikit lagi lucu."
"HAHA! Sumpah garing banget!"
Sagara Mahardika. Pemuda berkulit putih itu tertawa sekilas mendengarkan candaan dari teman-temannya. Entah hal sangat baik apa yang telah ia lakukan sehingga hampir dua hari ini tidak ada satu hal pun yang mengganggu ketenangannya.
Usai klub kebanggaan Saga kalah di laga el clasico dua hari lalu, belum ada sebuah gangguan pun datang dari sang rival—Zera. Meskipun hinaan datang bertubi baik dari teman kelas ataupun anggota klub bolanya, itu tak lebih mengganggu dari gangguan yang diberikan oleh Zera.
Sejak Senin pagi kemarin, Zera mendadak hilang lenyap dari pandangan Saga bak ditelan bumi. Figo yang jelas Saga tahu adalah tetangga Zera, datang ke kelasnya memberi surat dengan keterangan izin selama dua hari dari Zera.
Sungguh itu menjadi keberuntungan tersendiri bagi Saga. Setelah kekalahan memalukan di kandang melawan musuh bebuyutan, Saga kesulitan memejamkan mata memikirkan hal buruk yang akan terjadi keesokan harinya. Memikirkan betapa menjengkelkannya muka Zera dalam mode songong. Membayangkan betapa bullyan sangat terdengar nyaring jikalau keluar dari mulut manis rivalnya itu.
Manis? Iya sih kalau bukan rival, Saga akui Zera itu manis. Ah tidak, lebih tepatnya enak dipandang.
Tunggu.. apa yang sedang ia pikirkan. Sangat jelas ia tengah memuji sang rival barusan.
Saga yang tengah duduk anteng di kursi kelas sembari melamun pada akhirnya tersadar. Bukankah seharusnya ia membuat perayaan besar karena jarang sekali ia merasa terbebas dari hinaan seorang Zera? Tapi kenapa justru pikirannya dipenuhi sosok Zera?
Sementara itu di tempat lain...
"..."
"Halah tuh kan, gini gimana mau ikut ujian kuliah?"
Zera memasang headset di kedua telinganya. Daripada mendengar sang ibu mengomeli sosok pria yang terbaring di bankar, mending mendengarkan musik sambil ngemil jajanan kota Jakarta yang enak-enak.
"Susulan juga kan bisa, bu. Lagian kenapa musti jauh-jauh kesini sih, Bu. Kan udah ada bapak yang jagain.."
"He, bapakmu lagi kerja, bang. Lagian nggak seneng apa ibu disini? Nggak kangen sama ibu kamu?"
"Y-ya kangen sih, tapi kasian Jeje Malik nggak sekolah."
"Yaelah si abang. Jeje justru kesenengan nggak berangkat sekolah."
"Nggak ya, tugas numpuk tau," kali ini Zera ikut angkat bicara karena sekeras apapun volume musik yang ia putar kalau sudah menyangkut namanya, pasti terdengar.
Mana nggak bisa bully Saga lagi. Mau bully pas berangkat kan nggak lucu banget dah kadaluarsa.. Batinnya.
"Apaan lo main hp mulu. Chattingan ama siapa? Figo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVALITIONSHIP
Novela JuvenilKata para siswa IPA 4, kelas sudah jadi seperti ragunan mini kalau Zera dan Saga sudah berulah mengeluarkan kata-kata magis membela klub bola kebanggaan masing-masing. Lain lagi kalau kata para siswi penghuni kelas jika disuguhi adegan fan war, mere...