🌠--Epilogue--🌠

2.1K 145 13
                                    

✽--Annyeong--✽

Pernikahan yang memang dari awal tidak pernah dilandasi rasa cinta, pasti tidak akan pernah pula berakhir bahagia.

Pada dasarnya, kutipan itu hanyalah sebuah fiksi, yang tak akan pernah terjadi di dunia nyata. Memang, dulu sempat ku percayai kutipan itu, tapi tidak lagi saat kak Jin mengatakan bahwa dia benar-benar mencintaiku.

Bukan omong kosong, kak Jin benar-benar membuktikannya dengan perilakunya. Tak jarang, dia memelukku hangat, dan berulang kali mengatakan kalau dia benar-benar tak mau kehilanganku untuk kedua kalinya.

Sesibuk apapun dia, dia akan selalu meluangkan sedikit waktu untukku dan juga anaknya.

Dia ... sosok ayah yang baik.

Bukan seperti pikiranku dulu, yang takut kalau kak Jin tidak mau mengakui Yoo Sun sebagai anaknya.

Kak Jin tiba-tiba mengusap dan menggenggam tanganku. Saat ini, aku sedang menemaninya di balkon, mengerjakan sedikit tugasnya yang tersisa.

"Kamu kenapa? Kok ngeliatin saya kayak gitu?" tanyanya.

"Gak papa," jawabku.

"Kamu ngantuk? Sana tidur duluan," suruhnya.

Aku menggeleng cepat, "tidak mau."

"Kenapa? Nanti kalau kamu sakit gimana?" tanya kak Jin.

"Aku akan tetap disini, sampai tugasmu benar-benar selesai," jawabku.

Dia lantas meraih kepalaku, dan meletakannya di bahunya. Dia menuntunku untuk melihat ke atas langit.

"Pernah dengar cerita bulan dan bintang?" tanya kak Jin yang ku balas gelengan.

"Bulan dan bintang, saling mencintai satu sama lain. Bintang juga selalu setia menemani bulan di langit malam."

"Lalu?" tanyaku yang memintanya untuk melanjutkan ceritanya.

"Cinta bulan dan bintang, sama seperti cinta saya dan kamu. Kamu begitu setia menemani saya, saat saya berada dalam masalah, kamu selalu jadi tempat ternyaman saya," katanya membuatku tersenyum manis.

"Berhenti membuatku merasa menjadi salah satu istri yang paling beruntung di dunia ini," ucapku.

"Tidak. Seharusnya saya yang mengatakan itu. Kamu wanita yang tegar, tangguh, mendiang bunda berhasil mendidikmu dengan baik," kata kak Jin.

"Kau salah, nyatanya aku rapuh, kalau saja kau tak lagi bersamaku. Kau pikir mudah merawat seorang anak laki-laki yang terus menanyakan dimana keberadaan ayahnya? Sama sekali tidak mudah," paparku.

"Saya tahu, sangat tahu," balasnya. "Maka dari itu, saya menganggapmu sebagai wanita sekaligus istri yang tangguh."

"Aku sangat mencintaimu, bahkan saat awal aku mengenalmu, aku sudah jatuh padamu," ungkapku.

"Kamu pikir, kamu saja yang begitu? Saya juga sama seperti kamu, tapi sayangnya ego saya masih terlalu besar saat itu," balasnya.

"Sowon..." dia memanggilku.

"Seberapa sakitnya kamu saat saya maki dulu?" tanyanya yang membuatku bingung. "Jawab saya."

Lama aku tak bergeming. Namun akhirnya, ku angkat sedikit kepalaku, dan mendekatkan bibirku dengan bibirnya. Ku tautkan bibir kami selama dua menit.

"Sesakit apapun perasaanku dulu, sekarang sudah terbayar dengan semua perlakuan baikmu," kataku.

Kak Jin menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Kemudian berulang kali mengecup pucuk kepala. Tetesan air, perlahan turun dari matanya.

"Saya benar-benar bodoh, bagaimana bisa istri sesempurna kamu, saya sia-siakan?"

"Tapi sekarang tidak lagi, 'kan?" tanyaku sembari menghapus tetes air yang turun dari matanya. "Sudah, lanjutkan saja pekerjaanmu."

Aku menidurkan kepalaku di pahanya, sementara dia sibuk berkutat dengan laptopnya. Sesekali, dia mendekatkan kepalanya ke kepalaku, dan menautkan bibir kami. Begitu seterusnya sampai tugas dia benar-benar selesai.

Kak Jin mengangkat tubuhku untuk kembali masuk ke dalam kamar. Dia meletakkanku di atas pembaringan dengan hati-hati, takut Yoo Sun terganggu dari tidurnya.

Dia menekuk tubuhnya, kemudian berbicara sebentar padaku. "Langsung tidur, ya? Awas kalau nggak tidur," katanya yang ku balas anggukan. Dia mengusap dahiku, kemudian menciumnya.

Setelahnya, dia berjalan ke sisi pembaringan yang lainnya. Dia menidurkan diri di sana. Aku mengubah posisiku, sehingga kami tidur dengan posisi berhadapan.

Dia kembali berkata untuk "tidur" dengan mengucapkannya tanpa suara, dan aku mengerti itu.

Dengan pura-pura, aku memejamkan mataku, seolah aku sudah tertidur pulas. Padahal, belum.

Setelah cukup lama, ku buka sedikit mataku memastikan apakah kak Jin sudah benar-benar tertidur, atau belum.

Ternyata, dia sudah tertidur.

Jarang sekali aku melihat wajah damainya saat dia tertidur. Damai, benar-benar damai, persis sekali seperti Yoo Sun.

Terimakasih Tuhan, karena kau telah menganugerahkan mereka padaku. Inilah anugerah terindah yang ku miliki, setelah mendiang ayah dan bunda, serta kak Namjoon.

Sowon's pov end

✽--Annyeong--✽

Author's note-; bukan tanpa alasan saya menghadirkan sticker/emoticon bintang di setiap judul chapternya. Bagi saya, bintang melambangkan kesetiaan, dan dengan kalian memberikan dukungan untuk cerita ini berupa bintang, itu artinya kalian menunjukkan kesetiaan kalian pada saya.

Dan dengan ini, saya menyatakan bahwa cerita ANNYEONG, benar-benar telah tamat. Sekali lagi, terimakasih untuk kalian yang setia😊🤗

-----

Annoying

Ini kisah tentang pandangan Sojung terhadap Seokjin. Menyebalkan. Satu kata itu yang selalu saja terbesit di pikiran Sojung kala melihat tingkah laku Seokjin.

"Bisa tidak sih, sehari saja tidak menggangguku?!"

"Sayangnya tidak bisa nona Sojung," jawab Seokjin cepat sembari sedikit tertawa, puas membuat Sojung kesal.

Bila tidak ada halangan, besok cerita ini akan saya publikasikan.

Annyeong; Sowjin ミ°endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang