Manusia menjadi serakah ketika sedang dirundung emosi. Tidak berpikir dua kali saat memutuskan sesuatu. Seakan-akan amarahmu sudah mengambil kendali sehingga otakmu lebih kuat bekerja daripada hatimu. Padahal yang dikatakan oleh lubuk hatimu lebih jujur dan tulus daripada otakmu.
Itulah yang kurasakan saat ini. Menyesali diriku sendiri atas keputusan yang kubuat tanpa berpikir lebih jauh. Masih teringat jelas di ingatanku bagaimana aku mengakhiri semuanya bersama Seungcheol.
Tiga kata sialan itu.
"Aku tidak mengerti sesibuk apa dirimu, aku tidak mengerti sepadat apa jadwalmu tapi sesulit itukah untuk setidaknya mengabariku bahwa kau baik-baik saja?!"
"Ya, itu sulit! Kau tidak mengerti! Sebentar lagi aku lulus. Kau tau aku sedang menyusun skripsiku dan itu membutuhkan waktu yang lama dan aku harus mengerjakannya dengan sunguh-sungguh!"
"Oh, begitukah? Apakah mengetik 'aku disini, aku disana, kau tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja' yang bahkan tidak membutuhkan waktu berjam-jam akan menguras waktumu menyelesaikan skripsi itu?"
"Kau tidak mengerti, (y/n). Kenapa kau begitu–"
"Karena aku peduli padamu! Aku khawatir jika terjadi sesuatu padamu! Aku tidak bisa tidur dengan tenang sedangkan pacarku tidak ada kabar dalam waktu yang lama. Aku hanya ingin kepastian!"
"Kau harus tau, salah satu alasanku melakukan ini adalah kau. Aku melakukan ini demi kau. Sayang, aku mencin–"
"Mari kita akhiri saja."
"A-apa?"
"Aku tidak sanggup dengan semua ini. Kita putus saja."
Aku tau aku egois. Atau lebih tepatnya aku baru menyadari bahwa aku egois. Dengan bodohnya, dengan seenak jidatnya, otak dangkalku memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Dan setelah itu aku mendapat imbasnya. Penyesalan. Yang orang-orang bilang bahwa penyesalan datang di akhir, itu benar adanya. Pada akhirnya aku menyesali perbuatanku sendiri.
"Kau terlihat seperti mayat hidup."
Suara itu membuyarkanku dari lamunan. Aku menoleh padanya, pria sipit yang sedang menyeruput secangkir espresso di hadapanku. Pria yang menyandang status sebagai sahabat seumur hidupku itu menjadi korban pelampiasanku setelah aku menangisi perbuatanku selama seminggu ini. Ia rela meninggalkan waktu istirahatnya hanya untuk menemuiku di café dekat kampus dan mendengarkan curhatku.
"Jihoon-ah, aku harus bagaimana?"
Ia meletakkan cangkirnya di atas meja. Lidahnya bergerak di atas bibirnya menghapus sisa-sisa cairan kopi pahit disana kemudian bersandar di kursi seraya menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Bagaimana ya..."
Kuhembuskan napas dengar keras sarat akan putus asa, "Aku bertanya padamu karena kau laki-laki. Maksudku, kau juga sedang menjalani sebuah hubungan. Aku ingin tau bagaimana pandangan kaum pria terhadap wanitanya yang bersikap sepertiku."
Ia terlihat berpikir. Maniknya tertuju padaku lurus. Matanya yang sipit dan posisi duduknya semakin mendukung ekspresinya yang seakan-akan sedang mengintimidasi. Nyaliku menciut tiba-tiba. Tak berani menatap matanya sehingga kubuang pandanganku ke luar jendela.
"Setiap orang itu berbeda-beda, meskipun di dunia ini hanya ada dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Tapi aku yakin sebagian besar kaum adam akan merasa kecewa jika diperlakukan seperti itu."
Aku tau. Aku menyesal. Aku sudah mengecewakannya. Memutuskannya secara sepihak tanpa mendengarkan penjelasan darinya. Aku memang bodoh.
Bingung harus bagaimana aku hanya berkata, "Aku sangat menyesal."