Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarumnya menunjukkan pukul 6 sore. Sudah 20 menit berlalu setelah aku keluar dari kantor dan menunggu Jeonghan yang akan menjemputku. Jika saja hujan tidak sedang turun, aku akan menunggu di café seberang jalan dan memesan kopi hangat sambil menunggu kedatangannya. Sayangnya aku lupa membawa payung, jadi disinilah aku berdiri di depan kantor tempatku bekerja sembari menyahuti sapaan rekan kerjaku yang ingin pulang.
Tak lama kemudian, audi hitam yang tidak asing berhenti di depanku. Kedua sudut bibirku tertarik saat melihat Jeonghan menyembul dari kursi kemudi dengan payung di atas kepalanya. Aku tidak kesal karena ia terlambat menjemputku. Mungkin operasi yang ia lakukan pada pasiennya membutuhkan waktu lebih banyak dari yang diperkirakan.
"Maaf membuatmu menunggu lama."
Aku menggeleng, "Bukan masalah."
Tanpa babibu ia menuntunku masuk ke dalam mobil. Ini aneh. Biasanya ia akan basa-basi dulu entah itu memelukku, menanyakan hariku, atau bahkan mengajakku ke kedai langganan kami.
Oh, mungkin karena sekarang sedang hujan.
Kulihat ia mengitari mobil lalu duduk di kursi kemudi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia menjalankan mobilnya dalam diam. Aku meliriknya was-was. Wajahnya terlihat datar dari sudut mataku. Tiba-tiba aku khawatir jika aku melakukan kesalahan, karena tidak biasanya Jeonghan sediam ini.
"Kau ingin langsung pulang atau kita makan dulu?"
Hampir aku terperanjat karena pertanyaannya yang tiba-tiba, "P-pulang saja."
Suasananya sungguh canggung. Dan ini semakin menjadi ketika aku tidak tau apa yang terjadi. Ditambah, diluar sedang hujan. Bahkan untuk menoleh kearahnya saja aku tidak berani. Akhirnya aku mengalihkan pandanganku ke jendela, sambil mempertanyakan apa gerangan yang terjadi pada Jeonghan.
Mobil berhenti saat lampu merah. Helaan napas yang cukup keras sampai ke pendengaranku setelah beberapa saat sunyi. Bunyinya begitu nyaring hingga aku cepat-cepat menoleh ke arah Jeonghan.
"Kau baik-baik saja?"
Ia menoleh padaku cepat. Matanya berkedip seperti baru sadar dari lamunan. Lalu ia tersenyum lesu, "Aku baik-baik saja."
Aku mengerutkan dahi. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang buruk. Biasanya ia akan cerewet. Menceritakan harinya, menceramahiku ini itu, atau memberikan lelucon garing. Jarang sekali melihatnya bungkam seperti ini. Dan pasti sesuatu yang telah terjadi membuatnya bersedih. Lantas kugenggam tangan kanannya dan mengelusnya lembut. Aku mengerti ia butuh waktu untuk menceritakannya padaku. Jadi kubiarkan ia melajukan kembali mobilnya dan berkendara dalam diam sembari jari-jarinya bertautan dengan milikku.
Jeonghan mematikan mesin mobilnya ketika sampai di depan rumahku. Ia belum turun dari kursinya begitu juga denganku. Aku menatapnya iba. Pandangannya terlihat kosong menatap lurus ke depan.
"Mampirlah."
Jeonghan beralih padaku. Matanya yang sayu menatapku lama. Sepertinya masalah yang menimpanya cukup berat, entah apa itu.
"Aku tidak mau kau berkendara dengan keadaan seperti ini."
Akhirnya ia memutuskan untuk mampir, atau mungkin akan menginap karena sedari tadi hujan belum juga reda. Aku menyuruhnya duduk di sofa sementara aku pergi mandi. Setelah 15 menit aku membersihkan diri, aku menghampirinya yang sedang bersandar di sofa menghadap ke atap sambil memejamkan matanya. Ia terbangun ketika menyadari sedikit guncangan di sampingnya.
Bibirnya masih terkatup enggan untuk menceritakannya padaku. Aku pun menatapnya iba, "Ada apa denganmu?"
Lama ia menatapku dengan mata sayunya, ia menggenggam tanganku lalu mengusapnya. Tanpa menjawab, ia kembali memejamkan kedua matanya. Sudut bibirku tertarik, gemas akan tingkahnya yang sedang merajuk seperti ini. Jika ia sedang ada masalah atau suasana hatinya sedang buruk atau bosan, ia akan diam dan mengungkapkannya lewat perilaku seperti sekarang ini. Terkadang ia akan memainkan rambutku, menciumi punggung tanganku yang sama sekali tidak beraroma, atau bahkan hanya menatapku lurus sampai ia lelah.