11. Joshua

264 23 0
                                    

"Ibu, apa kau melihat cardigan abu-abu milikku?" Kuturuni tangga satu persatu menuju dapur tempat dimana ibu berada. Kulihat ia sedang mencuci piring kotor bekas sarapan.

"Yang mana?" Ia menoleh padaku tanpa menghentikan aktifitasnya. Hebat sekali, padahal matanya tertuju padaku tapi kedua tangannya membilas piring-piring itu dengan lihai.

"Yang ada renda di lengannya." Aku mendekat padanya. Seingatku, aku baru memakainya 2 hari yang lalu dan kugantungkan di kapstok.

"Ah, kucuci tadi pagi."

"Kenapa tidak tanya dulu padaku? Aku baru memakainya 2 hari yang lalu hanya untuk pergi ke mini market."

"Tadi pagi kau masih tidur."

"Aku kan sudah bilang aku yang akan mencuci pakaian kotorku sendiri."

Ibuku ini terlalu rajin. Aku sudah bilang padanya pakaian kotorku akan kucuci sendiri saat sma. Kupikir karena aku sudah besar jadi aku harus melakukannya sendiri. Tapi terkadang ibu malah mencucinya.

"Jangan terlalu menguras tenagamu. Aku ini sudah besar. Aku sudah bisa melakukan pekerjaan yang seharusnya kulakukan sendiri."

"Aigo... anakku ini baik sekali." Ia menyenggolku pelan dengan pinggulnya. Terlihat kerutan di sekitar matanya saat ia tersenyum membuatku teringat akan umurnya yang semakin menua.

"Mulai sekarang jangan lagi mencuci pakaian kotorku sehelai pun, oke?"

"Geurae, geurae." Aku tertawa melihatnya yang sedikit kesal. Aku tau ia hanya ingin mengerjakan tugasnya sebagai ibu dengan baik. Tapi kupikir ia hanya harus mengurusi ayah karena sekarang aku sudah besar. Bagiku tugasnya hanya harus menyiapkan makanan yang enak dan tidak berhenti menyayangiku.

"Mau pergi?" tanyanya yang sudah selesai dengan aktifitasnya dan sedang mengelap tangannya yang basah.

Aku mengangguk, "Aku ada janji."

Ting tong.

"Panjang umur. Buka pintunya sana."

Segera kuhampiri pintu depan untuk membukanya. Aku tidak tau ia akan datang secepat ini. Kukira ia masih di perjalanan.

Sedetik kemudian tubuhku membeku setelah melihat orang yang ada di balik pintu. Bibirku mendadak terasa begitu kelu untuk mengucapkan setidaknya sambutan selamat pagi. Untuk beberapa saat aku tidak bisa melakukan apapun seakan-akan ada tali yang mengikat seluruh tubuhku. Sungguh, aku benar-benar terkejut. Kenapa dia ada disini?

"(y/n), kenapa tidak dipersilahkan mas-"

Ibuku datang. Terdengar dari nada bicaranya sepertinya ibuku juga kaget. Tapi dalam artian yang berbeda denganku.

"Joshua? Ya ampun, kau kembali." Ibuku dengan senyuman lebarnya memeluk Joshua.

"Lama tak jumpa, eomeonim."

"Lihatlah dirimu, semakin tampan saja. Ayo masuk dulu."

Aku tersadar dari lamunanku akibat senggolan ibu di lenganku. "Kenapa melamun? Ayo masuk."

Aku pun membuntuti ibu dan Joshua yang berjalan menuju ruang tamu. Jiwaku rasanya seperti sedang melayang pergi entah kemana. Kedua mataku berputar kesana kemari kebingungan menanyakan kedatangannya di otakku.

"(y/n), buatkan minum untuk Joshua," perintah ibuku.

"B-baiklah." Kuseret kakiku menuju dapur meninggalkan ibuku yang antusias mengobrol dengannya.

Joshua. Dia mantan kekasihku. Tepatnya sejak beberapa tahun yang lalu saat aku memutuskan hubunganku dengannya.

Setelah lulus sma, ia melanjutkan pendidikannya di Inggris. Tentu saja berita itu cukup mengagetkanku. Sebelumnya ia tidak bilang apapun namun satu hari setelah hari kelulusan ia bilang ia diterima di Universitas Cambridge yang membuatku marah namun tidak bisa meluapkannya karena aku tidak berhak marah.

Imagine with SeventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang