Aku membuka mata perlahan saat sinar matahari mulai masuk menyilaukan penglihatanku. Aku menoleh ke arah jendela kamar yang tirainya terbuka lebar. Rupanya aku lupa menutupnya semalam. Pening segera menyerang kepalaku saat aku mencoba duduk dari tidur. Dengan reflek tanganku memegang kepalaku yang sedang nyut-nyutan. Permukaan kulit yang panas langsung menyentuh telapak tanganku. Ingatanku berputar. Ini pasti karena semalam aku kehujanan di perjalanan pulang dari halte bus menuju apartemen. Aku lupa membawa payung, alhasil aku harus menerobos derasnya hujan menuju apartemen yang letaknya cukup jauh dari halte bus.
Kutarik tanganku untuk meraih ponselku yang terletak di meja nakas. Jam menunjukkan pukul 9 pagi saat aku membuka kunci layar ponsel. Lalu tepat di bawahnya tertulis tanggal yang membuatku teringat pada sesuatu. Dengan sigap aku menyandarkan punggung di sandaran ranjang yang membuat kepalaku kembali merasakan pening yang amat sakit.
Hari ini adalah hari kepulangan Myungho dari China. Ada beberapa hal yang harus ia urus berkaitan dengan keluarganya sehingga membuatnya harus terbang ke tanah kelahirannya seminggu yang lalu. Aku menghembuskan napasku yang panas dengan lemah. Aku sudah berjanji akan menjemputnya di bandara tapi dengan keadaanku yang seperti ini tidak memungkinkan bagiku bahkan hanya untuk keluar dari pintu apartemen. Lagi-lagi pusing melanda kepalaku.
Kuputuskan untuk menghubunginya dan memberi kabar bahwa aku tidak bisa menjemputnya.
"Halo?" Terdengar suara Myungho dari sana.
"Hei, kau sudah sampai?"
"Ya, aku baru saja sampai, sedang menunggu koper. Ada apa dengan suaramu? Kau terdengar seperti baru bangun tidur."
Aku terkekeh lemah dengan mata yang terpejam, "Aku memang baru bangun tidur tapi dalam kondisi yang buruk. Maaf, aku tidak bisa menjemputmu. Sepertinya aku terkena demam."
"Kau demam?" Seketika nada bicaranya berubah menjadi khawatir, "Bagaimana bisa?"
"Kehujanan," ada jeda sedikit karena pening kembali menyerangku, "maaf aku tidak bisa menyambutmu di bandara."
"Tidak apa-apa. Aku akan segera ke apartemenmu. Tunggu aku, oke?"
"Ng...hati-hati. Tidak usah buru-buru."
Kutaruh ponselku kembali di meja nakas setelah mengakhiri sambungan telepon. Kupijat sedikit pelipisku, berharap bisa menghilangkan rasa sakitnya. Kusibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhku lalu menurunkan kedua kakiku dari ranjang. Aku harus minum obat agar bisa sembuh. Dan untuk minum obat, aku harus makan setidaknya beberapa suap nasi atau roti atau apa saja yang bisa dimakan. Jadi kuseret tungkaiku dengan perlahan menuju dapur.
Sesampainya di dapur, aku segera membuka kulkas untuk mencari makanan disana. Dan aku bersyukur saat melihat persediaan bubur instan masih ada disana. Jujur saja, aku tidak bisa memasak bubur. Selalu saja ada yang salah dengan takarannya entah itu berasnya atau airnya. Jadi lebih baik aku menyediakan bubur instan di dalam kulkas.
Setelah berkutat di dapur selama 10 menit, aku membawa nampan berisi semangkuk bubur, air putih, dan obat ke kamarku. Tadinya aku ingin memakannya di meja makan tapi aku teringat bahwa aku harus menghubungi temanku untuk memberi kabar pada dosen bahwa aku tidak bisa mengikuti perkuliahan hari ini. Dan lagi, pening di kepalaku terasa sangat menyakitkan. Rasanya aku ingin cepat-cepat berbaring saja di kasur.
Sesampainya di kamar aku segera mendudukkan bokongku di atas kasur, memberi pesan singkat pada temanku lalu melahap bubur instan yang kubuat. Salah satu momen yang tidak kusukai saat sakit adalah ketika aku mencium bau makanan yang sangat menggiurkan, kemudian saat makanan itu sampai di lidahku, rasanya berbanding terbalik dengan baunya. Apapun makanannya, minumnya teh botol sosro. Eh, bukan. Maksudku, apapun makanannya, seenak apapun makanannya, rasanya akan sama ketika kau sedang sakit. Pahit. Jadi dengan cepat aku menghabiskannya, tidak ingin terlalu menghayati rasa bubur yang menempel di lidahku terlalu lama. Bisa-bisa aku muntah.