Hari sudah semakin malam. Jam menunjukkan pukul 8 dan aku masih berada di kampus, mengikuti evaluasi dari kegiatan yang baru saja selesai sore tadi. Aku bersyukur kegiatannya berjalan dengan lancar tanpa kendala dan sukses sampai akhir. Tapi sekujur tubuhku rasanya ingin remuk. Kepalaku terasa berat, aku mengantuk dan perutku lapar. Dalam keadaan seperti ini mustahil untuk mencuri waktu sedikit saja hanya untuk memakan roti di tengah-tengah kegiatan. Bahkan aku sudah tidak bisa fokus mendengarkan ketua pelaksana yang sedang bercuap-cuap di depan sana. Ingin rasanya aku cepat-cepat pulang, mandi, makan lalu tidur di kasurku yang empuk itu.
Hansol yang tadi izin meninggalkan ruangan telah kembali lalu duduk di kursi kosong di sampingku.
"Kau meninggalkan ini," ucapnya seraya menyodorkan tabung plastik kecil berisi belasan pil. Obat yang harus selalu kubawa jika saja penyakitku kambuh.
Aku pun menerimanya dengan sedikit terkejut, "Terima kasih, untung kau menemukannya. Itu persediaan terakhir, aku belum meminta resep lagi ke rumah sakit."
Hansol mengangguk, "Kau sudah baikan?"
"Ya, tentu. Karena obat ini," jawabku kemudian dengan sedikit lesu. Sungguh, aku tidak bisa menyembunyikan wajah lelahku.
Tadi saat seluruh panitia termasuk aku sedang membereskan peralatan, penyakitku kambuh hingga membuat semua orang panik. Pasalnya mereka tidak mengetahui perihal penyakit yang kuidap. Untung saja aku tidak lupa untuk membawa obatku jadi aku selamat saat itu. Mereka menyuruhku untuk pulang lebih dulu namun aku menolak karena ya, aku kembali pulih setelah menelan pil tersebut. Jadi aku lanjutkan mengemasi peralatan hingga aku masih disini, duduk mengikuti evaluasi kegiatan.
Aku tau, seharusnya aku tidak boleh kelelahan karena penyakitku. Tapi aku tidak bisa meninggalkan kegiatan ini. Aku hanya ingin mengembangkan diriku dengan bersosialisasi, mengikuti banyak kegiatan mahasiswa. Sederhana memang.
"Kau tidak ingin pulang duluan? Aku akan mengantarmu. Kau terlihat sangat lelah." Hansol, satu-satunya orang di kegiatan ini yang mengetahui penyakitku, menatapku iba.
Aku menggeleng, berusaha untuk tersenyum, "Tidak. Sebentar lagi juga selesai."
Tiba-tiba ponsel di genggamanku bergetar tanda panggilan masuk. Disana tertulis nama Seungkwan. Tanpa menimbulkan suara, aku pun meninggalkan ruangan lalu mengangkatnya di luar.
"Ya, ada apa?"
"Kau dimana?"
Aku terdiam sejenak. Pasalnya Seungkwan berbicara dengan nada serius dan tanpa basa-basi.
"M-memang kenapa?"
"Kubilang kau sedang dimana?!"
Aku sedikit tersentak saat ia sedikit meninggikan nada bicaranya. Aku khawatir jika ia mengetahui kegiatanku saat ini, karena kau memang tidak memberitahunya.
"A-aku masih berada di kampus."
Ada jeda sebentar dari sana. Lalu terdengar helaan napas cukup keras yang membuat detak jantungku semakin kencang.
"Pulang."
Kali ini nada bicaranya terdengar sangat tegas dan dingin.
"Tapi-"
"Pulang sekarang atau kau ingin aku menjemputmu kesana?"
Tidak. Itu ide buruk jika Seungkwan menjemputku kesini.
"Baik, baik. Aku akan pulang sekarang. Kau tidak perlu menjemputku," cegahku kemudian, karena jarak dari rumahnya menuju kampusku cukup jauh, "Hansol akan mengantarku."
