Lelaki itu

14.5K 478 15
                                    

#CT (Cinta Terlarang)

'Bukanlah inginku menjadi budak cinta bagi pemuda yang tak selayaknya dikasihi.'


Scroll, scroll dan scroll. Aktivitasku selama setahun menjanda tak lain adalah selalu mencari tahu kehidupan sang mantan melalui sosial media. Apakah ia masih mampu berbahagia setelah puas meninggalkan aku dan darah dagingnya?

Sakit! Ya ... sakit, ketika melihat ia masih bisa tertawa lebar dengan kekasih barunya di tengah penderitaan kami. Andai tega, kan kuberitahukan wanitanya bila kekasih yang ia banggakan selama ini ternyata adalah lelaki yang pernah menyia-nyiakanku.

Muda, cantik, energik, dan pekerja keras. Begitu yang orang-orang ucapkan padaku. Terlihat sempurna bukan? Ya ... sempurna bagi mereka yang tak kenal diriku sesungguhnya. Percaya diri? Nggak terlalu sebenarnya. Aku cenderung pesimis dan menutup diri, karena di usiaku yang tengah memasuki dua puluh lima tahun ini, aku telah berstatus janda dari satu balita.

"Resya ...."

"Hmm, Bu."

"Malu ibu, hampir setiap hari rumah kita kedatangan tamu laki-laki. Kenapa nggak kamu terima salah satu dari mereka? Lelah ibu tuh menghadapi ocehan tetangga."

"Apa sih, Bu? Nggak perlu didengarkan itu tetangga! Memang Resya yang undang mereka ke rumah? Nggak sama sekali!

"Gini, Res! Maksud ibu itu, ya sekalian, biar kamu cari pendamping. Apa nggak capek hidup menjanda? Banyak yang goda, susah payah nafkahi anak sendiri. Kamu tau sendiri, ibu dan bapak udah ngga bisa bantu materi."

Tenggorokan serasa tercekik, saat untaian kalimat tersebut keluar dari mulut ibu. Begitu menohok hati, menciptakan sesak yang tak mampu terobati. Menjadi janda bukanlah inginku, sungguh! Lelah sebenarnya, hidup di tengah gunjingan tetangga sebab banyak yang mendekati. Bukan karena mengundang atau gatal terhadap lelaki, mereka sendiri yang datang--meski aku terkesan menutup diri.

Adalah sebongkah benda merah bernama hati, yang telah mengeras akibat ujian yang terus-menerus menerpa. Bukan inginku terus menolak lelaki yang berusaha singgah untuk menemani. Lihat mereka! Maukah menerima Echa? Putri yang kulahirkan empat tahun lalu? Tentunya tak semudah itu.

🍀🍀🍀

Aku mematut diri di depan cermin, memastikan tatanan rambut telah tergulung indah sempurna. Sebuah kemeja berwarna marun dan rok hitam berulas selutut menambah daya tarik di pagi ini. Berkacak pinggang sambil berputar, yang tentunya hanya berani kulakukan di kamar saat sendiri. Aku centil, iya centil saat sendiri. Kalau di luar? Jangankan bermanja-manja sama lelaki. Lihat cowok nongkrong di warung pun aku lebih milih balik lagi daripada harus bertegur sapa dengan mereka.

"Ibu, Resya berangkat kerja dulu. Titip Echa, ya," teriakku dari ruang tamu, yang pasti terdengar sampai ke kamar ibu yang terletak di lantai dua.

"Bunda ...." Gadis kecil itu memanggilku lirih. Bulat matanya memandangku sendu, selalu terjadi drama seperti ini saat hendak berangkat kerja.

"Echa ...." Erat kupeluk balita empat tahun tersebut, meyakinkan bahwa semua yang kulakukan adalah demi dirinya.

"Bundanya temen-temen aku aja ngga kerja, yang kerja ayah mereka. Kalau Echa, kok nggak punya ayah, Bun?"

"Echa, dengerin bunda. Bunda begini, semua demi Echa. Untuk susu, sekolah, baju, mainan, dan untuk ajak Echa jalan-jalan."

Berat rasanya melepas dekapan anak ini. Jika bisa memilih, aku tak ingin berjuang sendiri seperti ini. Menjalani peran ganda seperti ini, bukan hal yang mudah. Ada kalanya aku merasa lelah dan tak bergairah, seolah tak memiliki tujuan hidup yang jelas. Asal kerja, makan, begitu saja terus setiap hari. Putriku bahkan tak kenal ayahnya, ia meninggalkan kami sejak usia Echa belum genap setahun. Jangankan uang bulanan, jajan Echa saja ... entahlah.

Cinta TerlarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang