Bagian 9

1.2K 70 0
                                    

Divia memandangi kotak kardus yang berada diatas kasurnya. Kardus berwarna coklat itu sudah tampak hampir penuh. Divia menghela nafas, ditatapnya sebuah foto antara dirinya dan Bagas yang diambilnya dulu, dia tidak yakin apakah masih akan menyimpan foto itu, atau memasukkannya kedalam kardus bersama barang-barang kenangan lainnya.

"Akh, buat apa gue simpan ini." Gumamnya kemudian melempar foto itu kedalam kardus.

Mungkin memang terkesan kekanakan hal yang dilakukannya saat ini. Mengumpulkan semua barang-barang kenangannya dengan Bagas dan memyimpannya rapat-rapat. Namun bagi Divia hal inilah cara paling efektif baginya untuk bisa melupakan cowok itu dengan mudah.

Setelah semuanya beres, dan dirasa tidak ada barang tersisa, cewek itu segera bersiap untuk menuju kampus. Sebenarnya sejak tadi pagi kepalanya sangat pusing. Migrain yang dideritanya kambuh sejak semalam. Mungkin karena efek kurang tidur, banyak pikiran dan patah hati membuat penyakit yang tidak diinginkannya itu datang tiba-tiba.

Meskipun hatinya ingin sekali absen hari ini, namun tidak bisa dilakukannya karena ia tidak ingin membuat semua orang khawatir, apalagi Amel. Makanya meskipun lemah, ia berusaha untuk tetap kuliah, meskipun harus seperti ini, berjalan gontai hanya untuk sampai ke kampus.

Belum sampai gerbang, dilihatnya Arion berjalan menuju kearahnya. Divia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, yang jelas ia tidak ingin bertatap muka dengan cowok itu dan hal benar yang harus dilakukannya adalah berbalik dan lewat jalan lain.

Namun belum sempat Divia memutar badan, suara berat Arion sudah membuatnya mematung.

"Loe udah makan?" Tanya Arion ketika sudah berdiri di samping Divia. Sudah lebih dari satu jam cowok berhidung mancung itu menunggu Divia di depan gerbang.

Divia menatapnya sekilas, kemudiana melengos.

Arion menghela nafas. Dia yakin Divia sama sekali belum mengunyah makanan, entah dari kapan. Terlihat dari wajahnya yang pucat, dan matanya yang sayu mirip zombie.

"Loe harus makan!" Arion menggamit tangan Divia dan menariknya untuk mengikutinya.

"Loe ngapain sih Ar!" Divia berusaha melepaskan tangan Arion yang melingkar di pergelangannya.

"Vi selain loe tuh dah kayak zombie, badan loe juga panas. Seneng banget ya, nyiksa diri sendiri!" Suara Arion meninggi tanpa disadarinya. Dia kesal melihat Divia yang semakin tidak memperdulikan dirinya sendiri hanya karena patah hati.

"Lepasin gue!" Divia berusaha melepaskan tangan Arion sekali lagi.

"Gue ada kuliah sebentar lagi!"

"Hari ini loe bolos aja!"

"Nggak bisa."

Arion mendengus. Ditatapnya Divia yang masih berusaha melepaskan tangannya.

"Loe pikir pelajaran bisa masuk kalau loe aja nggak bisa konsetrasi sama diri loe sendiri!"

Divia tidak menyahut, tangannya berusaha keras melepaskan tangan Arion.

Nihil!

Tangan cowok itu lebih kuat darinya, sehingga apa yang dilakukannya akan sia-sia.

Divia berdecak, dengan berat hati ia ikuti saja kemana tangan Arion menariknya, toh Divia juga tidak akan menang melawan Arion yang lebih besar darinya itu.

Arion tersenyum kecil, ketika dirasanya tangan cewek itu mulai melemas dan terlihat pasrah mengikutinya ke parkiran mobil.

Arion membawa Divia ke sebuah cafe yang tidak jauh dari kampus. Cafe itu sangat tenang. Suara alunan piano yang lembut seperti sebuah therapi yang bisa merilekskan pikiran yang kaku. Sepertinya Arion memilih tempat itu karena sangat tepat untuk membantu Divia lebih nyaman.

Divia duduk diatas sofa berwarna maroon dengan bentuk hati, di depannya Arion juga duduk dengan mata yang terus memandanginya tanpa jeda. Divia merasa risih dengan tatapan itu, tapi dia tidak ada tenaga untuk berkomentar atau mencacinya.

"Loe mau pesen apa?" tanya Arion kemudian ketika waiters perempuan dengan potongan rambut pixie menyerahkan menu.

Divia menghela nafas legas, setidaknya perhatian cowok itu sedikit bisa teralihkan.

"Gue mau minum kopi." Jawab Divia lugas.

Arion mendengus.

"Vi, dengerin gue......."

"Gue mau makan, kalau loe pesenin gue secangkir kopi!" Ancam Divia dengan sorot mata tajam kearah Arion.

"Gue suka kopi!"

Arion berdecak.

"Seingat gue beberapa hari yang lalu ada cewek yang bilang kalau dia nggak suka kopi. Apa dia sudah berubah pikiran?" Ledeknya.

Divia tidak segera menjawab karena termakan omongannya sendiri.

"Kalau gue nggak boleh minum kopi, gue pergi!" Divia menyambar tas disampingnya.

"Oke....oke! Loe boleh minum kopi. Terserah loe!" Jawab Arion pasrah.

Arion menarik nafas. Sebenarnya ia kesal, namun bagaimana lagi. Jika secangkir kopi bisa membuat Divia mau mengisi perutnya pagi ini, kenapa tidak?!

Tak berselang lama, dua cangkir kopi dan seporsi nasi goreng ayam yang masih mengepul terhidang di depan mereka. Bau nasi goreng panas yang wangi dan gurih itu sepertinya lezat namun kelihatannya Divia juga tidak berselere dengan makanan itu. Sudah beberapa hari ini, pola makannya kacau.

"Habisin." Arion menyruput kopinya.

"Loe?" Divia acuh tak acuh. Dia juga mengikuti Arion menyruput kopi manis tersebut. Rasa kopi memang sangat enak, namun Divia tidak yakin jika migrainnya akan sembuh dengan secangkir kopi yang dipegangnya ini. Atau justru malah semakin menjadi.

"Gue udah makan tadi." Jawab Arion.

"Loe sebenarnya nggak usah berlebihan seperti ini." Komentar Divia mengaduk-aduk nasinya.

"Maksud loe?"

"Loe nggak perlu sok perhatian seperti ini sama gue. Gue tau kalau saat ini loe lagi berbahagia dengan keadaan gue."

Arion membuang nafas cepat. Ditaruhnya cangkir yang dipegangnya dengan cepat, sehingga menyisakan suara keras saat cangkir porselen dan alasnya itu saling bersentuhan.

"Gue nggak sok perhatian sama loe dan gue juga nggak sejahat itu sama loe meskipun dulu gue sempat tersakiti karena loe."

Divia tidak menjawab. Suara Arion yang meninggi jelas mengisyaratkan bahwa cowok itu tidak suka dengan apa yang dikatakannya tadi.

"Loe kayaknya harus belajar deh Vi, menghargai perasaan tulus seseorang!" Kata Arion sekali lagi dengan jelas.

Divia tidak menjawab. Tangannya sibuk mengaduk-aduk nasi goreng di depannya tersebut kemudian mulai memakannya pelan-pelan. Namun ditengah-tengah makan, tiba-tiba kepalanya berdenyut semakin hebat dan ia sudah tidak kuat menahannya lagi.

"Arrrgh....!" Erangnya tiba-tiba sambil mencengkeram kepalanya. Sendok yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke lantai.

"Vi....!" Arion melompat dai tempat duduknya dan mendekati Divia.

"Loe kenapa?!"

"Kepala gue....kepala gue pusing banget!" Suara Divia bergetar.

"Gue nggak tahan lagi Ar!"

Arion terlihat panik, dilihatnya wajah Divia semkain pucat dan keringat dingin mulai keluar melalui pori-porinya.

"Vi....Loe kuat berjalan sampai mobil?"

Divia tidak menjawab, tangannya ganti mencengkeram lengan Arion dengan kuat.

Arion menarik nafas, dalam sekejap tubuh mungil Divia sudah berada dalam pelukannya, ia bisa merasakan bahwa tubu itu bergetar hebat menahan sakit. Tidak ada jalan lain, tanpa meminta persetujuan Divia, Arion langsung mengangkat tubuh itu dan berlari membawanya ke dalam mobil.

***

Reuni Sang Mantan (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang