Bagian 21

1K 48 0
                                    

"Ada yang golongan darahnya A?" Seorang perawat menghampiri Divia yang terkulai lemas di pundak Arion.

"Saya sus!" Divia langsung bangkit dari duduknya.

"Golongan darah saya A."

"Pasien Amel memerlukan tranfusi darah segera mbak. Apa mbak bersedia untuk mendonorkan darah buat Pasien Amel?" Tanya perawat itu kemudian.

Divia mengangguk cepat. Apapun akan ia lakukan asal Amel cepat sadar.

"Saya bersedia."

"Baiklah, mbak bisa ikut saya? Untuk mengisi formulir."

Divia mengangguk, kemudian menoleh kearah Arion.

"Tunggu sebentar ya." Ia meremas tangan Arion.

Arion mengangguk.

***

Dokter mengatakan bahwa kondisi Amel mulai stabil meskipun belum sadar. Untung saja ia segera ditemukan, kalau tidak mungkin nyawanya tidak akan tertolong karena kehilangan banyak darah.Dan untung saja, golongan darah Divia sama dengan Amel, jadi pertolongan bisa segera dilakukan.

Amel butuh perawatan intensive sampai ia sadar. Divia sedikit bernafas lega setidaknya sahabatnya sudah dinyatakan tidak kritis lagi, namun rasa bersalah itu masih terus membayangi dirinya. Makanya selama Amel di rumah sakit, Divialah yang mengurusnya. Memandikannya setiap pagi dan sore, membersihkan kamarnya, membacakan cerita setiap malam, dan bahkan Divia sering tertidur di samping Amel karena kelelahan.

Seperti malam ini, Divia tidak sengaja tertidur di samping Amel sampai Arion membangunkannya.

"Vi, udah malem. Loe nggak pulang..." Arion mengoyangkan tubuh Divia dengan lembut.

Divia menggeliat sedikit, kemudian membuka matanya. Dilihatnya jam yang tergantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

"Oh, loe datang?" Divia membenarkan letak duduknya. Sudah beberapa hari ini ia tidak betemu dengan cowoknya tersebut. Perasaan rindu yang menyerangnya diam-diam membuatnya ingin memeluk Arion degan erat. Namun, ia tidak bisa melakukannya, apalagi setiap mengingat keadaan Amel.

"Loe ngapain disini?" Lanjutnya.

"Gue tadi ke kos loe, trus Tiwi bilang loe belum pulang."

"Oh..." Divia menunduk membenarkan letak selimut Amel. Sekilas ia melihat wajah Amel yang masih belum sadarkan diri. Matanya berkaca-kaca.

"Loe nggak pulang?" Arion memandang Divia prihatin.

"Udah dua hari loe nggak pulang'kan?"

Divia mengangguk. Sudah 2 hari ia tak pulang ke kos, dan sudah 2 hari pula ia tidak berangkat kuliah.

"Ar....gue mau ngomong sesuatu." Gumam Divia pelan.

"Ngomong aja."

Divia kembali megalihkan pandangan kearah Amel yang membisu.

"Jangan disini. Kita keluar aja ya."

Arion berfikir sesaat, kemudian mengangguk.

Divia berangsur dari kursinya degan pelan. meskipun badannya terasa sangat lelah, namun malam ini ia bertekad untuk menemani Amel di rumah sakit lagi. Meskipun rencananya Bi Warni juga datang malam ini.

Angin malam yang dingin menerbangkan rambut Divia. Suasana kota Jakarta dari helipad rumah sakit itu tampak indah. Lampu-lampu bertebaran di seluruh penjuru kota, laksana bintang.

"Loe mau ngomong apa sampai harus kesini?" tanya Arion menahan dingin.

Divia memandang Arion. Angin dingin berhembus menerpa tubuhnya, membuatnya kembali merekatkan sweeter yang dipakainya.

"Mari kita putus Ar..." Gumamnya perlahan. Matanya mulai berkaca-kaca. Tidak menyangka ia bakal mengatakan hal seperti itu lagi di depan Arion. 3 tahun lalu, ketika memutuskan untuk meninggalkan Arion, hatinya tidak sesakit ini. Bahkan bisa dibilang dia happy dengan keputusannya. Namun kali ini berbeda. Hatinya terasa sakit saat mengatakan hal itu kepada Arion.

"Vi....lagi?" Arion menatap Divia dengan padangan tidak percaya.

" Kenapa lagi?"

"Amel......" Divia menarik nafas." Gue nggak bisa ngelanjutin hubungan kita. Gue nggak bisa terus-menerus merasa bersalah sama Amel."

Arion memijit kepalanya. Tiba-tiba kepalanya terasa sakit mendengar kalimat Divia.

"Kenapa lagi dengan Amel Vi?" Arion memegang kedua lengan Divia. " Kita bakal menjelaskan semuanya saat dia bangun nanti!"

Amel menepis tangan Arion.

"Gue nggak yakin Ar. Gue nggak yakin dia tetap akan menjadi Amel yang gue kenal meskipun kita menjelaskan semuanya. Gue takut dia bakal melakukan hal yang lebih dari ini karena rasa sakit hatinya sama loe dan gue!"

"Gue nggak mau persahabatan gue sama Amel berantakan Ar."

Arion menghela nafas gusar.

"Jadi loe mau nyerah sama hubungan kita?"

Divia tidak menjawab, kemudian mengangguk pelan.

"Ini buat kebaikan Amel, gue sama loe Ar..."

Arion tersenyum pahit.

"Baiklah jika itu yang loe mau. Tapi gue rasa ini hanya buat kebaikan loe sama Amel, bukan buat gue."Katanya ketus.

"Bener apa yang dikatakan Bagas waktu dia mutusin loe, bahwa loe itu egois."

Divia tidak menjawab.

"Gue nggak nyangka Vi, loe kembali ngehancurin hati gue." Arion berbalik kemudian melangkah pergi meninggalkan Divia tanpa mengatakan apa-apa lagi.

"Ar..." Panggil Divia lembut. Ia ingin menahan cowok itu dan mengatakan bahwa hatinya juga hancur oleh keputusannya ini. Namun ia tak bisa.

Semilir angin malam yang dingin memainkan kulit Divia. Namun hal itu sudah tak dirasakannya lagi.

So it's gonna be forever

Suara kencang nada dering ponselnya membuat lamunan Divia berenti. Di layar kaca sebuah nama yang tak asing memanggilnya. Bi Warni.

"Kenapa Bi?" tanyaDivia menyeka air matanya.

"Non Amel.... Nol Amel sadar non!"

"Sadar Bi?!" Suara Divia terdengar bahagia. Sesaat dia melupakan kejadian yang baru saja dialaminya.

"Iya non. Ini sedang diperiksa dokter."

"Oke, saya kesana Bi!" Seru Divia diiringi suara derap langkahnya berlari meninggalkan ujung gedung rumah sakit itu.

Reuni Sang Mantan (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang