Bagian 24

1.2K 58 2
                                    

Tiwi baru saja keluar dari kelasnya dan hendak pulang setelah seharian perkuliahan terasa padat merayap seperti jalur pantura ketika musim mudik tiba. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti ketika Amel berdiri di depan kelasnya, dan melambaikan padanya ketika cewek itu menatapnya.

Tiwi mengeryitkan kening. Tidak biasanya cewek itu menemuinya tanpa Divia. Karena antara dirinya dan Amel tidak sedekat itu. Mereka kenal karena sahabatnya adalah sahabat Amel juga, yaitu Divia.dan jika Amel menunggunya sendirian, pastilah ada sesuatu hal yang penting yang ingin dibicarakannya pada Tiwi. Dan Tiwi yakin, kalau masalah itu adalah tentang Divia.

"Amel.....ngapain disini?" Tanya Tiwi basa-basi sambil berjalan mendekat.

"Nungguin loe." Senyum Amel.

"Kita bisa ngobrol sebentar gak?"

Tiwi mengangguk

"Bisa kok, lagian habis ini gue free." Jawabnya.

"Ngobrol dimana?"

Amel tampak berfikir. Dia tidak mau pertemuannya kali ini diketahui oleh Divia. Karena apa yang akan dibicarakannya pada Tiwi adalah tentang cewek itu.

"Disitu aja ya?" Tunjuknya pada sebuah bangku panjang di pojok koridor. Tempat di lantai dua yang nyaman dengan semilir anginnya yang sejuk, dan biasanya digunakan oleh mahasiswa di jurusan Tiwi untuk 'ngadem' sebelum acara perkuliahan dimulai.

"Oke."Tiwi mengangguk. Berjalan mendahului Amel.

"Ngobrol masalah apa sih?" Tanya Tiwi kemudian ketika mereka sudah duduk bersebelahan.

Amel menunduk, raut wajahnya berubah sendu.

"Divia." Jawabnya lugas.

"Gue ngerasa bersalah sama dia."

Tiwi menarik nafas. Dia tahu semuanya, masalah tentang Divia, Arion dan Amel. Namun agak sedikit lancang jika ia mendahului mengatakan apapun tentang siapa yang benar dan yang salah. Jadi dia hanya menunggu Amel menceritakan semuanya dulu.

"Apa yang terjadi antara Divia dan Arion saat gue di rumah sakit?" Tanya Amel kemudian.

"Memang mereka kenapa?" Tiwi pura-pura tidak tau.

"Mereka aneh." Jawab Amel lugas.

"Mereka kenapa Wi?"

Tiwi terdiam beberapa saat. Ingin menyusun sebuah kalimat yang bisa dimengerti dengan jelas oleh Amel.

"Mereka putus." Jawabnya kemudian.

Amel mengangkat wajah.

"Putus?"

Tiwi mengangguk.

"Dia merasa bersalah sama loe."

Amel terdiam. Beberapa saat kemudian sebutir air mata jatuh di pipinya. Dia memang menyukai Arion, bahkan sempat putus asa dan memilih bunuh diri karena cowok itu dan Divia ternyata saling cinta. Namun setelah Amel sadar, ia merasa semua yang dilakukannya salah, dan sedikit demi sedikit mencoba menerima jika memang Arion dan Divia bersama-sama. Tapi kenapa sekarang mereka justru berpisah.

Tiwi menarik nafas panjang.

"Gue bukannya belain Divia karena sahabat gue sejak kecil, tapi gue rasa loe harus ikhlasin mereka bersama Mel. Tuhan pernah memisahkan mereka karena keegoisan Divia, dan sekarang karena keegoisan loe, dia kembali meninggalkan seseorang yang teryata mencintai dia." Paparnya.

Amel memandang Tiwi.

"Sorry, kalau kata-kata gue menyinggung perasaan loe." Gumam Tiwi kemudian.

Amel menggeleng.

"Enggak, justru sekarang gue semakin sadar kalau apa yang gue lakuin kemarin itu benar-benar sesuatu yang salah."

Tiwi menepuk pundak Amel.

"Percaya sama gue, kalau Divia itu benar-benar menyayangi loe juga sebagai sahabatnya. Buktinya saat loe nggak sadar, dia yang ngelakuin semuanya buat loe. Bahkan dia rela nggak pernah pulang demi ngejagain loe."

Amel mendesis, air matanya kembali jatuh. Perasaan bersalahnya pada Divia semakin mendalam di hatinya.

"Apa yang harusgue lakukan...." Gumamnya getir.

***

"Non, makan malam sudah siap." Bi Warni muncul dari balik pintu.

Amel menoleh, kemudian mengangguk kecil.

"Iya Bi, nanti Amel turun." Jawabnya kemudian kembali menatap bintang-bintang diatas langit yang berkelip indah malam itu. Angin malam berdesir dingin, namun Amel masih enggan meninggalkan loteng rumahnya untuk turun dan makan meskipun Bi Warni sudah memanggilnya.

Amel menghela nafas panjang. Dialihkannya pandangannya pada ponsel yang tergeltak hening di meja sampingnya. Tak lama kemudian, ponsel hitam dengan sofcase doraemon itu sudah berpindah di tangannya. Jarinya sangat lihat memencet tombol-tombol di layar smartphone tersebut untuk mencari sebuah nama.

"Halo....mama...." Sapanya ketika nomor yang dihubunginya mengangkat. Dan ternyata itu adalah mamanya.

"Iya sayaaang...." Suara mamanya disebearang sana terdengar riang.

"Tumben telepon."

Amel hening sejenak. Memang sebagai seorang anak ia jarang menelpon mamanya. Rasa kecewa dan putus asa karena perceraian kedua orangtuanya membuatnya jauh dari mama ataupun papanya.

"Ma......" Amel menarik nafas. "Untuk tawaran mama waktu itu, bahwa mama akan tetap berada di samping Amel jika kita pindah ke Surabaya apa masih berlaku?"

"Amel mau pindah ke Surabaya dan tinggal bersama di sana?" Mamanya balik bertanya.

"He'em....."

"Masih sayang....masih! Mama janji, kalau Amel bersedia ikut mama ke Surabaya, mama akan tetap berada di samping kamu dan tidak akan menyibukkan diri seperti sekarang ini."

"Janji?"

"Iya, mama Janji." Jawab Mamanya mantap. "Tapi...apa Amel benar-benar yakin dengan keputusan ini?"

Amel tidak segera menjawab. Jika dikatakan yakin, sebenarnya tidak. Dia mencintai rumah ini, bibi Warmi, kampus, Divia dan....Arion! tapi, jika ia tetap berada di sini, ia akan terus merasa terluka karena Arion akan ditemuinya setiap hari dan juga Divia tidak akan pernah kembali bersama Arion karena dirinya.

"Amel yakin ma. Sangat yakin!" Jawabnya kemudian.

Terdengar mama menghela nafas.

"Jadi...kapan Amel siap pindah?"

"Secepatnya ma!"

***

Reuni Sang Mantan (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang