Bagian 17

1K 61 0
                                    

Suasana kampus mulai terlihat semarak menyambut dies natalis. Ada sebuah panggung besar di tengah halaman, ketika nanti dipenghujung malam akan digunakan oleh para band indie untuk tampil memeriahkan suasana. Di sepanjang jalan di dalam kampus berdiri stand-stand unik dengan tema khas yang berbeda-beda. Dan di taman belakang kampus juga berderet anek stand makanan yang menjual berbagai macam snack, minuman dan makan-makanan lainnya yang siap memanjakan perut. Iya.... hal terindah dalam setahun adalah dies natalis!

"Ayo....kita ke stand makanan...." Tiwi merarik ujung kemeja putih Divia. Sejak 5 menit lalu cewek itu terus merajuk pada Divia agar mau mengikuti ajakannya.

"Bentar Wi, gue harus menyelesaikan ini dulu!" Tunjuk Divia keatas, dimana dua orang siswa cowok tengah naik ke atap gedung lantai dua dan memasang sebuah baliho besar.

Tiwi mendengus.

"Tapi gue laper vi..." Gerutunya sambil mengelus perutnya.

Divia menghela nafas.

"Loe duluan aja, ntar gue susul gimana?" Tawarnya kemudian.

"Loe yakin nggak mau sekalian sama gue?"

Divia mengangguk.

"Iya...nanti gue susul!"

Tiwi tampak berfikir.

"oke, gue duluan ya. Awas kalau loe nggak nyusulin gue!" Katanya kemudian.

Divia mengangguk, diperhatikannya Tiwi yang berjalan tergesa meninggalkannya. Rupanya cewek itu benar-benar kelaparan.

Siang memang teramat panas, cuaca yang asyik untuk menikmati semilir angin di bawah rimbunnya dedaunan di taman belakang sambil menikmati semangkok es pisang ijo atau yang lainnya. Tapi bagaimana lagi, pekerjaan Divia belum selesai. Dia ditugaskan oleh ketua BEM untuk mengkoordinasi pemasangan spanduk besar itu. Spanduk besar dan juga berat karena disangga beberapa kayu itu belum juga terpasang dengan sempurna karena silau dan panas matahari menganggu kedua siswa yang naik ke atap gedung.

"Divia...awas!!!" Sebuah suara melengking dari atas gedung menyadarkan lamunan Divia. Serta merta cewek itu menegadah keatas, dimana poster besar nan berat itu sudah terjun bebas dan lepas dari pegangan kedua cowok diatas gedung tersebut.

Divia terpaku. Kakinya terasa berat untuk digunakannya berlari menghindari benda berat yang pasti akan menimpanya itu. Dan hal yang dilakukan olehnya sekarang hanyalah pasrah dan memejamkan matanya.

Bruk!

Tiba-tiba sebuah tangan kekar menubruknya, dan Divia berguling beberapa kali ke tanah bersama seseorang pemilik tangan kuat yang masih memeluknya denga erat. Hatinya berdebar tidak karuan, apa yang akan terjadi padanya, dan juga pada penolongnya itu? Apakah dia akan baik-baik saja, padahal dia sudah berguling beberapa kali sambil mendekapnya.

Divia menahan nafas. Dia masih tidak bisa membuka matanya meskipun kini ia dan penolong itu sudah tidak berguling-guling lagi.

"Astaga!" Suara panik dari orang-orang yang berada di sekitar kejadian membuat Divia membuka matanya perlahan.

Cewek itu ternganga.

"Arion!" pekiknya.

Arion terdiam, masih memeluk Divia dengan erat meskipun lengannya bersimbah darah.

"Astaga Arion!" Jerit Amel yang tiba-tiba datang. Cewek itu langsung berlari mendekati Arion bersama beberapa mahasiswa lainnya.

Arion tidak menjawab. Begitu juga Divia yang masih tampak terkejut dan tidak percaya dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Pertama dia terkejut karena spanduk sebesar dan seberat itu akan menimpanya, dan kedua dia lebih terkejut karena Arion rela melindunginya sampai terluka.

"Ar, loe nggak apa-apa 'kan?" Amel memandang Arion dengan tatapan cemas. Apalagi dilihatnya lengan Arion terluka dengan banyak darah.

Arion tidak menjawab, dia justru memandang Divia dengan cemas.

"Loe nggak apa-apa 'kan?" Tanyanya kepada Divia, kemudian melepaskan pelukannya dan membantu Divia untuk duduk.

Divia mengangguk kecil.

"Gue baik-baik aja kok." Bisiknya.

Amel terdiam sesaat, hanya menatap perlakuan istiewa Arion pada Divia. Bahkan cowok itu justru terliht tidak peduli dengan keadaannya sendiri.

"Gue nggak apa-apa kok Mel." Gumam Arion kemudian menatap Amel yang berjongkok di sampingnya.

Sebenarnya ia merasa tangan kirinya sangat nyeri, namun ia berusaha untuk menyembunyikan kesakitan itu karena tidak ingin membuat orang-orang ini khawatir.

"Ya udah, kita ke klinik aja yuk!" Roland, mahasiswa yang berada disekitar lokasi membantu Arion berdiri.

"Iya, loe harus diobati." Gumam salah satu mahasiswa putri lainnya membantu Divia bangun. "Loe ngak apa-apa kan Div?"

Divia mengangguk.

"Gue baik." Jawabnya menatap Arion yang terlihat menahan sakit.

"Tangan loe harus dapat perawatan Ar." Kata Roland lagi.

"Yaudah, pakai motor gue aja!" Sahut yang lain.

Arion mengangguk.

Dalam sekejap kerumunan mahasis waitu mulai membubarkan diri mereks masing-msing.

"Gue temenin Arion dlu ya Vi." Amel menepuk lengan Divia.

"Loe nggak apa-apa 'kan?"

Divia mengangguk.

"Iya, loe temenin dia aja. Gue nggak apa-apa kok." Jawabnya.

Amel tersenyum kecil kemudian berjalan tergesa menyusul Arion yang sudah dulu dipapah teman-temannya menuju parkiran motor.

***

Reuni Sang Mantan (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang