Bagian 16

1K 63 0
                                    

"Gue yakin....gue yakin kalau Divia tau masalah tadi!" Arion berjalan mondar-mandir dengan panik mengitari setiap sudut kamar kos Glen.

"Loe kenapa sih, mondar-mandir melulu dari tadi!" Cecar Glen sambil memasukkan sepotong keripik singkong ke dalam mulutnya. Sejak tadi ia hanya melongo melihat tingkah sahabatnya itu.

"Kamar kos gue ini kecil, dan lagi gue juga nggak bisa konsentrasi lihat acara di TV!" omelnya sekali lagi.

Arion menghela nafas, kemudian menjatuhkan tubuhnya yang lelah diatas sofa.

"Amel tadi cium gue." Helanya gusar.

"Apa!" Glen melongo. Beberapa remahan kripik yang ada di dalam mulutnya menyembur keluar.

"Jorok loe!" Arion memandang Glen dengan sorot mata jijik.

Glen tidak peduli, dia bahkan mendekati Arion saking penasarannya.

"Gila.....gila....gila.... belum genap satu semester loe disini, udah dapat ciuman aja. Mana si Amel itu cantik banget lagi!" Desahnya.

"Kenapa loe jadi orang mujur banget sih Ar....Ar....!"

Arion menatap Glen galak.

"Gue nggak mikir itu!" Protesnya.

"Lalu?" Glen menggaruk kepalanya.

"Gue mikir perasaan Divia!"

Glen berdecak kemudian mencibir.

" Tapi bukannya loe mau-mau aja dicium sama dia?!"

"Sembarangan!" Arion melemparkan bantal sofa ke muka Glen.

"Gue tadi kaget, bener-bener kaget waktu dia ngelakuin hal itu sama gue. Makanya gue mematung!"

Glen kembali mencibir.

"Bilang aja, loe sebenernya juga doyan." Gerutunya.

"Apa loe bilang?" Arion mengangkat asbak di depannya, hendak menimpuk sahabatnya dengan benda keras tersebut.

"Ampuuun deh Ar! Gue bercanda!" Glen menyurutkan duduknya menjauhi Arion. Bisa dibayangkannya jika asbak dari batu itu menimpuk kepalanya. Bukan hanya benjol, dia bisa cedera kepala.

Arion mendesah.

"Gue nggak mikirin ciuman itu Glen...." Gumamnya pasrah.

"Jadi?"

"Gue justru mikirin perasaan Divia. Secara gue yakin dia tadi ngelihat adegan itu."

Glen mencebik.

"Loe PD banget sih Ar, masih berprasangka bahwa Divia itu masih suka sama loe."

Arion mendengus.

"Gue yakin, dari sorot mata dia waktu menatap gue."

Lagi-lagi Glen mencebik.

"Jadi intinya loe masih suka sama Divia dan loe nggak suka sama Amel?"

"Ya iyalah!" Arion mengangguk cepat.

"Gue kasih tau sama loe ya..." Glen menepuk pundak Arion. Wajahnya berubah serius.

"Kalau loe nggak suka sama Amel, jangan kasih dia harapan. Tegasin bahwa loe nggak punya perasaan apa-apa sama dia. Loe tau nggak dengan sikap kebungkaman loe ini, setelah dia cium loe, dia mengira loe membalas perasaan dia. Loe mau dia nangis-nangis bombay setahun gara-gara sikap loe. Inget, loe udah pernah ngerasain apa yang dirasain Amel. Waktu Divia ninggalin loe!" Terang Glen panjang lebar.

Arion melongo kemudian terbahak.

"Apa loe?" Glen melotot.

"Enggak, tumben loe bisa ngomong kayak begitu!" Ejeknya kemudian.

"Sialan loe!" Kini giliran Glen yang mengangkat asbak itu tinggi-tinggi.

***

"Tumben makan sendiri, mana Amel?" Sapa Abi pagi itu dikantin sekolah pada Arion yang tengah menikmati sepiring batagor sendirian. Akhir-akhir ini batagor menjadi menu favoritnya di kantin.

Arion menoleh. Abi ternyata sudah duduk di sampingnya dengan semangkok soto panas dan segelas teh di depannya. Rupanya cowok itu juga berniat sarapan, dan ketika dilihatnya Arion sendirian, dia menghampirinya.

"Mana Amel?" Tanya Abi kemudian sambil mengaduk gula yang belum larut di dalam gelasnya menggunakan sendok kecil.

Arion mengangkat bahu, mulutnya masih mengunyah makanannya dengan pelan.

"Mana gue tau." Jawabnya datar.

"Lho, bukannya dia cewek loe?" Abi pura-pura terkejut. Pertanyaan yang ditanyakannya baru saja adalah semacam basa-basinya pada Arion. Sebenarnya dia tahu bahwa Arion tidak menyimpan perasaan apapun pada Amel.

"Siapa bilang?"

"Kemarin, gue lihat sendiri, kalian ciuman 'kan.....?" Tunjuk Abi dengan senyum mengolok.

Arion menaruh sendok yang dipegangnya. Hampir saja dia tersedak jika segelas susu dihadapannya tidak menyelamatkannya.

"Itu Cuma salah paham." Decaknya kemudian.

Abi mengangguk, memasukkan sesendok soto kedalam mulutnya.

"Iya salah paham dari versi loe. Tapi mungkin nggak seperti itu dari versi Amel." Lanjutnya.

Arion tidak menjawab, dia kembali sibuk dengan batagor yang hampir habis itu.

"Em....kalau Divia gimana menurut loe?" Tanya Abi kemudian setelah soto yang dimakannya sudah tidak bersisa di mulutnya. Pandangannya tertuju pada awan cumulus yang berarak di langit.

Arion menoleh.

"Gimana apanya?"

Abi menatap Arion.

"Loe 'kan udah kenal dia sejak SMA. Seharusnya loe tau 'kan dia cewek yang kayak gimana?" Senyumnya.

Arion mengangguk.

"Dia...cewek yang baik." Jawabnya yakin.

Abi tersenyum.

"Kalau begitu, nggak salah dong ya kalau gue nembak dia." Ucap Abi lancar.

Kali ini Arion benar-benar tidak bisa menghindar dari tersedak. Cowok itu benar-benar terkejut dengan pernyataan Abi yang membuatnya shock.

"Pelan-pelan dong Ar!" Abi menyodorkan susu yang ada di depan Arion agar cowok itu meminumnya.

"Sebegitu terkejutnya ya loe sama apa yang gue katakan, sampai kesedak dua kali?" Abi berdecak.

Arion tidak menjawab. Meskipun sudah minum, dia masih berusaha menguasai tenggorokannya yang masih terasa gatal.

"Enggak kok. Gue nggak apa-apa." Jawabnya kemudian.

"Jadi, gimana menurut loe kalau gue nembak dia?"

Arion tercenung. Kemudian menatap Abi dengan serius.

"Loe yakin benar-benar sayang sama dia?"

Abi mengangguk.

"Loe yakin loe bisa melindungi dia?"

Abi mengangguk lagi.

Arion menarik nafas.

"Jika Divia menerima dan dia mencintai loe, kenapa tidak?!"

***

Reuni Sang Mantan (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang