Bagian 20

1.1K 51 0
                                    

"Nomor yang anda tuju, tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi"

Suara nyaring operator terus menggema manakala Divia mencoba untuk menghubungi Amel. Sudah lebih dari dua puluh kali tangannya mengetik nama Amel di kotak teleponnya dan menekan tombol hijau kemudian. Namun lagi-lagi, masih sama seperti semalam. Nomor cewek itu tidak dapat dihubungi.

"Ayolah, Mel loe dimana?" Gumamnya cemas untuk kesekian kali ketika handphone kembali ia tempelkan di telinganya. Dan sekali lagi, hanya suara nyaring operator yang menjawab teleponnya.

Sejak semalam Divia mencoba menghubungi Amel. Awalnya tersambung, namun Amel tidak mengangkatnya. Pesan-pesan yang dikirimkannya lewat whatsapp pun hanya sekedar di read saja, tanpa dibalas satu kalimat pun. Semua hal membuatnya cemas. Bahkan ketika Tiwi semalaman berusaha menghibur dan menemaninya pun perasaannya tidak berubah menjadi lebih baik.

"Akh, gue harus ketemu sama Amel!" Gumammnya kemudian bergegas mengambil jaket dan tas kecilnya.

Divia berlari menyusuri halaman, beberapa saat yang lalu dia sudah memesan ojek online dan driver-nya sebentar lagi akan sampai.

"Loe mau kemana sepagi ini Vi?" TanyaTiwi ketika mereka berpapasan di depan gerbang.

"Gue mau ke rumah Amel." Jawab Divia lugas.

"Ngapain?"

"Gue nggak bisa tidur gara-gara rasa bersalah gue." Divia membuang nafas.

Tiwi terdiam beberapa saat.

"Ya udah hati-hati ya?" Sahutnya kemudian, ketika seorang driver ojek berhenti tepat di depan mereka.

Divia mengangguk kecil.

"Dan pastikan loe menyelesaikan semuanya dengan baik." Sambung Tiwi sebelum Divia naik keatas sepeda motor.

***

"Eh, mbak Divia..." Seorang wanita paruh baya berbadan gemuk tersenyum setelah membuka pintu. Namanya bibi Warni.

Asisten rumah tangga Amel tersebut sudah mengenal Divia dengan baik karena sudah beberapa kali Divia main kerumah itu. Amel pernah bilang jika asisten rumah tangga yang selalu menemaninya di rumah itu, lebih dari mamanya sendiri. Karena sejak Amel kecil Bibi Warni sudah bekerja di rumah tersebut. Dan ketika orantuanya sibuk ke luar kota dan bahkan keluar negeri, Amel selalu bedua dengan beliau.

"Mari masuk."

"Amelnya ada bi?" Tanya Divia mengikuti Bibi Warni masuk ke dalam rumah.

" Ada dikamarnya non. Tapi dari semalem nggak mau keluar kamar. Tadi pagi juga nggak sarapan." Terang Bi warni.

Divia tidak menjawab.

"Mau saya panggilkan non Amel?"

Divia menggeleng.

"Enggak usah Bi, biar saya saja yang naik keatas." Tolaknya.

"Yaudah bibi buatin minum ya?"

Divia tersenyum kemudian berjalan menuju kamar Amel di lantai atas. Rumah dengan gaya klasik itu sangat besar dan mewah. Namun rumah sebesar itu terasa sepi dan dingin. Iya, karena hanya amel dan bi Warni saja yang menunggunya. Sedang mama Amel jarang pulang karena perjalanan bisnisnya, dan papanya, setelah perceraian itu juga jarang datang untuk menjenguk anaknya. Divia tahu, bahwa selama ini Amel kesepian.

"Mel....Amel..." Divia mengetuk pelan pintu kamar Amel yang tertutup rapat.

Tidak ada sahutan.

"Amel gue mau minta ma'af..." Suara Divia terdengar sedih.

Kembali Divia mengetuk pintu.

"Amel....mel....Amel...."

Sama sekali tidak ada sahutan. Divia mulai panik. Dicobanya untuk membuka pintu tersebut, namun tekunci.

"Please dong Mel buka pintunya."

Namun sekali lagi suasana masih tetap hening. Tak terdengar suara derap langkah Amel menuju pintu meskipun Divia menempelkan telinganya disana.

Divia semakin keras mengetuk pintu, perasaannya mulai tidak enak.

"Mel...Amel! Bukain pintu dong!"

"Kenapa non?" Bi Warni datang dengan tergopoh. Rupanya teriakan Divia sampai ke dapur dan membuat Bi Warni langsung berlari menyusulnya.

"Bi....kamarnya dikunci!" Wajah Divia mulai berubah pucat. Dia yakin ada sesuatu di dalam sana, sampai Amel tidak mau membuka pintunya.

"Masa sih Non? Tadi pagi belum kok!" Bi Warni mencoba membuka pintu tersebut namun ternyata juga gagal.

"Bibi punya kunci cadangan nggak?"

"Ada non. Sebentar!" Bi Warni berjalas bergegas menuruni tangga untk mengambil segerombol kunci di ruang tengah. tak berselang lama Bi Warni kembali dengan kunci ditangannya.

Tanpa menunggu aba-aba, Divia langsung mengambil kunci dari tangan Bi Warni dengan tangan bergetar.

"Astaga Amel!" Pekiknya kemudian, setelah ia berhasil membuka pintu.

***

Suara sirine ambulance terdengar mengaum memenuhi langit. Tak berselang lama, dari pintu belakang beberapa petugas medis menurunkan seseorang dengan badan bersimbah darah, dan seorang lagi yang menangis tersedu-sedu dengan wajah cemas dan pucat pasi.

"Amel....!" Pekik Divia entah sudah keberapa kali. Mengikuti petugas medis yanag mendorong Amel menuju IGD dengan cepat.

"Divia...Divia apa yang terjadi?" Arion berlari menyusul Divia. Cowok itu baru saja turun dari mobilnya.

Beberapa saat yang lalu, ditengah kepanikan Divia menemukan Amel yang tak sadarkan diri di lantai dengan pergelangan tangan diiris dan darah yang terus-menerus keluar, ia masih sempat menghubungi Arion.

"Ar... Amel Ar...!"Tunjuk Divia kearah pintu IGD yang tetutup.

"Dia bunuh diri! Ini semua gara-gara gue!"

"Stt....Sttt.... kamu tenang ya!" Arion meraih Divia kedalam pelukannya. Ia begitu iba melihat Divia. Dengan rambut awut-awutan, wajah sembab dan tangan berlumuran darah.

"Kenapa Amel senekat itu sih...." Desisnya perlahan.

"Kalau Amel kenapa-kenapa gimana Ar? Gimana?" Divia terisak.

Arion melepaskan pelukannya, kemudian membimbing Divia menuju kursi tunggu di depan IGD.

"Loe tenang. Kita harus yakin kalau dokter pasti bisa membantu Amel!" Katanya ketika Divia sudah duduk. Arion berjongkok di depan cewek itu kemudian mengelus rambutnya.

"Gue salah Ar sama dia!" Divia tergugu. Masih sangat jelas tergambar di ingatannya bagaimana kondisi Amel saat ia menemukannya tadi.

Arion menggeleng.

"Enggak, loe nggak salah. Ini cuma kesalahpahaman. Loe jangan pernah menyalahkan diri loe sendiri!"

Divia tidak menyahut. Ditatapnya mata Arion agar pikirannya sedikit tenang. Mungkin hanya dengan menatap mata cowok itu beban dipundaknya bisa sedikit berkurang.

***

Reuni Sang Mantan (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang