[7] Pisau?

9.9K 1.5K 280
                                    

Felix sangat terpukul Changbin adalah teman yang sangat mengerti dirinya dari kecil, kenapa harus Changbin meninggalkannya.

Jeongin menatap Felix yang frustasi, sedangkan Seugmin meringkuk yang tampak ketakutan, Jeongin menyenggol lengan Felix sehingga Felix mengerenyit.

"Gua.. takut Seugmin balik lagi,"

"Seugmin udah sembuh Ngin, dia cuma terpukul aja satu persatu temennya mati, bahkan kakaknya." sahut Jisung yang ada di sampingnya kirinya.

Hyunjin hanya diam menatap satu persatu mata temannya, ia berfikir keras kenapa semua ini bisa terjadi.

"Siapa yang keluar semalem?"

"Elo lah," sahut Bangchan.

"Gua aja gak jadi kuliah gara-gara ini, gua yang nemuin Changbin di halte." sahut Hyunjin mencoba agar tidak terpancing.

"Gua ke market cuy," Timpal Jisung.

"Tapi kenapa lo bisa bareng sampe pas kabar Changbin udah gak ada, gua curiga sama lo." sahut Lino yang menatapnya dengan raut wajah serius.

"Gua? Cuma karena gua balik bareng kabar, lo nuduh gua?"

Lino menggeleng, "Curiga doang,"

"Satu persatu temen kita mati, apa bakal ada korban lagi?" Seugmin bertanya dengan nada menyindir.

"Kenapa diem? Kalo saling benci mending sekarang berdiri, bunuh-bunuhan depan mata gue, cepet.." lirih Seugmin menunduk.

Beginilah keadaan mereka sekarang, tersisa Jeongin, Hyunjin, Lino, Bangchan, Jisung dan Felix. Masing-masing hanya terdiam dengan pemikirannya pribadi, masing-masing tidak bisa menebak apa isi hati orang yang ada di sisi, depan dan di belakang, tidak tahu siapa yang mau di percaya dan siapa yang bersalah.

"Sepintar-pintarnya orang menyimpan bangkai, pasti akan terkuak." Felix pergi meninggalkan ke enam temannya.

"Udahlah jangan mancing-mancing masalah kalo gak mau kena kaya gini." Bangchan juga ikut meninggalkan ruang tengah dan kembali ke kamar.

Tersisa Jisung dan empat orang temannya.
"Jadi, menurut lo siapa?" tanyanya sambil menatap Hyunjin.

"Gua sendiri.. Gak tau siapa.." lirih Hyunjin.

"Bangchan..."

Semua mematung menatap Seugmin yang baru saja menyebutkan nama Bangchan.

"K-kenapa? Apa alesannya?" tanya Jisung.

"Bisa jadi dia yang manipulasi semua ini, atau jangan-jangan Felix? Dia gak sepeduli kita yang mikir siapa dalang di balik ini semua."

"Tapi kita gak bisa mihak sendiri Min," sahut Jisung di angguki Hyunjin dan Jeongin.

"Semua bakal baik-baik aja." Jeongin menenangkan Seugmin.

"Jeongin ajak Seugmin tidur, biar dia nenangin diri, Jin lu juga jangan terlalu porsir tenaga, nanti lo sakit, Sung gua balik ke kamar yak."

Jisung dan yang lain mengangguk.

"Min," Panggil Hyunjin.

"Iya?"

"Gua ke kamar lo ya?" Lino membalas dengan acungan jempol.







"Kekacauan haha, target mendekati, tunggu waktunya."








"Lin, gua gak habis pikir kenapa bisa kayak gini semua," Hyunjin menutup pintu kamar Lino.

Lino yang sedang mencoret-coret tidak jelas, kini mendadak diam sambil menghela nafas panjang.

"Gua gak tau Jin harus percaya sama siapa, bahkan kemungkinan gua tipis banget buat percaya sama lo, gua bingung, dan takut ada korban lagi."

Hyunjin menatap Lino mencari gerak-gerik mencurigakan, tapi nihil, Lino adalah Lino yang ia kenal.
"Gua juga ngerasain hal yang sama Lin,"

"Sepi, Changbin Woojin gak ada, biasanya mereka berdua nguprak-nguprak pintu kamar gua buat keluar dan gabung sama lo semua."

"Lo seneng banget ngurung diri di kamar," sahut Hyunjin.

"Karena gua gak mau ikut-ikut masalah, ini yang gua takutin, kejadian juga kan, hancur-hancuran sekarang kita, di tambah lagi saling tuduh-tuduhan." Lino menghela nafad berat.

"Mana Somi marah-marah mulu kerjaannya, kan kesel gua,"

Hyunjin memutar bola matanya malas,
"Sempet aja lu bawa nama tu cewek!"

"Cantik ma di selipin juga cantik aja,"

Sumpah ya lagi keadaan kaya gini, Lino masih sempet-sempetnya ngebucin, pengen banget Hyunjin getok panci.
"Korban novel lo!"

Lino menyengir, "Masak yu, laper."

Lino keluar kamar, dan di susul Hyunjin.

Namun saat Hyunjin keluar kamar, tidak sengaja dari arah kamar Jisung ada pisau pemotong daging yang berdiri di sela kasur.

Hyunjin mengerenyit, untuk apa pisau di kamar?

"Sung?" Hyunjin melihat tidak ada siapapun di kamar Jisung.

"Kemana tu orang?" Ia mengambil pisau yang menyelip di sisi kasur dan kembali menutup pintu kamar.

"Sung?" Hyunjin terus memanggil ke setiap lorong dan ruangan.

"Jisung?"

"Ngapain si lo, cepetan deh bantuin gua!" panggil Lino dari dapur.

"A-aiya tunggu,"

Hyunjin berjalan ke arah dapur, dan menghampiri Lino yang sedang memasak.

Namun Hyunjin menyadari ada sepasang mata yang sedang memperhatikan dirinya dan Lino, dari arah—tunggu, pintu kamarnya terbuka?

Hyunjin menghampiri kamarnya yang terbuka, semakin dekat ia menghampiri kamarnya semakin hilang sepasang mata tersebut.

"Jin?"

"Eh? Elo, ngapain di kamar gua?" Hyunjin bingung.

"Nyari lo dari tadi, gua udah beli buah no di kamar, nyari lo gak ada di kamar terus ada ni gitar, gua mau minjem," jelasnya pada Hyunjin.

"Ini piso daging lo buat motong buah gitu?" Hyunjin menunjukan pisau yang ia bawa dari kamar Jisung.

Jisung mengerjap, diam.
"I-iya itu, emang kenapa?"

"Aneh, kan ada pisau buah?"

Jisung menggeleng, "Gak ada,"

Hyunjin mengerenyit dengan tatapan yang masih mencurigai Jisung, ia berjalan ke meja makan untuk melihat apa benar pisau buah tidak ada.

"Ini ad—eh?"

Pas Hyunjin ambil, ternyata gak ada pisaunya, lebih tepatnya cuma gagang doang.

"Gak ada itu makanya gua ambil pisau buah,"

"S-siapa yang ngambil ini?!" Hyunjin mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Jin, kok pisau di sini tinggal dua?" Lino mencari pisau yang panjang yang biasa di pakai untuk memotong sayuran.

"Dari enam ke tiga, di buat apa si sampe gak ada kaya gini?!"

"Tiga? Mana satunya?"

Hyunjin menunjukan pisau pemotong daging yang ada di tangannya.

"Sini, Jin."

"Eheh nggak! Lo pakek golok aja dah, ini mau gua buat potong buah," Jisung meninggalkan Lino dan Hyunjin di dapur.









"Buat ngehabisin nyawa lo, hhh."

Dorm || Straykids [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang