Extra Part 🍀🍀🍀

14K 1.4K 56
                                    

Lama gak update ya, ada yang masih nunggu tambahan extra part cerita ini?😊

Sekalian aku mau kasih tau kalau cerita Papa Willy dan Mama Valerie udah ada di google play store, buat yang belum sempet baca yuk dibeli💙

Anw, enjoy and happy reading💕
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Sorry for the typos.

***

Clover menggeliat dalam tidurnya, perlahan mundur untuk masuk lebih dalam ke sebuah dekapan hangat di belakangnya.

Ia tersenyum diam-diam, membayangkan jika hal seperti ini dapat terjadi setiap hari, bahkan setiap saat. Rasanya pasti benar-benar bahagia.

"Kenapa senyum-senyum? Mimpi yang aneh-aneh, hm?"

Senyuman di wajah Clover langsung meredup. Matanya terbuka perlahan dengan terkejut kemudian mengerjap beberapa kali dengan malu. "Ka-kakak sudah bangun? Aku kira kakak masih tidur," kata gadis itu tanpa berani berbalik.

"Aku tidak bisa tidur."

Clover menolehkan kepalanya sedikit, melirik kecil pada Mario. "Kenapa? Tidurku berantakan ya?"

Mario tersenyum kecil, mendekatkan wajahnya pada wajah gadisnya lalu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengecup bibir merah muda itu.

"Waktu kita tidak banyak, rasanya sayang jika harus dilewatkan hanya untuk tidur."

"Astaga, kak." Akhirnya Clover memutar tubuhnya sepenuhnya, menatap Mario sambil berdecak kesal. "Kakak itu kerjanya lembur terus, sekarang bisa istirahat tapi malah tetap begadang. Tidur sekarang atau tidak aku izinkan pulang!"

Bukannya takut, Mario malah terkekeh gemas. "Kalau begitu, lebih baik aku tidak tidur." Pria itu mengeratkan pelukannya di pinggamg Clover, menariknya semakin mendekat.

"Aku ingin seperti ini setiap hari. Pasti rasanya menyenangkan." Mario menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Clover, menghirup aroma gadisnya.

"Aku juga," gumam Clover dengan sebuah senyuman kecut di wajah cantiknya. Tentu saja ia tau jika hal yang mereka inginkan akan sangat sulit terjadi, apalagi ia baru saja menjadi mahasiswi.

"Kalau begitu, aku boleh memasang cincin ini di jari manismu?"

"Huh?" Clover mengerutkan keningnya dalam saat tiba-tiba Mario sedikit menjauhkan kedekatan mereka.

"Kamu juga ingin kita seperti ini terus kan? Kalau begitu biar aku wujudkan keinginan kita," jelas Mario sambil bangkit duduk. Ia meraih tangan gadisnya dan menariknya untuk ikut duduk lalu memasangkan sebuah cincin dengan berlian kecil di sekelilingnya. Di bagian dalam cincin terukir nama Mario dan Clover dengan hati kecil di tengahnya. Terlihat sederhana namun tetap elegan dan cantik.

"Aku tau kamu masih kecil—"

Clover menatap Mario dengan tatapan protes. "Aku bukan anak kecil!"

"—tapi kita bisa belajar bersama saat menikah nanti. Kamu juga masih bisa kuliah, kita akan punya anak jika kamu sudah lulus. Tabunganku juga sudah cukup untuk membeli rumah, kita bisa mencari rumah yang menurutmu nyaman walau tidak akan senyaman rumah besar uncle Willy. Dan walau mungkin aku harus diperbudak oleh Andrew seumur hidup tapi itu semua sepadan jika aku bisa terus dekat denganmu."

Tanpa sadar Clover sudah meneteskan air matanya akibat rasa membuncah di dadanya.

Mario mengusap pipi basah gadisnya kemudian membelainya dengan lembut. "Please don't cry, My Little Future Wife."

Clover tersenyum malu-malu sambil mengelap hidungnya. "Memangnya aku sudah bilang mau menikah dengan Kak Lio?"

"Jadi tidak mau ya?" Mario berpura-pura membuat wajah sedih lalu bangkit berdiri dari tempat tidur. "Kalau begitu aku cari calon pengantin lain saja."

"Awas saja kalau Kak Lio cari pengantin lain!" Gadis itu melempar bantal kepala terdekat yang bisa ia raih. "Saingannya hanya Kak Kayla saja berat apalagi kalau saingannya banyak," gerutu Clover dengan wajah cemberut.

Mario kembali mendekati dan merangkak menuju gadis itu dalam diam. Ia menatap dalam wajah Clover sebelum mencecahkan sebuah kecupan.

Kecupan tersebut berubah menjadi lumatan. Pria itu memiringkan kepalanya, menyesap bibir gadisnya dengan penuh perasaan kemudian melepaskan penyatuan bibir mereka saat dirasa Clover akan kehabisan napas.

"Maaf karena terlambat menyadari bahwa kamu adalah gadis yang luar biasa." Mario menarik tangan Clover dan membuat gadis itu duduk di pangkuannya. "Satu-satunya gadis yang akan menjadi istriku untuk selamanya."

***

Clover meringis ketika meletakkan sepiring sosis dan bacon gosong serta telur dadar yang hancur ke hadapan Mario.

"Maaf, aku terlalu fokus saat mencoba membalikkan telur dadarnya, jadi sosis dan baconnya hangus."

Mario mendengus namun kemudian terkekeh kecil. "Sepertinya aku harus mengajarimu memasak jika tidak ingin keracunan saat kita sudah menikah nanti."

Clover mengerucutkan bibirnya dengan kesal lalu menarik piring tadi. "Maaf kalau aku bodoh dan tidak bisa apa-apa."

Gadis itu menuju ke wastafel dan akan membuang makanannya namun tangan Mario berhasil menghentikannya.

"Aku tidak bilang begitu, sayang." Mario mengecup pelipis Clover dan memeluknya dari belakang. "Mau kuajari memasak? Aku tau kamu bisa, seperti matematika dan pelajaran lainnya."

Clover meletakkan piring tadi dengan gugup karena kedekatan mereka yang hampir tidak berjarak. "Kalau begitu kapan kita mau belajar masak?"

"Hm, sekarang?" Mario mengecup tengkuk gadisnya. Naik ke rahang, pipi lalu membalikkan tubuh Clover untuk mendaratkan sebuah ciuman ke bibir merah muda favoritenya.

"Atau nanti?" Telapak tangan Mario masuk ke dalam baju Clover, merasakan kulit lembut gadis itu, membelainya dengan perlahan.

Clover menahan napasnya, memejamkan matanya ketika merasakan perasaan asing yang baru pertama kali ia rasakan. Tangannya meremas lengan atas Mario dengan gemetar.

"Mu-mungkin sekarang lebih baik."

Mario tersenyum gemas lalu mengeluarkan tangannya dari baju yang dikenakan Clover walau tangannya tetap melingkar di pinggang gadis itu. "Tapi kamu harus tau kalau aku ini guru yang galak."

Clover terkekeh, membalikkan tubuhnya kemudian membalas pelukan pria itu. "Aku tau. Tenang saja, aku murid yang pantang menyerah."

"Bagus. Aku suka murid yang pantang menyerah," kata Mario lalu mengacak rambut ikal gadisnya. "Ayo kita mulai."

Mario dan Clover beranjak menuju kulkas, mengumpulkan bahan-bahan makanan untuk masakan yang akan mereka masak.

"Pulang dari sini, aku akan langsung bilang pada uncle Willy dan aunty Valerie kalau aku ingin menikahimu."

Clover menatap Mario dengan mata berbinar dan senyuman lebar, tidak sabar dengan impiannya yang sebentar lagi mungkin akan terwujud. "Benarkah?"

Mario mengangguk, membalas senyuman gadisnya. Diletakkannya wajan yang ada di tangannya sebelum menyampirkan rambut Clover yang menghalangi wajahnya.

"Iya, agar kita bisa terus seperti ini. Tanpa perlu berpisah lagi," janji pria itu sambil menatap Clover dengan serius.

Mario berdiri di belakang Clover, meraih kedua tangan gadis itu untuk mengajari caranya memotong daun bawang. Matanya melihat cincin yang melingkar di jari manis gadisnya dengan perasaan meluap.

"Walau sempat terlambat, tapi aku benar-benar mencintaimu, Clover. Kamu adalah clover keberuntunganku."

12 Mei 2019

C L O V E R✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang