12. Berantem Lagi?

422 29 0
                                    

Jangan coba-coba menganggapku lemah
Atau kau terkapar di tanah!
-
Devano Anggara

Laju motor ninja berwarna merah berhenti di depan gerbang putih rumah mewah bercat abu-abu milik keluarga Mila.

"Rangga mau mampir?" tanya Mila setelah dirinya turun dari boncengan.

"Gak deh, gue mau balik." Rangga tetap stay di atas motornya.

"Ya udah, makasih yah, Rangga!" Mila tersenyum. Lensung pipitnya terlihat sangat ... manis.

"Iya, bye."

Sebelum mesin motor kembali ia nyalakan, handphone miliknya berdering. Dirabanya saku jaket kulit berwarna cokelat dan mengambil benda pipih bercase hitam.
Pada layar tertulis nama 'Devano'. Digesernya tombol jawab panggilan yang berwarna hijau sebelum ia menempelkannya di telinga kanan.

"Halo!" Suara bariton Rangga.

"Apa? Oke. Gue ke sana sekarang!" Wajah Rangga terlihat terkejut sekaligus marah. Dikepalnya kedua tangan kekarnya. Frustrasi.

Setelah menutup panggilan dan kembali meletakkan handphonenya di saku. Rangga mulai menyalakan mesin motornya.

"Rangga gak apa-apa?" Mila yang sedari tadi diam mendengar perbincangan cowok itu akhirnya buka suara. Takut akan sesuatu yang membuat cowok itu marah.

Mata Rangga melirik ke arahnya.

"Gak kok. Gue pergi dulu. Bye!"

Rangga pun memacu motornya memecah jalanan yang mulai lengang.

Setelah kepergian Rangga, Mila melangkah masuk ke dalam rumah. Di bukanya pintu yang terbuat dari kayu jati besar berwarna cokelat tua.

"Semoga gak ada apa-apa," lirih Mila perlahan menaiki tangga menuju kamarnya.

***

Tak jauh dari depan sebuah rumah tua yang berseberangan dengan hutan lebat.

Dalam keadaan gelap yang tidak di terangi cahaya bulan. Mata elang Devano awas memperhatikan rumah yang dipenuhi lumut pada bagian dinding.

Tak berapa lama, suara knalpot semakin dekat menuju tempat dirinya menunggu. Setelah motor ninja berwarna merah itu berhenti tepat di sebelah motor miliknya. Sang pengendara pun segera melepas helmnya lalu turun dari motor.

"Mana bangsat-bangsat itu, Nyet?" tanya Rangga dengan amarah yang bergejolak.

"Hush! Mereka ada di dalam." Devano mengisyaratkan. Netranya tetap memperhatikan situasi tempat tersebut. Di depannya sebuah mobil van hitam terparkir rapi.

"Trus? Lo diem aja gitu?" Mulut Rangga tak berhenti.

"Diem bego!" Matanya menatap tajam. "Kita gak tau berapa orang di dalem! Kalo lo mau mati, masuk aja sono!" lanjutnya.

Benar apa yang dikatakan Devano, mereka berdua tidak mengetahui seberapa banyak musuh yang akan mereka hadapi. Entah mereka bersenjata atau tidak.

Rangga geram. Ia mengusap wajahnya kasar. Urat-urat lehernya terlihat jelas menandakan amarah yang tak tertahan mendengar kedua sahabatnya yang disandera oleh genk rival mereka.
Dirinya memutuskan ikut berjongkok memantau tempat tersebut.

Beberapa menit kemudian, dari arah pintu rumah tua itu, tiga pria yang mengenakan jas hitam nampak keluar dari rumah tersebut.
Melihat ketiganya yang sedang lengah, Devano beranjak.

"Dev, lo mau kemana?"

"Mau main! Lo ikut?" Mata Devano mengerling. Ia tersenyum miring.

"Ikutlah!" seru Rangga ikut beranjak.

Selang beberapa menit, tubuh ketiga pria itu telah berguling di tanah.
Devano menarik salah satu kemeja pria berubuh tambun yang terlihat masih kuat berdiri lalu menghajar dan menendanginya hingga kembali terguling.
Sementara Rangga juga ikut memukuli pria berbadan kekar. Ia sangat menikmati 'permainan' mereka dengan bergaya ala Bruce Lee.

Setelah ketiga pria itu tak berkutik, kedua cowok tampan itu masuk ke dalam rumah itu dengan langkah sepelan mungkin.

Di dalam ruang tengah yang terlihat kotor dengan sarang laba-laba yang menghiasi dinding. Menyeramkan.
Mereka melihat kedua sahabatnya, Revan dan Alvin tengah meringkuk dengan kaki dan tangan terikat. Mereka nampak kepayahan.
Alvin terlihat tak sadarkan diri dengan wajah dipenuhi lebam sedangkan Revan terlihat sedikit kuat, wajah tampannya juga lebam, sudut bibirnya meneteskan darah segar. Sesekali ringisan keluar dari mulutnya.

Mata Rangga nanar menyaksikan kondisi kedua sahabatnya.
Amarahnya semakin meluap melihat lima cowok seusia mereka sedang berdiri menghadap kedua korbannya yang tak berdaya.
Salah seorang diantaranya membawa tongkat baseball.

"Woi, An***g! Lo apain temen gue?!" gertak Rangga. Rahangnya mengeras. Iris mata berwarna biru memancarkan amarah berkilat-kilat.

Kelima cowok itu berbalik.

"Lo dateng? Welcome sodara!" sambut seseorang cowok berponi memakai kaos biru. Mata keduanya membulat melihat sosok itu, dialah Fero.

"Jadi lo yang berani mukulin temen gue? Maksud lo apa? Hah!" ucap Rangga kasar.

"Lo gak usah sok dungu, Bro. Yang mukulin Aldo sama Dicky kan kalian."
Fero memainkan tongkat baseball di tangannya.

"He, An***g. Temen lo yang nyari ribut ama kita!"

Devano terlihat tenang, dia berusaha menenangkan diri agar sosok di hadapannya ini tidak terlalu cepat masuk ke liang lahat. Terbukti dari napasnya yang naik turun.

"Stop! Gue gak mau buang waktu. Serang!" teriak Fero. Keempat temannya langsung menyerbu kedua cowok tampan itu.

Mendapat serangan, dua lawan satu. Devano tak tinggal diam. Dia memulai serangannya, menendang, memukuli dan menghajar lawannya yang terlihat tangguh. Namun, tak perlu waktu lama baginya untuk membuat kedua pria itu tak sadarkan diri.
Sementara Rangga langsung menendang lawannya. Dia memukuli wajah seorang lawannya bertubi-tubi hingga tak sadarkan diri, lalu bangkit menghajar seorang lagi.

Perkelahian itu dimenangkan oleh Devano dan Rangga.
Dengan wajah yang sedikit lebam di bagian pelipis dan sudut bibir yang mengeluarkan darah, Devano menghampiri Fero.
Sedangkan Rangga langsung menghampiri kedua sahabatnya dan melepaskan tali yang mengikat keduanya.

Tanpa aba-aba, tangan kekarnya menarik kerah kaos Fero dan memukuli wajahnya tanpa ampun.
Mereka berdua pun berduel.
Bogem mentah tepat mengenai pipi kanan Devano, membuatnya sedikit limbung.
Bukan Devano namanya kalau selemah itu, ia kemudian bangkit dan menghajar Fero bertubi-tubi.
Tubuh Fero ia hempaskan di lantai.
Lawannya itu terlihat tak berdaya.

"Kalo lo selemah ini, jangan coba cari gara-gara sama gue!" ancam Devano.

"Cih! Gue gak takut sama lo!" Fero bangun. "Lo yang takut sama gue kalo gue ngadu sama pa--" ucapannya terhenti saat pukulan kembali terarah padanya.

"Berani lo sebut orang itu, nyawa lo melayang! Dasar banci!" kata Devano murka.

Fero meringis kesakitan. Devano bangkit lalu berjalan menghampiri ketiga sahabatnya lalu memapah Alvin, sedangkan Rangga memapah Revan.

"Tunggu pembalasan gue!" teriak Fero ketika punggung keempat cowok berlalu keluar dari rumah tua itu.

___

Next ....

Hello gengs! Gimana kabarnya?

Hehehee maafin author yang suka basa-basi.
Silakan di krisan yah.

Vote kalian, semangat untukku.
Terima kasih.
Ohiya, ada pertanyaan? Silakan di kolom komentar.
Salam dari author aka Dev.

Story About MilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang