15. Tanpa Perlawanan

343 28 0
                                    

Dasar jelek! Kenapa kau diam saja?
Aku tak percaya!
-
Mila Setyaningrum

Devano tampak meninggalkan ruangan khusus. Mila yang sedari tadi menunggu di koridor melihat cowok tampan itu melangkah menuju semak-semak belakang toilet.
Mila memutuskan untuk mengikutinya.

"Devano mau kemana?" tanya Mila saat tubuh mungilnya berjalan sejajar dengan Devano.

"Bukan urusan lo!" jawab Devano ketus. Kakinya terus melangkah tanpa memperdulikan gadis di sebelahnya.

Kini, mereka berdua sampai di semak-semak belakang toilet.

Tubuh kekar cowok itu kini hilang setelah memasuki lubang di depannya. Mila tak tinggal diam, ia ikut masuk ke lubang itu.

"Ngapain lo ngikutin gue?" Langkah Devano terhenti. Ia berbalik saat melihat gadis mungil itu menjulurkan kepalanya. Setelah berdiri, Mila terlihat membersihkan telapak tangannya dari tanah.

Mila tampak sudah tak asing dengan tempat itu. Tempat pertama kali ia membolos.

"Devano kenapa keluar sendirian dari ruangan? Rangga kok gak ikut?" Mila tak memperdulikan pertanyaan cowok di hadapannya. Ia nampak membetulkan letak bando biru pada rambutnya.

"Lo bisa diem gak!"--Devano menutup telinga dengan kedua tangannya--"lo cerewet banget, sumpah!"

Mila memanyunkan bibirnya. Wajahnya terlihat lucu.
Melihat ekspresi Mila, Devano tampak terkekeh pelan tapi ia segera berdehem untuk menetralkan suasana.

Kakinya kembali melangkah menuju motor ninja biru yang terparkir tak jauh darinya.
Ia kemudian menaiki kuda besi miliknya.

"Devano mau kemana?" tanya Mila mendekatinya.

"Main." Sembari mengenakan helm full facenya.

"Main?" Beo Mila. "Kemana?"

"Kepo!"

"Devano sendirian? Kalo berantem lagi, gimana?"

"Lah, gue bukan anak kecil! Dasar oon!" Tangan kanannya terjulur mengacak-acak rambut lurus Mila. Gemas. Kepolosan gadis itu membuat tangannya tak terkendali.

"Issh, Devano. Rambut Mila berantakan lagi, deh."
Gadis itu menggerutu akibat perlakuan yang ia terima.

Devano mulai menyalakan mesin motornya.

"Ikut?" tanyanya.

Mila mengerjapkan matanya berkali-kali. Tanda dirinya tak percaya. Baru kali ini, cowok di depannya menawarkan biasanya Mila yang ngotot buat ikut.

"Woy! malah bengong. Ikut gak?" Devano kembali bertanya.

Mila melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 13:33, sebentar lagi bel pulang berbunyi, pikirnya.

"Iya!" Mila mengangguk lalu menaiki motor.

Devano memacu motor kesayangannya memecah jalan kota.

***

Kuda besi berwarna biru itu berhenti di depan gerbang berwarna hitam yang menjulang tinggi. Tampak di halaman rumah, sebuah mobil berwarna hitam terparkir rapi.

Mila turun dari boncengan cowok tampan berambut abu-abu dengan sikap esnya. Devano terlihat melepaskan helm full facenya lalu turun dari motornya.
Di bawah terik sinar matahari, wajah datar tanpa ekspresi miliknya nampak lebih tampan.

"Ini kan rumahnya Devano! Katanya mau main?" ucapnya Mila, heran.

"Gue ganti baju dulu!" jawab Devano.

"Mila ikut!"

"Lo tunggu di sini. Gue bentaran doang!" titahnya sembari melangkah memasuki gerbang.

"Tap--" Sebelum ucapan Mila selesai, tatapan tajam mata elang Devano menyapa manik miliknya. Mila segera bungkam lalu mengangguk pelan.

Punggung cowok itu terlihat menjauh memasuki rumah mewah bertingkat tiga tersebut.
Mila tak mau menerima tatapan sangar cowok itu, lagi. Ia kemudian memutuskan duduk pada sebuah bangku di bawah pohon akasia.

Tiga puluh menit berlalu, Mila sudah bosan menunggu. Si cowok dingin itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
Apakah terjadi sesuatu?

Karena rasa penasarannya yang tinggi, Mila memutuskan melangkah masuk ke dalam rumah tersebut.
Di dalam ruang tamu, Mila celingak-celinguk mencari sosok pemilik rumah, sepi, tak ada orang. Mila kembali melangkah menaiki tangga menuju kamar Devano. Sangat pelan.

Di depan pintu kayu berwarna cokelat yang terbuka lebar, samar-samar ia mendengar seseorang berbicara. Bukan, lebih tepatnya membentak. Suara itu terdengar sangat marah.

Mata Mila membulat sempurna.
Pasalnya, di dalam kamar luas itu, tanpa disangka-sangka maniknya saat ini mendapati sosok yang dicarinya tengah tergeletak di lantai. Pipi kanannya nampak lebam.

Di sampingnya, seorang pria asing berusia sekitar empat puluh tahunan yang mengenakan setelan jas hitam nampak menendangi perut Devano. Tanpa ampun.

Mila akhirnya memilih bersembunyi di balik patung harimau di sebelahnya.

"Dasar tidak berguna! Kerjaanmu selalu saja buat masalah!" gertaknya.

Dan bodohnya, cowok itu bergeming. Cowok bermata elang yang ia kenal dingin, sangar dan hobi berkelahi  itu nampak tak membalas. Bisa saja cowok itu bangkit dan balik menerkam pria tersebut, namun yang ia lihat hanya raut kepasrahan.

"Kamu itu mau jadi apa, hah?"
Pria itu kembali memukul wajah Devano.

"JANGAN PERNAH TUNJUKKAN MUKA KAMU LAGI DI HADAPAN PAPA!" Bentakan itu terdengar bergema di dalam ruangan tersebut. Menghadirkan gemetaran di tubuh mungil Mila.

"Papa?" gumam Mila tak percaya.

Devano nampak bangkit tanpa peduli rasa sakitnya sembari tertawa, "kebetulan, saya juga tidak mau melihat wajah Anda!"

Hampir saja lemparan botol bekas alkohol mendarat di kepalanya. Namun, pria itu memilih menahan amarahnya yang bergejolak dan memutuskan untuk keluar dari kamar itu.
Meninggalkan Devano yang terbatuk-batuk.

Selang beberapa menit, Devano nampak terdiam. Mata elangnya terpejam menikmati rasa sakitnya.

Detik berikutnya, ia menghela napas lalu melirik ke arah persembunyian Mila.

"Gue tau lo di sana. Keluar!" ucapnya.

___

Next ....

Terima kasih sudah bersedia membaca cerita saya.
Krisannya sangat saya butuhkan.

Silakan tinggalkan jejak kalian di kokom + vote.

Salam dari author aka Dev.

Story About MilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang