©motonoona"Tunggu disini, jangan berkeliaran di rumah gue."
Hanya itu yang keluar dari mulutnya, sebelum Yuta berbalik dan menjauh. Tanpa menatap, berlalu sambil mulai membuka kancing kemeja yang dikenakan. Sepertinya menuju kamar.
Aku melepaskan sling bag, lalu duduk di sofa maroon ruang tamu Nakamoto Yuta ini.
Menyandarkan punggung, aku mengetuk-ketukkan jari ke lutut. Kebiasaan yang hanya akan muncul saat aku tengah berpikir.
Untuk saat ini, lebih tepatnya aku sedang mengingat kembali. Melempar paksa pikiran ke kejadian beberapa jam yang lalu.
Yuta serius dengan apa yang diucapkan. Dia benar-benar membawaku ke hadapan kedua orang tuanya.
Berjanji akan bertemu disalah satu restoran mewah di daerah pusat, aku dan Yuta harus menunggu sekitar lima belas menit. Terjebak kaku dalam keheningan, tidak ada niatan untuk sekedar membuka suara.
Sampai muncul dua sosok paruh baya, dengan postur tubuh dan wajah tak jauh beda dari Nakamoto Yuta.
Ayah dan Ibu Yuta ─ atau yang Yuta panggil dengan sebutan Mama Papa ─ sangat ramah. Berbanding terbalik dengan sang anak.
Mereka menyambutku dengan tangan terbuka. Kelewat terbuka malah, sampai memintaku memanggil mereka sebagaimana Yuta memanggil kedua orang tuanya.
Bisa kusimpulkan...Ayah dan Ibu Yuta sangat bahagia kala mendengar anak tunggalnya akan menikah?
Pertemuan kami lancar-lancar saja. Saling memperkenalkan diri, mengobrol untuk mengakrabkan. Sesekali Mama Yuta akan bertanya tentang Perusahaan dan Johnny, yang hanya bisa kujawab seadanya.
Bahkan, sampai aku dan Yuta kembali ke kediaman si pria Jepang pun, kami masih baik-baik saja.
Tidak ada percakapan berarti.
Aku yang terlalu takut untuk memulai topik dan Yuta yang terlalu tidak sudi mengajakku berbincang.
Seo Grace, tugasmu disini hanya sebagai 'barang dagang' Kakakmu.
Dan harus selalu sadar diri.
Apalagi yang kau harapkan?
Tok! Tok! Tok!
Lamunanku buyar. Suara ketukan dipintu benar-benar terdengar nyaring untuk ruang tamu dengan ukuran luar biasa ini. Menatap sekitar, memastikan ada pelayan yang datang atau tidak?
Aku ragu. Haruskah bangkit dan membukakan pintu?
Tapi, aku bukan siapa-siapa disini. Aku tidak punya hak.
Tok! Tok! Tok! Tok!
Ketukannya lebih keras. Aku semakin bimbang. Tidak melihat ada pelayan rumah yang datang.
Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!
Aku menyerah. Mengalah atas rasa ragu. Melangkahkan kaki ke arah pintu utama, tidak langsung membuka benda menjulang tinggi yang terbuat dari kayu jati asli ini.
Lagi-lagi aku berpikir, memangnya aku siapa? Kenapa aku harus membukakan pintu? Aku dan si pengetuk mempunyai status yang setara, sama-sama tamu.
Jadi, kuputuskan untuk mengintip dari sela jendela.
Seorang wanita.
Berpostur tinggi.
Rambut terurai rapi.
Dari atas sampai bawah, berbalut barang-barang ternama. Dia bahkan mengenakan kaca mata hitam.
Menjinjing tas berwarna merah, dagunya kelewat angkuh untuk diangkat. Seolah menunjukkan dimana tahtanya berada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Paruh Waktu | Nakamoto Yuta
RomanceNakamoto Yuta. Dia adalah suamiku. Suami yang sah secara agama dan hukum. Suami yang memintaku datang saat fajar menyapa, lalu menyuruhku pulang kala senja tiba. Iya, Nakamoto Yuta adalah suamiku, yang melamarku sebagai istri paruh waktunya. © mot...