Dua Puluh Delapan

63.3K 9.6K 2.3K
                                    

©motonoona

©motonoonaㅤㅤ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Panas.

Menengadahkan wajah ke langit, tanganku spontan menutupi mata. Silau sekali. Matahari seolah sedang bersemangat membanggakan sinarnya kepada sang bumi. Tidak mengizinkan satu pun awan menghalangi. Mendesak para pejalan kaki yang tidak tahan akan panasnya untuk menyembunyikan diri dalam bangunan ber-ac yang berderet di sisi jalan.

Aku tidak sempat mengecek temperatur udara melalui ponsel, lampu hijau untuk penyebrang lebih dulu menyala. Bergegas, membaur bersama orang-orang yang juga terburu ingin mendinginkan tubuh di dalam ruangan.

Sedikit dramatis, aku menghirup rakus hawa sejuk dari mesin pendingin begitu berhasil memasuki pusat perbelanjaan. Mengabaikan satu-dua bisikan dari sekitar, aku berdiri di depan pintu masuk selama beberapa hitungan.

Aku tidak ingin si kecilku ikut merasa kepanasan.

Ini awal bulan, waktunya belanja bulanan.

Membeli beberapa kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan. Menghindari pengeluaran berlebihan, aku mengabaikan Yuta yang terus mengoceh tentang minuman bersoda. Dia masih sakit, suhu tubuhnya belum normal dan hidungnya kerap mengeluarkan cairan. Merasa sehat saat bangun tidur, namun kembali ambruk setelah mandi sore. Jelas aku mencoret cola dari daftar belanjaan.

Walau bersuami seorang CEO salah satu perusahaan paling berpengaruh dalam negara, aku tidak biasa membuang-buang uang. Johnny memang baru mengirimkan uang jajan, tapi langsung aku masukkan ke dalam tabungan. Lebih memilih menggunakan sisa uang yang Yuta berikan, dibanding menerima black card yang pria itu tadi sodorkan.

Aku merasa, tidak berhak sama sekali atas harta Nakamoto Yuta. Setiap dia memberikan uang bulanan, akan selalu aku simpan. Nantinya digunakan untuk mengurus semua yang suamiku butuhkan.

Dari Yuta dan kembali untuknya.

"Papa kamu masih sakit, enaknya hari ini kita masakin apa, ya?" Bergumam pelan, aku mulai mengajak ngobrol perutku sendiri. Sambil mendorong trolley, melewati rak bahan-bahan masakan.

"Papa kamu kalau lagi kaya gini, rewelnya bisa bikin kepala Mama bercabang. Suka jadi juri masak dadakan. Bentuk telur gulung satu sama yang lain beda dikit aja ngomel-ngomel gak karuan."

Aku mengambil dua daging kalengan dan satu botol kecap asin ukuran besar. Memasukkan ke dalam keranjang, setelah sebelumnya juga meraih dua botol minyak wijen.

Berhenti dibagian makanan ringan, dua netraku fokus pada deretan biskuit bayi. "Kamu mau? Mama gak tau rasanya, belum pernah coba." Menatap satu box ukuran kecil, membaca beberapa keterangan dibagian belakang. "Beli satu aja dulu, ya? Takut kamu gak suka. Kalau enak, nanti minta pabriknya ke Papa."

Istri Paruh Waktu | Nakamoto YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang