Dua Puluh Tujuh

57.2K 9.1K 1.7K
                                    

©motonoona

ㅤPelan-pelan mataku terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pelan-pelan mataku terbuka. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar bernuansa putih dengan cahaya remang. Sesaat, netra tertutup oleh kelopak mata. Sambil mengusap wajah pelan, aku bangkit. Diam memandangi langit biru gelap yang terbingkai jendela.

Yang pertama terpikir di benakku adalah Yuta. Keberadaannya belum aku ketahui bahkan sampai subuh tiba. Sampai aku kembali terlelap karena lelah beradu argumentasi dengan semesta. Sudah sering priaku itu menghilang ditengah tidurnya, tapi baru kali ini aku merasakan sesak di dada.

Seperti... ada ruang hampa.

Jadi, aku menggulirkan pandang ke sekeliling. Mencari setidaknya tanda-tanda kehidupan yang sempat Yuta tinggalkan.

Tapi, nihil.

Sisi kosong di ranjang masih sama dinginnya. Pertanda tidak ada yang menempati semalaman.

Membuang napas pasrah, melepas belenggu yang mengukung jiwa. Ya sudah, aku harus bagaimana?

Memaksakan diri untuk keluar dari kamar. Aku pergi menuju dapur, mengambil segelas minuman dan mencari sesuatu dalam kulkas yang dapat dimakan. Bagaimana pun, aku tidak boleh melupakan makhluk kecil yang sedang tumbuh dalam perut.

"Selamat pagi." Kepala pelayan di rumah ini menyapaku. Sikapnya sopan, tetapi sekaligus dingin. Kentara betul dia hanya sedang berbasa-basi kepadaku. "Apa Nyonya mau secangkir teh panas?" tanyanya.

Aku menguap sekali. "Oh, ya, itu yang saya butuhkan." Jawabku. "Pukul berapa ini?"

Nyonya Oh melirik sekilas pada pergelangan tangannya. "Pukul lima kurang sepuluh menit, Nyonya." Dia menuangkan secangkir teh panas─yang entah sejak kapan disiapkan─untukku, lalu menghilang ke dapur. Tidak lama kemudian, wanita paruh baya itu kembali dengan sepiring roti panggang─yang lagi-lagi entah sejak kapan disiapkan.

"Sebelum Nyonya besar pergi, beliau berpesan agar saya menyiapkan sarapan. Katanya untuk si kecil. Ini masih hangat."

"Nyonya besar pergi? Mama?" Aku membeo yang dijawab anggukan pelan.

Pagi yang indah, bukan?

Yuta tidak ada di rumah dan Mama sedang berpergian. Haruskah aku juga ikut keluar dari rumah ini?

Memandangi isi piringku sejenak, aku berterimakasih tanpa suara. Mengangguk samar sebagai tanda Nyonya Oh bisa meninggalkan ruang makan.

Aku ingin sendirian.

Baru saja tanganku bergerak mengoleskan selai pada roti panggang, suara pintu ditutup menyita perhatian. Berdebum keras memenuhi seluruh sudut ruangan. Aku segera berdiri, menghampiri siapa pun pembuat keributan di pagi buta begini.

"Yuta?"

Dia disana. Bergeming sambil bersandar pada pintu. Sudut bibirnya sedikit melengkung ke atas, dengan penampilan yang jauh dari kata rapi. Masih mengenakan pakaian yang sama seperti terakhir kali aku melihatnya, Yuta sudah mirip orang jalanan yang baru saja kembali ke rumah.

Istri Paruh Waktu | Nakamoto YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang