Dua Puluh Lima

63.3K 8.9K 1.7K
                                    

©motonoona

ㅤ"Gelap sekali langit di luar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Gelap sekali langit di luar."

Aku menoleh ke arah jendela karena perkataan salah satu pelayan barusan. Mama yang sedang menikmati teh sore di ruang keluarga bersamaku pun ikut menoleh. Pelayan itu benar. Awan kelabu menyelimuti langit, menyulap suasana kota menjadi luar biasa muram. Aku mulai menyukai pemandangan seperti ini sejak hamil, maka tidak berkomentar apa-apa.

Lain hal dengan Mama. Beliau mendesah, lalu bergumam, "Tidak lama lagi hujan turun." Ekspresi di wajah wanita paruh baya itu tenang. Tangannya bergerak pelan meraba bibir cangkir.

"Jangan lupa memakai pakaian hangat." Gumam Mama lagi.

"Iya, Ma?" Tanyaku. Aku baru saja kembali dari fokusku memandang jendela.

"Jangan lupa memakai pakaian hangat." Ulangnya. "Kalian jadi pergi?"

Aku mengangguk, meletakkan cangkir di atas meja. "Yuta ingin makan steik, Ma."

"Padahal kalau cuma steik, Mama juga bisa masaknya."

Aku terkekeh pelan.

Sejak kejadian malam Yuta memasak, entah hanya perasaanku saja atau memang takdir sedang bosan bermain, sikap Yuta semakin tidak tertebak─atau bisa kusebut semakin manis? Masih dengan keinginan randomnya, menggantikan aku yang harusnya mengidam aneh-aneh. Salah satunya hari ini.

Pria itu berkata ingin memakan daging panggang. Bukan buatan rumahan, melainkan hasil olahan tangan koki restoran. Dia mengabari hanya lewat pesan, padahal kita berada dalam satu atap yang sama.

Ada saja tingkah Ayah si kecil.

Mama meminta tolong pada salah satu pelayan untuk membawakannya gula. Dengan gerakan yang tetap tenang, beliau mengambil beberapa sendok dari stoples bening di meja. Butiran-butiran manis itu dimasukkan ke cangkir teh kepunyaannya. Mama membawa minuman itu mendekat. Jari-jarinya diketuk-ketukkan ke bibir cangkir saat wadah keramik yang putih itu membeku di depan dada. Pandangannya melayang kembali ke luar.

Ketika itulah jendela mulai dipenuhi titik-titik air.

Ketukan jari Mama berhenti. Beliau bangkit dari tempat duduknya sewaktu melihat hujan turun membasahi halaman.
Berjalan menuju kamar, meninggalkan cangkir yang tidak jadi beliau sesap isinya.

Sepertinya ada yang sedang mengganggu pikiran Nyonya Nakamoto.

Kali ini, hujan turun lebat, membawa serta angin yang menggoyangkan pepohonan, seolah-olah semua air yang ada di langit ditumpahkan sekaligus.

"Gila. Kenapa sederas ini?"

Aku menoleh, mendapati sosok lain selain diriku di ruangan ini. Yuta berdiri sambil menjinjing mantel merah maroonnya. Aroma khas parfum kesukaannya menguar di udara.

Istri Paruh Waktu | Nakamoto YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang