Masih Harus Menunggu

3.4K 362 14
                                    

Pukul sepuluh pagi, pada akhirnya Arka dipanggil masuk ke ruang pemeriksaan. Bersama dengan Bunda, ia duduk di hadapan dokter Eka, salah satu dokter spesialis ortopedi di rumah sakit ini. Arka menunduk sesaat sebelum akhirnya kembali menatap wanita berusia 45 tahun tersebut.

Ruangan tersebut tidak terlalu besar. Hanya berukuran tiga kali empat meter dengan sebuah brankar terletak di sana. Sebuah X-Ray film viewer terpasang di salah satu dinding dalam keadaan mati. Selanjutnya, ketika Arka mengedarkan pandangannya, seorang dokter muda berdiri di dekat brankar, memperhatikan.

"Oke, Dek Melvino, apa keluhannya?" Dokter Eka bertanya ramah, membuat Arka kembali menatapnya. Tangannya saling tertaut di atas meja.  Di atas meja pula, rekam medis milik Arka terletak.

Arka mengerjap sejenak, agak canggung karena dipanggil dengan nama depannya. Ia menatap Bunda sebelum akhirnya menjawab, "Itu, dok, kaki aku sakit banget. Di lututnya. Terus ada lebam gitu, agak bengkak juga. Kalau dipegang sakit."

Dokter Eka menganggukkan kepalanya mengerti. Tangannya menulis di sebuah kertas, dengan tulisan yang bahkan tidak dapat Arka baca. Sontak, Arka menyernyit heran.

"Sakitnya udah sejak kapan?"

Arka melirikkan matanya ke arah langit-langit, berusaha mengingat kapan pertama kali sakit itu muncul. "Sekitar dua minggu. Hampir tiga minggu." Arka menjawab seingatnya. Lalu, ia menatap Bunda. "Iya 'kan, Bun?"

"Bunda perhatiin, sih, udah selama itu." Bunda menimpali. Kepalanya mengangguk perlahan.

"Wah, udah lumayan lama juga, ya." Dokter Eka bergumam pelan. "Karena apa? Jatuh? Kecapekan?"

"Ah, itu, dok. Kaki aku juga sering kaku, makanya itu jatuh. Terakhir kali jatuh kemarin," ujar Arka. Tangannya agak mengepal, membuat nada suaranya meninggi. "Rasanya, kayak aku susah buat ngegerakin kaki aku. Kaku banget. Nggak enak."

"Ada demam?"

Arka menggelengkan kepalanya perlahan. "Kayaknya, sih, enggak," jawabnya pelan. Ia sendiri tidak ingat, dalam tiga minggu terakhir pernah demam atau tidak.

Dokter Eka meletakkan pulpen yang sedari tadi dipegangnya. "Naik ke tempat tidur dulu, yuk. Diliat kakinya sebentar."

Arka mengangguk dan perlahan berdiri. Dengan langkah yang agak terseok, Arka berjalan menuju brankar, melepas sepatunya, lalu berusaha untuk naik ke atas sana. Celananya dilipat, hingga dokter Eka dapat melihat keadaan kakinya.

"Aduh, sampai begini, ya." Dokter Eka berucap. Ia memegang lutut Arka, membuat cowok itu meringis pelan. "Dari kemarin, diapain?"

"Cuma dikompres, dok." Arka menjawab, di tengah ringisannya. "Sama penjaga UKS aku juga cuma dikompres."

"Minum obat?"

Arka lagi-lagi menggelengkan kepalanya perlahan. "Enggak, nggak ada minum obat sama sekali. Selama ini, aku biarin aja, sih."

"Yaudah, turun, yuk." Dokter Eka kembali duduk di bangkunya. "Saya bikinin surat pengantar buat tes darah sama rontgen, ya. Hari Senin nanti, bawa hasilnya ke saya."

Arka yang sedang berusaha menuruni brankar lantas mengerjap kaget. Seraya memakai sepatunya, ia bertanya, "eh, harus banget, dok? Gini doang nggak bisa?"

"Enggak, Dek. Biar bisa diliat sebenarnya kaki kamu kenapa." Dokter Eka menjawab singkat. "Sekalian saya resepin obat buat kamu, ya."

Arka kembali duduk di sebelah Bunda. Ia meraih tangan Bunda, lalu menggenggamnya dengan erat. Entah kenapa, hawa mendadak berubah. Arka menggigit bibir bawahnya saat merasakan rasa takut mulai menguasai dirinya.

"Tapi, nggak ada apa-apa 'kan, dok?"

"Berdoa, ya, Dek."

~l a s t t i m e~

Pada akhirnya, Arka kembali menunggu bersama Bunda. Ayah izin membeli roti di minimarket rumah sakit. Di hadapannya, sebuah taman yang berada tepat di pusat rumah sakit tersebut, tidak dapat membuat rasa takut Arka berkurang.

Tadi, setelah melakukan rontgen pada kakinya, Arka saat ini harus menunggu namanya dipanggil untuk pengambilan sampel darah. Kepalanya sesekali menoleh, menatap pasien lain yang melintas di hadapannya. Menyeramkan, sungguh. Arka berharap pemeriksaan hari ini cepat selesai. Karena sejujurnya, Arka tidak suka jika harus berlama-lama di tempat ini.

"Bun, kenapa, sih Arka harus tes aneh-aneh lagi?" Arka bertanya, memecah keheningan di antara dirinya dengan Bunda. "Arka takut, kali. Apalagi ambil darah. Pasti disuntik."

"Arka udah gede 'kan? Masa masih takut sama jarum suntik?" Bunda membalas. Ia terkekeh geli saat melihat ekspresi Arka. Menggemaskan. Rasanya, Bunda seperti sedang melihat Arka versi usia lima tahun, dibanding dengan usia lima belas tahun.

"Sakit tahu, Bun." Arka mencebikkan bibirnya. Ia bersedekap.

"Enggak, cuma kayak digigit semut, kok." Bunda berujar. "Tapi, semutnya ada ribuan."

"Bunda!" Arka protes. Ucapan Bunda malah membuatnya semakin takut. Digigit satu semut saja sudah menyakitkan. Apalagi ribuan.

"Nggak apa-apa, 'kan ada Bunda." Bunda menenangkan. Senyum hangatnya mampu membuat Arka merasa lebih tenang. "Nanti, kamu juga boleh, kok, megang tangan Bunda. Asal jangan nangis aja. Bunda yang malu jadinya."

"Arka nggak bakal nangis, kok!" Arka mencetus tegas. "Liat, ya, Arka nggak bakal takut cuma gara-gara suntikan kayak gitu."

~l a s t t i m e~

Nyatanya, ketika Arka disuruh untuk mengepalkan tangannya, ia malah hampir menariknya. Bahkan, ketika hendak dipasangkan torniquet, Arka tidak juga berhenti berusaha untuk meloloskan tangannya. Sampai-sampai, tawa Bunda terdengar, mengundang perhatian beberapa pengunjung.

"Mana katanya nggak bakal takut?" Bunda mempertanyakan ucapan Arka barusan. "Belum disuntik, kamunya udah begitu."

Wajah Arka pada akhirnya memerah malu. Ia membuang pandangannya, tidak ingin melihat jarum suntik yang menembus permukaan kulitnya hingga ke pembuluh darah. Arka meringis. Benar apa kata Bunda, rasanya seperti digigit oleh ribuan semut. Menyakitkan.

"Udah belum, sih?" Arka bertanya. Ia melirik lengannya ketika torniquet dilepaskan. "Lama banget!"

"Iya, sabar, Sayang." Bunda berucap. "Sini, liat Bunda aja, biar nggak terlalu sakit."

"Sama aja!" Arka mendengkus pelan.

"Udah, udah selesai, ya." Luka bekas tusukan di lengan Arka langsung ditutup sempurna. Arka menghela napas lega. Penderitaannya hari ini berakhir sudah.

"Hasilnya keluar kapan, Bu?" Bunda bertanya.

"Tiga sampai empat jam, ya. Besok juga bisa."

"Baik, Bu. Terima kasih."

Arka mengusap lengannya dan tersenyum malu, sebelum akhirnya berjalan ke luar ruangan pengambilan darah. Butuh tiga sampai empat jam untuk mengetahui hasilnya. Besok, Bunda akan mengambil seluruh hasil pemeriksaannya hari ini. Dan Senin besok, Arka akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada kakinya.

~l a s t t i m e~

A/n

Woah, tiga kali dalam waktu dekat. Aku puas wkwkwk

Lambat banget ga sih wkwk

Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang