"Bunda, Aku Mau Tidur."

1K 76 10
                                        

Instalasi gawat darurat hari ini benar-benar ramai ketika ketika Arka diturunkan dari mobil sekolah yang membawanya. Ringisannya berusaha ditahan ketika tubuhnya ditarik dengan kuat ke atas brankar. Bergerak sedikit saja, rasanya tubuh Arka seperti dihantam batu keras-keras.

Arka tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Pertanyaan dari tenaga kesehatan yang bertugas di ruangan tersebut juga tidak ia acuhkan. Rasa sakit mengalihkan pikiran Arka, membuatnya bahkan tidak dapat menjawab selain dengan ringisan.

Lalu, tangan kiri Arka seperti ditarik. Hingga beberapa detik kemudian, infus sudah terpasang dengan rapi di punggung tangannya. Bahkan, sakit yang dirasakannya membuat suntikan di tangan tidak terasa sama sekali.

"Obat nyerinya dimasukin, ya." Hanya itu yang Arka dengar. Ia tidak menjawab sama sekali selain dengan anggukan. Arka tidak peduli lagi, ia ingin sakit yang dirasakannya menghilang.

"Arka ... Sayang, mana yang sakit?" Suara bundanya tidak lama kemudian terdengar. Bersamaan dengan usapan di kening Arka yang basah oleh keringat. Perlahan, Arka membuka kedua kelopak matanya. Sakit sekaligus mual yang ia rasakan masih belum berkurang, hingga rasanya ia ingin memotong kakinya begitu saja.

"Kaki ...." Arka berbisik pelan. Tangan bunda yang terasa di genggamannya menguat. Bunda seolah memaksanya untuk berbagi rasa sakit. "Kaki ... aku. Bunda, kaki aku ... sakit."

Bunda tidak tahu harus berbuat apa. Kalau ia bisa, sejak lama ia akan memindahkan sakit yang Arka derita ke tubuhnya. Namun, saat ini, bunda hanya bisa berharap sakit yang Arka rasakan sedikit berkurang.

Dari apa yang sudah dijelaskan, Arka sudah diberikan obat pereda nyeri melalui pembuluh darah. Obatnya mungkin bekerja lambat, hingga saat ini Arka masih merasakan sakit. Laki-laki itu terpejam kuat, sesekali meringis. Tubuhnya menegang, bahkan seolah tidak ingin bergerak sama sekali.

"Aku ... nggak kuat, Bunda ...." Arka berucap lirih. Napasnya memburu, saturasinya sedikit menurun, dan tekanan darahnya meningkat. Arka ingin berkata bahwa bunda tidak perlu khawatir, namun ia tidak bisa.

"Bunda di sini, Sayang," ujar bunda, berusaha menenangkan. Ia mengusap puncak kepala Arka dengan lembut. "Sabar, ya. Sakitnya pasti berkurang. Bagi ke Bunda sakitnya."

Arka menggeleng cepat. Ia tidak pernah menyangka sakit yang dirasakannya akan separah ini, namun Arka juga tidak mungkin membaginya pada bunda. Cukup ia yang merasakannya seorang diri.

Genggaman tangan Arka pada tangan bunda mengerat tiap rasa sakitnyabterasa menyiksa. Arka tidak lagi menyadari siapa yang ada di sekitarnya. Bahkan, ketika dilakukan pemeriksaan fisik pada dirinya, Arka tidak lagi peduli.

Kemudian, kedua kelopak mata Arka kembali terbuka. Begitu sayu, hingga binarnya menghilang. Kantuk terasa membuatnya berat. "Bunda, boleh aku tidur sebentar?" tanya Arka lirih. "Rasanya ... sakit banget. Aku nggak kuat."

Bunda mengangguk cepat. Obatnya mungkin mulai berefek hingga membuatnya mengantuk. Apapun itu agar Arka tidak terus merasakan sakitnya.

Lalu, tanpa membalas lagi, masih dengan ringisan dan kerutan di kening, mata Arka perlahan menutup. Ia hanya ingin tidur sejenak, melupakan rasa sakit di kakinya. Berharap setelah bangun nanti, semuanya akan menghilang.

~l a s t t i m e~

Arka disarankan untuk rawat inap. Selain agar dapat diobservasi, akan ada tindakan lain yang harus dilakukan. Arka sendiri menerima saja. Ia tidak bisa menolak sama sekali, meski rasanya tidak begitu nyaman tidur di ranjang rumah sakit.

Arka menarik napas panjang. Napasnya tidak sesak seperti tadi, namun ia masih harus menggunakan nasal kanul. Arka tidak terbiasa, hingga hidungnya terasa gatal dan tangannya gemas ingin menarik benda itu begitu saja.

Kedua manik Arka menatap jendela. Langit yang sudah gelap dengan gemerlap lampu di gedung sekitar mungkin akan menjadi pemandangan yang dilihatnya pada malam hari untuk beberapa hari ke depan. Entah akan berapa lama ia di sana, Arka tidak dapat memprediksi.

"Permisi, namanya siapa?" Suara perempuan yang lalu terdengar di telinga Arka, membuat ia menoleh.

"Melvino Zayyan." Bunda yang menjawab dan Arka membiarkan saja. Ia tidak berminat untuk buka suara, setelah berjuang dengan rasa sakitnya selama berjam-jam.

"Atas nama Melvino, ya. Ini makan malamnya. Semoga cepat sembuh."

"Terima kasih, ya, Kak."

Arka menghela napas panjang. Ia menatap bunda, lalu beralih kembali pada jendela. "Buat Bunda aja. Aku nggak nafsu makan," ucap Arka perlahan. "Masih mual."

Bunda mengambil kotak makan yang berada di atas meja dan membukanya. Tidak ada aroma, dan menurut tebakan Arka juga tidak ada rasanya. Hal itu makin membuat Arka tidak nafsu makan.

"Makan sedikit, yuk," bujuk bunda. "Kalau kamu nggak makan, nanti kamu nggak bisa pulang ke rumah, soalnya nggak sembuh-sembuh. Gimana kalau gitu?"

"Aku udah pakai infus, Bun." Arka menjawab. "Buat Bunda aja. Aku juga nggak lapar, kok."

"Kamu belum makan sama sekali, loh, dari siang." Bunda masih berusaha membujuk. Rasanya, begitu berat ketika melihat Arka yang nafsu makannya baik, mendadak berubah. Bahkan, camilannya juga tidak disentuh sedikit pun.

"Suapin, ya," ucap Arka pada akhirnya. Ia menatap bunda lekat-lekat. "Sesuap aja, abis itu udah."

"Dua, deh." Bunda mengambil sendok yang tergeletak di atas meja, mengusapnya dengan tisu, sebelum menyendokkan sedikit nasi beserta kuah sup. "Lihat, deh. Ada ayam kesukaan kamu. Sayang banget kalau nggak dimakan."

Kedua manik Arka mulai berkaca-kaca. Bukan ia bermaksud jahat pada bundanya, tetapi rasanya asam lambungnya mendadak naik begitu melihat makanan yang disajikan. Bahkan, dengan susah payah Arka harus menelan makannya, meski dalam porsi kecil.

"Bunda." Arka berbicara, tepat ketika ia berhasil menelan sesendok nasinya.

"Ya?"

"Apa aku harus ngerasain ini seumur hidup aku?"

Bunda diam sejenak. Ia membuang pandangannya dengan kelopak mata yang tertutup. Mendapat laporan dari sekolah kalau Arka harus dilarikan ke rumah sakit ... ia juga tidak ingin mengalaminya terus menerus.

"Enggak, Sayang. Kamu pasti bisa sembuh sebentar lagi," jawab bunda, walau tidak begitu yakin. Sakit yang dialami Arka bukan sakit yang biasa. Bukan sakit yang dalam waktu beberapa hari dapat menghilang.

"Aku baca-baca tentang penyakit aku ...." Arka menggigit bibir bawahnya sesaat. "Katanya bisa menyebar ke bagian yang lain. Bun, di satu tempat aja sakitnya nggak bisa aku tahan. Gimana ... gimana kalau akhirnya menyebar?"

"Arka, jangan ngomong begitu." Bunda mengusap lengan Arka perlahan. "Nggak bakal ada penyebaran sama sekali. Semuanya ... semuanya pasti berusaha biar penyakit Arka nggak nyebar ke mana-mana. Biar Arka bisa sembuh. Kamu percaya, 'kan?"

Arka tidak bisa percaya, namun ia tetap mengangguk. Untuk saat ini, bisa membuat bunda lebih tenang ... mungkin sudah lebih dari cukup.

~l a s t t i m e~

A/n

Tepat sebelum satu tahun ahahahahaha

Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang