Begitu sampai di rumah, Arka langsung berjalan terseok menuju kamarnya. Ia bahkan tidak peduli meski Bunda menyuruhnya untuk makan siang terlebih dahulu. Arka juga tidak peduli ketika tiba-tiba saja Ayah menyodorkan sekotak kado yang dibungkus kertas berwarna biru.
Arka seolah kehilangan minatnya untuk melakukan apapun. Rasanya, Arka hanya ingin berbaring meringkuk di atas tempat tidurnya, menangis hingga akhirnya tertidur karena kelelahan, lalu terbangun dan segalanya kembali seperti semula.
Tanpa menyalakan lampu dan membuka gorden, Arka berbaring di atas ranjang. Ia meraih gulingnya, lalu dipeluknya dengan erat. Perlahan, Arka berusaha untuk menarik napas panjang.
Kabar buruk yang didapatkannya cukup membuat Arka merasa dunianya hancur dalam sekejap. Ingin menyalahkan Tuhan atas takdirnya, tapi Arka tidak mungkin melakukan itu. Pada akhirnya, Arka hanya bisa terdiam, menangisi nasibnya yang tidak sebaik orang-orang di luar sana.
Arka membalik tubuhnya hingga kini ia berada di posisi tengkurap. Tangannya mengusap permukaan kasurnya yang terasa dingin.
"Kanker, ya ...." Arka bergumam pelan. Sorot matanya yang teduh tampak tidak bernyawa. Tawanya terdengar, miris. "Diagnosis macam apa itu?"
Arka menghentikan tawanya. Senyum indah yang biasa terlukis di wajahnya lantas luntur. "Yah, tenang aja, Arka. Cuma kanker, kok." Arka bergumam pelan. "Lo bakal baik-baik aja. Nggak perlu takut. Nggak perlu ... takut ...."
Suara Arka mengecil di akhir kalimatnya. Meski ia berulang kali menekankan bahwa dirinya tidak perlu takut, nyatanya Arka juga takut. Dari apa yang dilihat dari raut wajah dokter Eka, bundanya, dan juga ayahnya, dapat Arka simpulkan bahwa ia tidak akan pernah baik-baik saja.
Perlahan, Arka memejamkan matanya. Hanya sesaat, karena kemudian, ponselnya bergetar. Saat Arka lihat, ada panggilan video dari Afkar, ketua kelasnya. Senyum Arka merekah sebelum akhirnya bangkit dari kasur, merapikan rambutnya, lalu menjawab panggilan. Wajah Afkar terlihat, sedang berdiri di depan kelas, menyorot hingga ke belakangnya.
"Yo, Arka! Apa kabar?" Suara Afkar terdengar samar karena suasana di kelas yang berisik.
Arka melambaikan tangannya. "Baik, lo gimana?"
"Baik, gue baik. Teman sekelas baik. Alhamdulillah," jawab Afkar cepat, "Gimana kondisi lo? Gue dengar-dengar, hari ini lo ke rumah sakit lagi. Ada masalah? Teman sekelas juga pada khawatir sama lo."
Arka tertawa, walau sebenarnya ia tidak terlalu suka dikhawatirkan. Ditambah lagi dengan teman sekelasnya. Mereka semua baik, tentu saja. Tapi, Arka terkadang merasa kekhawatiran mereka terlalu berlebihan.
"Cuma baca hasil tes aja. Selebihnya, gue nggak apa-apa. Nggak ada masalah berarti." Arka melirik ke arah lain sejenak, enggan menatap kedua manik Afkar.
"Terus, kapan masuk?"
Arka diam sejenak. Ia tidak tahu kapan dirinya bisa masuk sekolah. Nyatanya, masih banyak pemeriksaan yang harus Arka lakukan. Lalu, jika hasilnya sudah keluar dan treatment yang harus Arka lakukan sudah ditentukan, ia tidak juga bisa kembali ke sekolah. Mungkin, hanya sesekali.
Arka menyunggingkan senyumnya dan menempelkan telunjuknya di bibir. "Rahasia."
~l a s t t i m e~
A/n
Hal yang terjadi ketika aku nulis part ini.
Ada pesan masuk.
Dari dosen.
Isinya; Besok tidak ada perkuliahan, ke RSCM untuk diklat jam 8 pagi.
Sedih diri ini, jadi ga fokus 👌🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Time
Teen FictionIni kisah tentang Melvino Zayyan Arkana, cowok berusia lima belas tahun yang didiagnosis menderita penyakit berbahaya tepat di hari ulang tahunnya. Bagi Arka, dunianya hancur saat itu. Mungkin saja, kematian bukanlah hal yang menyakitkan, dibanding...