Tidak Dapat Percaya

3.5K 387 6
                                        

Bahkan, ketika Arka dan Bunda keluar dari ruang dokter, cowok yang kini berusia lima belas tahun itu tidak juga bersuara. Ayah yang sedari tadi menunggu di kursi tunggu lantas bangkit. Raut wajahnya tampak khawatir.

"Ada apa?" Ayah bertanya. "Bunda, ada apa? Kenapa mukanya pada sedih semua gini?"

Bunda maju, lalu langsung memeluk Ayah. Bodo amat dengan tatapan orang yang berlalu lalang, Bunda hanya ingin menumpahkan kesedihannya. Nyatanya, Bunda tidak bisa berlagak sok kuat di hadapan Ayah.

"Ayah ... Arka ...." Bunda berbisik di tengah isakannya.

Ayah menautkan kedua alisnya. Ditatapnya Arka yang menunduk di hadapannya. "Arka kenapa, Bun?" tanya Ayah sekali lagi. Meski heran, tangan Ayah tetap balas mendekap Bunda. "Coba ngomong ke Ayah, Arka kenapa?"

Arka menggeleng cepat. Lidahnya kelu. Rasanya, sulit untuk mengatakan hal yang sebenarnya di hadapan Ayah. Dunianya seolah berputar hebat, membuat kepalanya terasa pening, hingga akhirnya Arka hanya bisa duduk di atas kursi ruang tunggu. Skleranya tampak memerah dengan cairan bening yang melapisinya.

"A-yah ...." Arka memanggil pelan. "Maaf, maafin Arka."

Ayah makin bingung. Ia melepas pelukannya pada tubuh Bunda, membantu wanita tercintanya untuk duduk di sebelah Arka. Lalu, Ayah berlutut, tepat di hadapan putra satu-satunya tersebut. Tangannya mengusap pundak Arka perlahan.

"Arka, coba cerita ke Ayah." Ayah berujar lembut, berusaha setenang mungkin. "Tadi, dokter ngomong apa aja ke kamu?"

"Kanker ...." Arka berbisik. Saking pelannya, Ayah sampai tidak dapat mendengar apa yang Arka ucapkan. Ditambah dengan kondisi sekitar yang memang ramai.

"Apa? Kamu ngomong apa?" Ayah meminta Arka untuk mengulangi ucapannya. Padahal, untuk mengucapkan satu kata saja rasanya sangat berat, apalagi untuk mengulanginya.

"Arka, coba ngomong pelan-pelan." Ayah meraih tangan Arka, lalu menggenggamnya dengan erat. Rasa khawatir semakin menjadi-jadi kala air mata justru mengalir dari sudut mata Arka.

"Kanker, Yah. Arka ... kata dokter, kemungkinan ada kanker di kaki Arka," jawab Arka lirih. Ia menggigit bibir bawahnya dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dihapusnya air mata yang menjejaki kedua pipinya. "Maaf, Yah. Maafin Arka."

Ayah berusaha tersenyum. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Arka. Walau sebenarnya, dunia Ayah seolah hancur ketika mendengar ucapan Arka.

"A-ah, sekarang, kita mau ke mana? Tadi katanya, dari rumah sakit mau jalan-jalan 'kan?" Ayah berusaha mencairkan suasana. "Kamu mau makan-makan nggak? Ayo, hari ini kamu ulang tahun 'kan?"

Arka tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Maaf, Yah. Kita pulang aja, ya."

~l a s t t i m e~

Sepanjang perjalanan pulang, Arka hanya diam. Matanya menatap ke arah luar jendela. Sementara itu, pikirannya menerawang entah ke mana. Terngiang kembali ucapan dokter Eka tadi.

Rasanya, semua seperti mimpi belaka. Tidak ada yang menyangka bahwa ada penyakit ganas yang bersarang di tubuhnya. Selain kakinya, Arka seolah tidak memiliki masalah di daerah tubuhnya yang lain.

Ah, tunggu sebentar. Kanker itu ada di kakinya, bukan?

Arka menghela napas panjang. Dipejamkannya kedua matanya, berusaha untuk tenang. Tapi, lagi-lagi likuid bening melesak keluar dari sudut matanya.

"Sayang, kamu mau makan apa?" Suara Bunda tiba-tiba terdengar. Lirih, namun Bunda seolah membuatnya terdengar seperti biasa. "Kita beli makan dulu, yuk. Mau es krim juga nggak? Udah lama kita nggak makan es krim bareng-bareng."

Arka dengan cepat menggeleng. Es krim adalah favoritnya, tapi ia sedang tidak bernafsu sama sekali. "Kita pulang aja, ya, Bun. Maaf."

Bunda menghela napas panjang. "Arka," panggilnya pelan. Bunda membalik tubuhnya, sehingga ia bisa menatap Arka di kursi belakang. Senyumnya menenangkan. "Kita lewatin ini semua bareng-bareng, ya. Bunda sama Ayah nggak akan ngebiarin kamu sendiri."

Arka mengangguk pelan. Senyumnya terulas tipis. "Iya, Bun. Makasih, ya."

~l a s t t i m e~

A/n

Andai wattpad masih kerja sama bareng soundcloud, rasanya ingin kumasukkan lagu yang lagi aku dengerin. Entah kenapa cocok :"

Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang