Rasanya, Arka tidak nafsu makan. Sedari tadi, ia hanya mengaduk sayur kukusnya. Ditambah lagi, dengan tatapannya yang kosong, cukup membuat Bunda dan Ayah khawatir.
Bunda yang duduk di sebelah Arka langsung mengusap puncak kepala sang putra. "Nak, dimakan, dong," ucap Bunda lembut. Perlahan, Bunda menarik piring Arka. "Bunda suapin, ya?"
Arka menggeleng cepat dengan senyum tersungging di bibirnya. "Nggak usah, Bun. Arka makan sendiri aja," balas Arka. Ia mulai mennyuapkan sesendok nasi dan bayam kukus ke dalam mulutnya. Rasa mual langsung menghampiri Arka, membuat ia ingin memuntahkan makanannya. Tapi, saat melihat Bunda, Arka jadi tidak tega. Sebisa mungkin, ia menahannya. Tangan Arka menutup mulutnya. Perlahan, ia menelan makanannya.
"Arka mual?" Bunda bertanya. Ia mengusap-usap punggung Arka perlahan. "Dimakan pelan-pelan. Kamu harus makan, loh."
Meski rasanya sangat tidak nyaman, Arka hanya bisa mengangguk. Ia tidak tahu dari mana rasa mual ini berasal. Mungkin saja, karena efek psikologisnya yang tertekan setelah menerima kabar buruk hari ini, membuat Arka merasa tidak nyaman dan takut di saat yang bersamaan. Ditambah lagi, pening yang menyiksanya membuat Arka tidak sanggup untuk melanjutkan makannya.
"Nggak enak, Bun." Arka berucap lirih. "Baru gini aja rasanya nggak enak banget. Gimana nanti kalau mulai pengobatan? Rasanya, Arka nggak sanggup."
Bunda kehilangan senyumnya. Suara lirih Arka mampu membuatnya ikut merasa sedih. Dada Bunda sesak, seolah ada sebongkah batu besar yang menindihnya. Rasanya, Bunda tidak kuat untuk menahan kesedihannya sendiri.
"Nggak apa-apa, Ar. Kita lewatin semua ini sama-sama, ya." Ayah menimpali. Ia tersenyum, lalu bangkit dari kursinya. Ayah menarik sebuah bangku, lalu meletakkannya di sebelah Arka. "Anak Ayah kuat. Kamu pasti bisa ngelewatin semua ini."
Arka tersenyum sendu, hingga pada akhirnya setetes air mata mengalir dari sudutnya. Ucapan Ayah begitu tulus, membuat Arka sedikit merasa senang. Meski kaki Arka terasa sakit, tapi Ayah dan Bunda membuatnya merasa lebih baik.
"Eh, jangan nangis. Jagoan Bunda harus kuat. Jangan keluarin air mata kamu buat penyakit ini. Kamu harus menang." Bunda mengusap sudut mata Arka. Dengan senyum dan binar hangatnya, mampu membuat Arka mau tidak mau bangkit.
"Ayah bakal ngusahain semuanya. Kamu nggak perlu takut, Arka. Kita berusaha. Kamu jangan lupa berdoa juga. Minta kesembuhan ke Allah." Ayah mengusap punggung Arka lembut. "Ingat, kamu punya janji yang harus kamu tepatin. Makanya itu, jangan sampai kamu kalah."
"Ayah terlalu optimis," ucap Arka, "nggak ada yang tahu ke depannya bakal gimana, Yah. Meskipun Arka kuat, tapi kalau penyakit ini lebih kuat---"
"Ya, kamu harus bisa lebih kuat lagi." Ayah memotong dengan cepat. Ia tidak suka jika mendengar ucapan Arka yang terkesan pesimis.
Bagaimana pun juga, Ayah ingin melihat Arka dewasa suatu hari nanti. Ia ingin melihat Arka berbahagia. Meski tanpa dirinya, Ayah ingin Arka terus melanjutkan hidupnya.
"Kalau pada akhirnya Arka kalah?"
Ayah dan Bunda lantas terdiam. Ucapan Arka menusuk tepat di relung hati keduanya. Rasanya menyedihkan ketika mendengar putra satu-satunya seolah menyerah pada takdir.
"Ayah, Bunda, kalau misalnya suatu hari nanti Arka kalah, Ayah sama Bunda jangan sedih, ya. Arka nggak mau tahu. Kalau Ayah sama Bunda nyuruh Arka buat nggak berhent berjuang, Arka mau Ayah sama Bunda nggak sedih karena keadaan Arka." Arka tersenyum lembut dengan kedua mata yang terpejam, berusaha menahan air mata yang ingin melesak keluar dari tempatnya.
"Arka mau Ayah sama Bunda bahagia. Meski Arka kalah suatu hari nanti, Ayah sama Bunda nggak boleh kalah. Gimana pun hasilnya nanti."
~l a s t t i m e~
A/n
Halo semuanya! Apa kabar? Kangen aku? Atau kangen Arka? Semoga kangen aku wkwk
Akhirnya aku bisa ngetik lagi, walau di tenga kesibukan ini :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Time
Novela JuvenilIni kisah tentang Melvino Zayyan Arkana, cowok berusia lima belas tahun yang didiagnosis menderita penyakit berbahaya tepat di hari ulang tahunnya. Bagi Arka, dunianya hancur saat itu. Mungkin saja, kematian bukanlah hal yang menyakitkan, dibanding...