Takut

2.1K 188 32
                                    

Arka tidak bersemangat sedikit pun hari ini. Bahkan, saat bel pulang sekolah berbunyi, Arka seperti tidak memiliki tenaga untuk bangkit dari bangkunya. Hingga suasana kelas menjadi kosong, Arka masih saja diam, menatap kedua tangannya yang berada di atas meja, saling menggenggam.

Sejak jam pelajaran olahraga selesai, Arka langsung masuk ke dalam kelas. Tidak seperti biasanya di mana ia langsung ikut gerombolan anak cowok yang menyerbu kantin, Arka memilih untuk menyendiri. Meski akhirnya sekumpulan siswa cewek yang malas berganti baju di ruang ganti mengusir, Arka hanya menurut dan berakhir dirinya duduk di depan kelas. Merenungi menatap lapangan yang kosong.

Entah sudah berapa kali ponsel Arka bergetar, ia tidak menghitung lagi. Kepalanya pening. Setelah lama menahan sakit di kaki dan rasa takut yang kadang menghampiri, membuat dadanya sesak, Arka tidak tahu lagi harus seperti apa.

Ia memilih diam sendiri, menikmati kesendirian yang mungkin tidak akan bisa dirasakannya lagi. Ada banyak kemungkinan yang merasuki otaknya, membuat detak jantungnya mencepat dan deru napas Arka menjadi cepat. Hingga tak lama, ketika Arka berusaha untuk menarik napas panjang, kedua bola matanya mulai tergenangi cairan.

Arka ingin menumpahkan segalanya. Sebagai seorang remaja, ia ingin menceritakan masalah yang dihadapinya ke orang yang ada di sekitarnya. Namun, lagi-lagi keraguan menghampiri diri Arka.

Apa mereka bisa menerimanya?

Apa mereka akan bersimpati? Merasa kasihan dan akhirnya menatap Arka sebagai seseorang yang lemah.

Atau mereka tidak akan peduli?

Apa yang akan mereka katakan jika suatu hari nanti Arka kehilangan kakinya?

Apa mereka akan mengejeknya? Meninggalkannya karena kekurangan yang ia miliki?

"Arka, lo masih di sini?"

Sebuah suara terdengar, membuat Arka mengangkat kepala dan menatap ke arah pintu. Ia pura-pura menguap dan mengusap kedua matanya. Hampir saja, orang lain melihatnya dalam kondisi terpuruk.

"Lo kenapa belum pulang?"

"Nggak kenapa-napa. Cuma nggak pengin pulang aja," jawab Arka. "Lo sendiri kenapa belum pulang?"

Afkar, cowok yang entah kenapa bisa kembali ke dalam kelas, menghela napas panjang. Ia berjalan menuju bangkunya dan mengambil sesuatu dari kolong meja. "Hape gue ketinggalan. Untungnya gue masih di parkiran," balasnya. Ia menghampiri Arka, lalu duduk di hadapannya.

"Lo keliatan nggak bersemangat. Dan lo kayak cewek soalnya ngejawab pertanyaan gue pakai kalimat 'nggak apa-apa'."

"Ha? Masa?" Arka mengulas senyum lebar. Ia melirik ke arah kiri, berusaha mengurangi kontak mata dengan Afkar. "Mungkin gara-gara jam Matematika. Gue puyeng banget."

"Bohong banget."

"Gue serius."

Afkar mengetuk meja dua kali, membuat perhatian Arka teralih. "Lo barusan ngelirik ke kanan. Tangan lo juga mendadak ngusap hidung. Kebiasaan banget kalau lagi bohong," jelas Afkar. Ia melipat kedua lengannya di atas meja. "Kita udah kenal lama, loh. Lo kira gue nggak bisa lihat masalah kecil begitu?"

Arka gelagapan sendiri. Walau tahu bahwa Afkar adalah pemerhati nomor satu di kelasnya, tapi Arka tidak menyangka kalau ia akan mengetahui detail kecil semacam itu.

"Oh." Arka bergumam singkat. Ia mengenakan tas ranselnya dan hendak berdiri. "Gue mau pulang. Orang tua gue udah jemput di depan."

"Gue penasaran lo sakit apa sebenarnya."

Arka berhenti bergerak. Ia melirik Afkar, lalu menarik napas. "Nggak sakit apa-apa, kok. Cuma kurang hati-hati aja. Makanya orang tua gue khawatir."

"Oh, terus." Kedua netra Afkar tampak menyipit. "Osteosarkoma itu apa?"

Kedua kelopak mata Arka sedikit melebar. Hampir terkejut karena pertanyaan Afkar, tapi secepat mungkin ia menjawab, "Kanker tulang. Kenapa?"

"Guru-guru pada ngomongin masalah itu. Pakai nyebut-nyebut nama lo," terang Afkar.

"Masalah hape lo ketinggalan itu cuma pura-pura?"

Afkar tersenyum miring. Ia menurunkan pandangannya hingga berhenti pada lutut Arka. "Gue nggak yakin sama gosip guru-guru yang nggak sengaja gue dengar itu. Awalnya, gue mau nanya besok, atau lewat chat aja. Tapi, gue lihat mobil orang tua lo masih di depan. Berarti, lo belum pulang." Afkar tertawa singkat. Ia kembali mengangkat pandangannya. "Tebakan gue benar. Lo malah merenung di sini."

"Lo selalu jago main tebak-tebakan, ya." Arka tersenyum tipis. Ia menunduk, lalu memejamkan matanya. "Kalau gitu, lo bisa nebak ucapan guru-guru benar atau enggak."

"Bisa, cuma gue nggak yakin." Afkar bangkit, lalu memegang kedua pundak Arka dan memaksanya untuk duduk. Hingga ia kembali terduduk di bangkunya. "Pertama, guru-guru nggak bakal nyebut penyakit itu tiba-tiba. Kedua, ada nama lo. Ketiga, lo tahu 'kan kalau sebagian besar gosip guru itu benar? Karena gue pernah lihat orang tua lo ketemu sama walas, gue jadi mikir kalau gosip itu benar. Ditambah sama ekspresi lo yang sedikit berubah pas gue nyebut osteosarkoma."

"Seratus," celetuk Arka singkat. Ia mengulum bibir.

Kening Afkar berkerut. Ditatapnya Arka dengan heran. "Seratus? Kenapa? Itu benar?"

Arka menggeleng pelan. "Mau main tebak-tebakan lagi?"

"Jadi ... benar?" Suara Afkar mengecil di akhir kalimat. Ia hendak bersitatap dengan kedua manik mata Arka, tapi cowok itu menghindar. "Kenapa lo nggak pernah bilang apa-apa?"

"Kenapa gue harus bilang?"

"Karena gue teman lo. Apa salah kalau teman khawatir sama temannya sendiri?"

Arka lantas tersenyum sendu. Justru menurutnya hal itu tidaklah begitu berguna. Mau bagaimana pun juga, tidak akan pernah ada teman yang mengerti dengan keadaannya.

"Gue nggak butuh dikhawatirin, kok. Kalau pun gue cerita, lo mau apa? Nyemangatin? Atau justru adu nasib?"

Afkar terhenyak untuk sesaat. Nada suara Arka berubah. Tidak seperti biasanya. Seperti ada getaran yang mengganggu, hingga membuat kalimat Arka terdengar tidak begitu jelas.

"Ka ...."

Arka menggigit bibir. Perasaannya sedang sensitif saat ini. Segala hal yang ada di hadapannya membuat Arka merasa bahwa dunia ini sedang bercanda. Ia sedang dipermainkan habis-habisan.

Walau kemudian lagi-lagi tungkainya terasa nyeri, Arka langsung beranjak. Ia tidak ingin berbicara dengan orang lain. Langkahnya yang cepat membuat deru napasnya semakin cepat.

Begitu Arka melihat mobil orang tuanya, ia segera masuk dan membaringkan tubuhnya di kursi belakang. Kedua manik matanya yang terasa panas dibiarkan begitu saja. Ia menutup kedua mata, membiarkan pernapasannya sedikit terganggu karena ada tekanan dari lengannya.

"Arka kenapa?"

Arka menggeleng pelan. "Arka nggak apa-apa. Bunda nggak usah nanya-nanya," jawab Arka ketus. Ia tidak sekali pun menatap bunda.

Bunda terkejut, namun ia cukup mengerti. Emosi putranya itu sedang tidak stabil. Oleh karena itu, bunda hanya mengusap surainya, lalu kembali menghadap depan. Tanpa menunggu waktu, ia segera melajukan mobil.

Bahkan, sepanjang perjalanan, Arka tidak bersuara sama sekali.

~l a s t t i m e~

A/n

Uwaaa tahun lalu aku update ini :") desember 2019

Ada yang kangen?

Keep in touch with me: IG @rishapphire

Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang