Hadiah Spesial di Usia Lima Belas

3.4K 394 19
                                    

Ketika alarm berbunyi tepat pukul empat pagi, Arka langsung membuka matanya. Senyumnya terulas indah begitu menyadari bahwa hari ini adalah hari yang spesial untuknya. Untuk kesekian kalinya, Arka diberi kesempatan untuk bertemu dengan hari ulang tahunnya.

Perlahan, Arka bangkit. Dimatikannya alarm yang berasal dari ponsel. Dengan tubuh yang direnggangkan, Arka menarik napas panjang. Dalam hati mengucap syukur karena diberikan satu hari lagi untuk melanjutkan hidupnya.

Arka berdiri, namun tiba-tiba saja, kakinya kembali terasa kaku. Hampir tiga minggu ini, selalu berulang. Hingga terkadang, Arka lebih memilih untuk kembali berbaring, menunggu Bunda atau Ayah untuk datang ke kamarnya, lalu meminta bantuan.

"Arka, udah bangun?"

Tepat. Suara Bunda terdengar dari balik pintu kamarnya. Disusul oleh pintu yang terbuka dan Bunda yang menyembulkan kepalanya. Senyum tampak terlukis di bibirnya, namun hanya sesaat.

"Eh? Sayang, kamu kenapa?" Bunda dengan cepat menghampiri Arka. Dibantunya cowok itu untuk kembali duduk di atas tempat tidur. "Kaki kamu sakit lagi?"

Arka mengangguk. Ia ingin berbohong, tapi rasanya tidak mampu. Bahkan, ketika ulang tahunnya hari ini, Tuhan tidak juga sedikit mengurangi rasa sakitnya.

Rasanya, Arka ingin menangis. Sungguh. Kaki kirinya terasa sangat sakit hingga akhirnya Arka tidak dapat lagi menahan genangan air mata yang mengalir dari sudut matanya.

"Sakit banget, ya, Ar?" Bunda bertanya. Itu pertanyaan retorik. Dari raut wajah Arka, Bunda tahu bahwa sakit yang putra tunggalnya rasakan itu tidak main-main.

Segera saja, Bunda meraih tubuh Arka. Dipeluknya dengan erat tubuh rapuh itu. Perlahan, Bunda mengusap punggungnya dengan lembut. Bunda berusaha menenangkan, meski ia tidak bisa menghilangkan rasa sakit tersebut.

"Arka, anak kesayangan Bunda. Hari ini kamu ulang tahun. Jangan sedih, dong. Kamu udah gede sekarang." Bunda berujar lembut.

"Tapi ... ini sakit, Bun ...." Arka membalas. Suaranya terdengar lirih. Sakitnya terlalu menyiksa, hingga rasanya bernapas saja sulit.

"Iya, iya, Bunda paham." Bunda melepas pelukannya, lalu menghapus air mata yang mengalir dari sudut mata Arka. "Kuat, ya, Sayang. Anak Bunda kuat. Sebentar lagi, sakitnya pasti hilang. Percaya sama Bunda."

Arka mengangguk pelan. Ia berusaha tersenyum dan menarik napas tenang. Setidaknya, ia bisa sedikit tenang karena ada Bunda.

~l a s t t i m e~

Arka kira, rumah sakit tidak akan seramai ini di hari Senin pagi. Tapi, sejak Arka menginjakkan kakinya, sudah ada banyak orang yang berlalu lalang. Ruang administrasi sudah dipenuhi oleh banyak orang yang ingin berobat.

"Arka, mau pake kursi roda nggak?" Bunda bertanya.

Arka lantas menoleh, menatap Bunda yang berdiri di sebelahnya sambil memeluk pinggangnya. "Boleh emang, Bun? Kaki Arka sakit banget soalnya."

"Oh, boleh." Bunda menjawab singkat. Lalu, tangannya mencolek lengan Ayah yang baru saja menghampiri usai memarkirkan mobil. "Yah, pinjam kursi roda buat Arka. Tuh, di situ."

"Loh, nggak mau Ayah gendong aja?" Ayah malah balik bertanya. Ia hendak berjongkok di hadapan Arka, tapi cowok itu langsung menolaknya.

"Nggak usah, Arka berat," tolak Arka. Lagipula, ia juga tidak ingin menyusahkan Ayah. Sudah cukup Ayah harus mengeluarkan banyak uang untuk dirinya.

Ayah berdecak pelan. "Berat apa? Badan kamu kurus kerempeng gitu." Ayah mengejek. "Yaudah, Ayah pinjam kursi roda dulu. Arka sama Bunda duduk dulu. Semoga aja, kursi rodanya gratisan."

Arka terkekeh geli. Segera saja, ia duduk di kursi panjang, di dekat loket D. Tangannya menggenggam tangan Bunda yang duduk di sebelahnya.

"Bun, kok Arka takut, ya?"

"Kamu udah ngomong itu beberapa hari yang lalu, loh." Bunda membalas. Ia balik menggenggam tangan Arka. "Nggak usah takut, 'kan ada Bunda."

Arka tersenyum. Bahkan, hanya sekadar ucapan yang Bunda lontarkan sudah cukup membuatnya merasa tenang. "Iya, makasih, Bun," ucap Arka tulus.

"Kenapa harus berterima kasih? Bunda senang karena kamu tenang." Bunda mengusap surai Arka dengan lembut. "Jangan takut, ya, Sayang. Kamu bakal baik-baik aja. Kita cuma harus berjuang buat beberapa saat, dan semuanya bakal kembali kayak semula. Ingat, kamu punya janji. Ingan janjinya 'kan?"

Alis Arka tertaut. "Feedback yang diminta Ayah kapan hari itu?" Lalu, seulas senyum terkembang. "Iya! Aku pasti bisa nepatin janji itu. Buat Ayah sama Bunda."

~l a s t t i m e~

"Dek Melvino, gimana kabarnya hari ini?" Dokter Eka bertanya. "Masih sering sakit kakinya?"

"Masih, sering banget. Hampir setiap saat," jawab Arka. Ia mengusap lututnya sendiri. "Ini bisa sembuh 'kan, dok? Sakit banget soalnya. Aku 'kan pengin olahraga lagi."

Dokter Eka tersenyum tipis. "Iya, kita liat hasil pemeriksaannya, ya," balasnya. Ia menerima hasil rontgen yang Bunda berikan. Dikeluarkannya X-Ray film dari dalam sana. Kemudian, dokter Eka menyalakan X-Ray film viewer yang ada di dekatnya, agar ia bisa melihatnya dengan jelas.

"Oke, kita lihat ...." Suara dokter Eka mengecil di akhir kalimatnya. Untuk sejenak, Arka dapat melihat perubahan ekspresinya. Jujur saja, hal itu membuatnya bingung dan takut di saat yang sama.

"Dok, kenapa?" Bunda bertanya ketika dokter Eka tidak juga berbicara. "Apa ada masalah?"

"Di sini bisa kita lihat, ada lesi agresif. Juga rusaknya gambaran trabekula tulang dengan batas yang tidak tegas. Ada juga---"

"Sebentar, sebentar. Itu apa, dok?" Arka memotong. Suaranya terdengar bergetar. Kepalanya terasa pening. Entah karena bahasa dokter Eka yang tidak dimengertinya, atau karena tiba-tiba mendapat firasat buruk.

"Kamu harus menjalani beberapa pemeriksaan lagi, ya. Buat memastikan diagnosis lebih lanjut."

Arka meraih tangan Bunda, lalu digenggamnya dengan erat. Sebisa mungkin, ia bertanya, "emangnya, itu tadi apa?"

Lalu, jawaban dokter Eka terdengar. Membuat Arka merasa dunianya hancur seketika. Singkat, tapi benar-benar menyakitkan.

"Osteosarkoma---kanker tulang."

~l a s t t i m e~

A/n

Eh? Hehehehehe.

Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang