Arka tidak pernah berpikir kalau dirinya akan terjangkit penyakit berbahaya. Ia tidak pernah berpikir harus berkutat dengan obat-obatan, treatment, dan segala hal memuakkan yang katanya, bisa menyembuhkan penyakitnya. Arka tidak pernah mengira, usia lima belas menjadi awal dari kehidupan buruknya ke depan.
Saat ini, Arka berdiri di depan cermin di kamarnya. Perlahan, ia merapikan dasinya, dan kemudian beralih ke rambutnya. Senyum tipis terukir di wajahnya ketika menyadari bahwa rambutnya tidak susah untuk diatur pagi ini.
Hari ini adalah hari Selasa. Arka memutuskan untuk masuk sekolah, mumpung Ayah dan Bunda berkata bahwa pemeriksaan selanjutnya akan dilakukan besok. Arka tentu saja senang. Ia lebih memilih untuk sekolah dibanding harus kembali ke rumah sakit.
Arka meraih tas ransel hitamnya. Sesegera mungkin Arka berjalan menuju ruang makan, di mana Ayah dan Bunda sudah menunggu. Meski kakinya terasa sakit dan kaku, tapi Arka tidak ingin menunjukkannya sedikit pun.
"Pagi, Bunda! Pagi, Ayah!" Arka menyapa dengan semangat. Ia duduk di hadapan Bunda dan Ayah yang sedang memakan roti bakar kejunya.
"Eh, Arka. Udah siap, Nak?" Bunda bertanya. Senyumnya tampak sendu. Seolah, Bunda berusaha keras untuk tersenyum di depan Arka. "Bunda udah buatin roti bakar kesukaan Arka, loh.
Arka balas tersenyum. Walau sebenarnya ia merasa sedih saat melihat senyum Bunda. "Iya, Bun. Makasih," balas Arka. Dilihatnya Bunda yang sedang memarut keju di atas roti bakar milik Arka.
"Pulang sekolah nanti Bunda jemput, ya. Kemarin 'kan kita belum makan-makan. Kamu mau apa? Mau ramen nggak? Atau mau sushi? Abis itu, kita beli es krim."
Bunda berbicara tanpa menatap Arka sama sekali, dan Arka tidak suka. Rasanya, Bunda seperti sedang menutupi raut wajahnya. Padahal, Arka ingin menatap wajah Bunda. Takut-takut, nantinya ia tidak bisa melihat wajah wanita yang paling disayanginya itu.
"Sama Ayah juga?" Arka bertanya.
"Ayah disuruh terus kerja sama bunda kamu. Biar dia bisa terus shopping katanya," timpal Ayah.
Arka lantas terkikik geli. Intonasi Ayah terdengar datar, tapi malah terdengar lucu di telinga Arka.
"Ya, iyalah. Shopping 'kan harus terus jalan." Bunda membalas. "Lagi banyak diskon kayaknya, nih. Arka, ayo kita beli baju buat kamu juga."
"Eh, nggak usah, Bun. Mendingan buat pengobatan Arka nanti."
Bunda lantas terdiam. Ia menunduk, tidak mau menatap wajah Arka.
"Tenang aja. Kamu sama Bunda masih bisa shopping sepuasnya," cetus Ayah, "udah Ayah bilang 'kan? Ayah kaya."
Arka tersenyum tipis. Terkadang, Ayah bisa mengisi suasana ketika Bunda tidak sanggup lagi berbicara. Makanya itu, Arka merasa beruntung telah dilahirkan di tengah keluarga ini. Memiliki orang tua yang bisa saling melengkapi kekurangannya serta selalu mendukungnya.
"Arka masih merasa nggak enak sebenarnya," lirih Arka, "soalnya---"
"Apaan, sih, Ar?" Ayah memotong ucapan Arka. "Ayah biasa aja, tuh. Bunda kamu juga biasa aja. Nggak apa-apa. Itu juga buat kamu 'kan? Buat kesehatan kamu sendiri. Nggak usah pake nggak enakan."
Arka tidak bisa menahan senyumnya. "Terima kasih, Yah, Bun."
~l a s t t i m e~
Kelas terasa sangat heboh ketika Arka masuk ke dalamnya. Banyak yang menanyakan keadaan Arka saat ini. Namun, beberapanya lagi hanya meramaikan suasana dengan meneriakkan namanya.
"Arka, Arka! Jadi Arka sakit apa?" Mentari yang duduk di meja paling depan bertanya. "Kemarin, Arka sempat kirim foto di rumah sakit. Itu ngapain?"
Arka menelengkan kepala dengan senyum tipis di bibirnya. "Hayo, coba Mentari tebak, gue ngapain kemarin?"
"Sok misterius lo, Ar." Vian yang sedang duduk di atas meja guru menimpali. "Tinggal jawab 'kan bisa. Kita udah sekelas selama dua tahun. Nggak usah ada yang ditutup-tutupi lagi."
Arka tidak ingin menutupi semuanya. Apalagi pada teman sekelasnya, seseorang yang sudah Arka anggap sebagai keluarganya sendiri. Tapi, lidah Arka terasa kelu.
Ah, lagi pula, sebenarnya penyakitnya juga belum jelas. Masih ada beberapa pemeriksaan lagi yang harus Arka lakukan untuk menentukan diagnosisnya yang pasti. Makanya itu, Arka belum bisa menjawab pertanyaan teman sekelasnya itu sekarang. Paling tidak, tunggu sampai semuanya terasa lebih jelas.
"Besok gue bakal periksa lagi, buat lihat lebih jelas lagi." Arka akhirnya berbicara. "Maaf belum bisa ngasih tahu sekarang, Guys. Silakan menebak-nebak gue kenapa."
Dengan senyum di bibirnya, Arka melenggang menuju tempat duduknya. Ia tidak lagi mengacuhkan pertanyaan-pertanyaan dari teman sekelasnya. Lagipula, ia juga harus menyiapkan dirinya sendiri. Tidak mudah untuk berkata bahwa ada kanker yang bersemayam di kakinya.
Besok, semuanya akan menjadi lebih jelas.
Tapi entah kapan, Arka siap untuk memberitahukan hal tersebut.
~l a s t t i m e~

KAMU SEDANG MEMBACA
Last Time
Teen FictionIni kisah tentang Melvino Zayyan Arkana, cowok berusia lima belas tahun yang didiagnosis menderita penyakit berbahaya tepat di hari ulang tahunnya. Bagi Arka, dunianya hancur saat itu. Mungkin saja, kematian bukanlah hal yang menyakitkan, dibanding...