"Gue kira, lo bakal kabur dari UKS. Ternyata benar."
Arka tertawa pelan. Nyeri di kakinya mungkin masih terasa, tapi teman-temannya yang datang mengunjungi membantu mengurangi. Semalaman tidak bisa tidur, tetapi Arka tetap bersemangat.
"Seru juga ternyata nggak masuk sekolah," balas Arka. "Kayaknya, bolos bakal jadi hobi baru gue."
Bukan Arka serius tidak ingin masuk sekolah. Sejujurnya, Arka merindukan rutinitasnya. Ia rindu dengan suasana sekolahnya. Arka juga rindu untuk bergerak bebas, berlari di lapangan bersama teman-temannya.
Nyeri yang Arka rasakan tidak benar-benar menghilang. Obat nyeri selalu masuk ke cairan infusnya, dengan tujuan agar Arka tidak terlalu tersiksa. Nyatanya, sedikit ada rasa sakit terselip.
Namun, rasa sakit itu bukan dari kakinya.
"Sebentar lagi kita ulangan tengah semester." Afkar menimpali. "Lo nggak bisa terus-terusan nggak masuk sekolah."
Senyum Arka memudar. Ia menundukkan kepala, menatap kedua kakinya yang ditutupi selimut. Untuk sejenak berpikir apa anggota tubuhnya akan terus lengkap?
Atau ....
"Gue juga nggak pengin terus-terusan nggak masuk sebenarnya, Kar," ucap Arka lirih. Suasana di dalam kamar mendadak hening. Bahkan, Vian yang biasanya banyak omong mendadak ikut diam.
"Ar ...."
"Sedih, ya, rasanya." Arka tertawa pelan. Ia mungkin sudah cukup lama berpura-pura. Kondisinya mungkin tidak sebaik sebelumnya. Arka hanya ... hanya ingin tetap seperti dirinya sebelum ia didiagnosis sakit.
Namun sayang, perasaannya lebih sensitif daripada hari biasanya. Berhari-hari berada di rumah sakit, berhari-hari tidak dapat tertidur pulas. Berkali-kali ia mendengar pernyataan waktu kematian dari pasien di sebelahnya.
Rasa takut merasuki hati Arka. Membuatnya menangis tiap malam, tanpa ada yang menyadari. Bahkan bunda, yang sehari-hari duduk di sisinya.
Arka berusaha menutupi kesedihannya, tetapi kali ini rasanya ia tidak sanggup.
Apa Arka tidak akan bisa merasakan masa dewasa?
Apa dirinya tidak akan bisa menepati janji pada orang tuanya?
Apa cita-citanya akan kandas begitu saja?
"Arka, lo pasti bisa sembuh." Radin yang ikut duduk di atas bed, tiba-tiba berbicara. "Mungkin emang bakal berat, tapi lo juga harus yakin."
Arka menggeleng perlahan. Ia belum memberitahu teman-temannya mengenai sakit yang dideritanya, kecuali pada Afkar. Laki-laki itu juga tahu sendiri, tanpa Arka beritahu.
Lantas, Arka menggigit bibirnya lembut. Apa penyakitnya bisa sembuh begitu saja? Berapa persen kemungkinannya sebelum menyebar ke anggota tubuh yang lain?
"Gue ... nggak yakin," jawab Arka. Ia tidak ingin berpura-pura kuat saat ini. "Gue belum ngomong soal ini, tapi penyakit gue ... nggak sebercanda itu."
Afkar menghela napas panjang. "Nggak ada yang bilang penyakit lo nggak serius, Ar," ucapnya. "Jujur, gue juga nggak tahu harus ngomong apa selain nyemangatin. Kita nggak pernah tahu apa yang bakal terjadi ke depannya. Mungkin lo bisa sembuh, mungkin lo bakal bisa balik lagi ke sekolah. Mungkin ... lo bisa masuk tim gue lagi."
Arka merasa kedua bola matanya memanas, hingga kemudian buram. Rasa takut yang menghantui membuat Arka tidak dapat lagi berpikir jernih.
"Mana Arka yang selalu semangat?" Mentari, perwakilan kelas yang ikut datang, berucap. Senyumnya lebar. "Ayo, Arka pasti bisa sembuh. Anak-anak yang lain juga nunggu biar Arka bisa masuk sekolah lagi. Bukannya kita janji bakal lulus SMA sama-sama? Berarti, Arka nggak boleh lama-lama bolos."
Arka tertawa pelan sebagai tanggapan. Ia mengusap sudut matanya perlahan. Senyumnya mengembang tipis.
"Semoga." Arka berucap pelan. "Semoga kanker gue beneran hilang, ya."
Lalu, semua yang ada di dalam ruangan menahan napasnya. Tidak ada lagi yang berbicara, kecuali saat berpamitan pulang.
~l a s t t i m e~
Lagi-lagi sepi.
Arka sudah cukup terbiasa dengan dinginnya rumah sakit. Alunan instrumen piano yang terdengar dari pengeras suara menjadi pengisi. Bunda izin ke luar sebentar, membeli makanan untuk makan malam.
Arka duduk di atas bed, menatap ke luar jendela. Memikirkan reaksi teman-temannya yang tidak pernah ia sangka. Semuanya terdiam, tidak lagi bersuara. Hanya beberapa menit, sebelum teman-temannya izin pulang, kecuali Afkar yang katanya akan tinggal sebentar lagi.
"Nggak usah terlalu dipikirin, Ar. Semuanya cuma bingung harus ngomong apa. Mereka baru dengar soal itu, bukan? Kanker itu ... menurut kita beneran ... semenyeramkan itu."
Kemudian, Afkar ikut pamit, membawa apel yang tidak ingin Arka konsumsi. Katanya, besok ia akan datang lagi. Hal itu cukup membuat Arka terhibur. Hanya bertemu dengan kedua orang tuanya dan tenaga medis serta kesehatan di rumah sakit, ternyata cukup membosankan.
Menyebalkan.
Kenapa harus Arka yang mengalami semua ini?
Dari sekian banyak penyakit, kenapa harus kanker?
Arka pernah membaca bahwa kanker disebabkan oleh adanya mutasi gen pada sel, sehingga sel itu tumbuh secara abnormal. Tidak setiap orang mengalami hal tersebut. Tidak semua orang memiliki sel kanker di tubuhnya.
Dari sekian banyak orang ... kenapa harus Arka?
"Arka." Suara bunda terdengar. "Maaf, ya, Bunda kelamaan. Kantin hari ini ramai banget. Bunda jadi harus nunggu lama."
Arka menggeleng perlahan. Ia membalas senyum bunda, lalu memeluk tubuhnya. "Nggak apa-apa, Bun," balasnya. "Bunda beli apa? Kayaknya enak. Aku boleh nyobain nggak?"
"Kamu, 'kan, dapat makanan dari rumah sakit. Jangan konsumsi makanan yang lain dulu, ya."
"Arka bosan banget sama makanan rumah sakit," ucap Arka sebal. Ia menggembungkan pipinya sesaat. "Rasanya kayak kurang garam. Dapatnya nasi lembek pula. Mentang-mentang Arka mual terus dari kemaren."
Bunda tersenyum geli. "Karena itu, Arka. Kamu makan sedikit aja udah mual. Makan makanan rumah sakit yang dibuat khusus buat kamu aja nggak sampai habis. Gimana mau makan makanan yang lain?"
"Ya, siapa tahu aku bisa lahap makannya kalau makan ayam goreng yang Bunda bawa." Matanya melirik ke arah kantung plastik yang dibawa bunda. Agak sedikit tergiur karena aromanya. "Sedikiiit aja, nggak boleh?"
Bunda jadi merasa kasihan. Berhari-hari Arka tidak nafsu makan. Berat badannya sampai turun drastis dan tubuhnya terlihat ringkih.
Bunda ... tidak sanggup melihat putranya terlihat sesakit itu.
"Sedikit aja, ya."
Binar terlihat di kedua manik jernih Arka. Senyumnya mengembang lebar. Dengan semangat, Arka mengangguk.
"Iya, Bunda. Terima kasih!"
~l a s t t i m e~
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Time
Teen FictionIni kisah tentang Melvino Zayyan Arkana, cowok berusia lima belas tahun yang didiagnosis menderita penyakit berbahaya tepat di hari ulang tahunnya. Bagi Arka, dunianya hancur saat itu. Mungkin saja, kematian bukanlah hal yang menyakitkan, dibanding...