Sejujurnya, Melvino Zayyan Arkana sangat suka pelajaran olahraga. Setidaknya, jika sedang praktik. Dibandingkan harus mendengarkan ocehan guru-guru, lebih menyenangkan baginya untuk berdiri di lapangan, menikmati udara yang berembus lembut, dengan aroma rerumputan basah yang menyegarkan.
Tapi, Arka tidak pernah mengira dirinya akan berada di UKS. Duduk di atas ranjang setelah lagi-lagi dirinya terjatuh saat sedang olahraga. Arka sendiri tidak tahu bagaimana dirinya bisa terjatuh. Rasanya, kejadian itu terlalu cepat, sampai-sampai ia tidak menyadarinya.
Arka menyeruput teh hangat yang disediakan oleh petugas UKS. Kedua manik cokelatnya memperhatikan lututnya sendiri. Rasanya, sangat menyakitkan ketika Arka menggerakkan anggota tubuhnya tersebut. Sebagai pelengkap, kakinya seolah kaku. Satu hal yang menyeramkan, hal itu mungkin saja terjadi karena terjatuh barusan. Arka langsung bergidik karena pemikirannya barusan.
Menyebalkan. Padahal seharusnya tadi Arka sudah bisa mencetak poin dan mengalahkan tim lawan yang hobi bermain tangan di saat seharusnya kaki lah yang bekerja. Tapi sayang, ketika Arka kembali merasa ada keterbatasan pada pergerakan di kakinya, tubuh Arka pada akhirnya limbung dan menghantam kerasnya lapangan. Padahal, tinggal sedikit lagi, hingga ia bisa memasukkan bola ke gawang.
Teman sekelasnya panik. Tentu saja karena Arka tidak juga berdiri. Sampai-sampai, banyak dari mereka yang berdiri di sekitar Arka. Beberapanya membantu untuk berdiri, lalu membawanya ke UKS. Sayang, setelah itu Arka ditinggal begitu saja ketika penjaga UKS sedang mengobati lukanya.
Arka jadi mengingat ucapan penjaga UKS barusan. "Udah berapa kali kamu ke sini, Arka?"
"Baru hari ini." Jawaban Arka singkat. Seperti biasanya, ia tersenyum lebar. Membuat kedua lesung pipitnya terlihat dengan mata yang menyipit layaknya bulan sabit.
"Iya, dalam minggu ini." Bu Vina, penjaga UKS, menghela napas panjang. "Lutut kamu lebam, nih. Kayaknya efek jatuh tadi. Ibu kompres, ya." Kemudian, Bu Vina pergi dan sampai saat ini belum kembali juga. Meninggalkan Arka dengan segelas kecil teh sendirian.
Arka meletakkan gelas tehnya di atas meja kecil. Tangannya terjulur, menyentuh lututnya yang lebam. Sungguh, rasanya mengerikan. Membuat Arka lantas meringis.
"Besok-besok, kamu hati-hatilah, Nak." Suara Bu Vina terdengar. Arka lantas menetralkan kembali ekspresinya. "Ibu nggak mau lagi ketemu kamu di sini. Makanya kalau apa-apa itu hati-hati."
Arka mengangguk pelan. Ia lagi-lagi meringis saat Bu Vina meletakkan handuk terasa dingin di atas lututnya yang membengkak. "Iya, Bu. Tapi tolong pelan-pelan, ini sakit banget," ucap Arka.
"Sakit sedikit, Arka," balas Bu Vina. Ia membiarkan handuk dinginnya di atas lutut Arka. "Mau Ibu teleponin bunda kamu nggak?"
Mendengar itu, Arka sontak menggeleng cepat. Ia tidak mau membuat Bunda lagi-lagi khawatir karena tindakan cerobohnya. Cukup minggu lalu, Bunda tiba-tiba datang dan menyeretnya untuk pulang.
"Kalau gitu, jangan ceroboh lagi. Atau Ibu nggak bakal segan buat ngehubungin bunda kamu," ancam Bu Vina. Ia bangkit, lalu berjalan menuju meja. "Isi daftar pasien dulu. Kalau udah mendingan, baru balik ke kelas."
"Iya, Bu."
~l a s t t i m e~
Arka menyeret kaki kirinya saat berjalan menuju kelas. Sesekali, ia tersenyum tipis saat ada yang bertanya soal kakinya. Tanpa suara, Arka terus berjalan ke kelas. Rasanya, baru jalan sebentar saja ia sudah merasa lelah.
Ketika Arka membuka pintu kelas, hampir seisi ruangan tersebut menoleh ke arah pintu. Arka tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya.
"Yo!" sapanya singkat.
"Arka! Lo nggak apa-apa?" Salah seorang temannya bertanya. Arka menoleh, menatap Afkar, kapten timnya. "Gue khawatir banget pas lo nggak bangun-bangun tadi.
Arka tersenyum simpul. "Gue nggak apa-apa, kok. Cuma memar sedikit," jawab Arka. Ia berjalan menuju bangkunya, tidak mengacuhkan pertanyaan teman sekelasnya yang lain. Rasanya, Arka sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Kakinya benar-benar terasa nyeri, dan Arka ingin segera duduk di bangkunya.
Begitu sampai, Arka langsung duduk. Ia menyelonjorkan kakinya dan bersandar di sandaran kursi. Kedua manik matanya menatap langit-langit. Meski Arka belum mengganti baju olahraganya, ia tetap saja diam.
Beberapa saat, hingga tiba-tiba suara getaran terdengar dari kolong mejanya. Arka segera mengambil ponselnya, benda yang menyebabkan getaran tersebut. Ada satu pesan masuk.
Ketika Arka membua pesan tersebut, wajahnya memucat.
Bunda💕
Arka, kamu jatuh lagi?
Sebentar. Bunda tahu dari mana?!
~l a s t t i m e~
Berapa bulan aku gantungin cerita ini? Wkwkwkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Time
Novela JuvenilIni kisah tentang Melvino Zayyan Arkana, cowok berusia lima belas tahun yang didiagnosis menderita penyakit berbahaya tepat di hari ulang tahunnya. Bagi Arka, dunianya hancur saat itu. Mungkin saja, kematian bukanlah hal yang menyakitkan, dibanding...