"Aduh, Arka! Kenapa kamu ceroboh banget, sih?" Bunda berjongkok di hadapan Arka yang duduk di kursi taman. Tangannya menyentuh lutut Arka yang tampak lebam. "Sakit banget ini pasti. Iya 'kan?"
Sore ini, Bunda datang menjemput setelah mengetahui fakta bahwa Arka kembali terjatuh. Masalahnya, Arka paling tidak suka kalau Bunda mengetahui hal itu. Bisa-bisa, Bunda akan menceramahinya sepanjang perjalanan. Mengatakan kalau Arka super ceroboh.
Arka menggeleng pelan, berusaha membuat Bunda tidak khawatir. Padahal, rasanya benar-benar menyakitkan. Sampai-sampai, ketika Bunda menyentuhnya, rasanya Arka ingin menjerit.
Bunda mendongak, menatap wajah Arka yang tampak pucat sore hari ini. "Serius nggak sakit?" Bunda kembali bertanya. Tangannya mencoba untuk meluruskan kaki sang putra.
"Bunda! Sakit! Jangan digituin!" seru Arka. Ia berusaha untuk melepaskan tangan Bunda dari kakinya.
"Tadi kata kamu nggak sakit." Bunda berujar, seolah tanpa rasa bersalah. Ia bangkit dan mengulurkan tangannya, menunggu Arka untuk menyambutnya. "Ayo, pulang."
"Bun, Arka bukan anak-anak lagi." Arka bangkit tanpa membalas uluran tangan Bunda. Dengan langkah tertatih, Arka berjalan mendahului Bunda menuju lapangan parkir. Meski sesekali, ia harus berhenti karena rasa sakit di lututnya. Menyebalkan memang.
"Sakit banget, ya, Nak?" Bunda bertanya ketika Arka lagi-lagi berhenti berjalan. Tangannya menumpu tubuh pada tiang bangunan. Napasnya memburu, diikuti oleh ringisan yang tanpa sengaja keluar dari bibirnya.
Bunda melingkarkan lengannya pada pundak Arka, lalu mengelusnya perlahan. "Ini bukan pertama kalinya kamu begini," ucap Bunda khawatir. Bagaimana tidak? Beberapa minggu ke belakang, Bunda selalu mendapati Arka mengeluhkan rasa sakit di lututnya. Belum lagi, kabar kalau Arka jatuh lagi.
"Iya," ringis Arka pelan. Ia kembali menegakkan tubuhnya. "Arka mau cepat-cepat pulang, mau tidur. Rasanya sakit banget."
Bunda membantu Arka untuk kembali berjalan. Meski sesekali harus berhenti karena rasa sakit yang ada di kaki Arka.
"Besok-besok, jangan begini lagi, Arka. Hati-hati, ya."
Bunda meringis pelan. "Iya, Bunda."
~l a s t t i m e~
Arka akhirnya dapat tertidur.
Setelah sampai ke rumah dan mengganti seragamnya, serta sedikit membersihkan tubuhnya yang terasa lengket karena keringat, Arka langsung berbaring di atas tempat tidur. Bunda menemaninya di sebelah, sambil sesekali mengelus surainya. Hingga pada akhirnya, ketika napas Arka terdengar teratur, Bunda tahu kalau putra satu-satunya tersebut sudah tidur nyenyak.
Seharusnya, Bunda tidak memperbolehkan Arka untuk tidur sore hari ini. Sebentar lagi waktunya untuk salat magrib dan rasanya tidak seharusnya Arka tidur di waktu ini. Tapi, Bunda tidak tega ketika melihat wajah penuh kesakitan dari putranya itu.
Saat Bunda hendak bangkit, tangan Arka menahannya. Seolah laki-laki berusia hampir lima belas tahun itu mengetahui bahwa Bunda ingin meninggalkannya. Suara lirihnya terdengar, membuat Bunda menjadi tidak tega dan mengurungkan niatnya.
"Bunda, jangan ke mana-mana."
"Emangnya Bunda mau ke mana?"
Arka mengerjapkan kedua matanya. Ia mengeratkan pelukannya pada lengan Bunda. "Sakit banget rasanya, Bun," ringis Arka.
"Iya, Arka. Bunda tahu." Bunda berucap pelan. Ia bangkit, lalu mengusap lutut Arka dengan lembut. "Tidur, ya, Sayang. Biar nggak begitu terasa sakit."
"Tapi ini sakit banget." Arka kembali berujar. Kedua skleranya memerah, hingga akhirnya tampak tergenangi cairan bening, sebelum akhirnya setetes air mata mengalir dari sudutnya.
Mendengar isakan Arka, entah kenapa membuat Bunda ikut merasa sakit. Ia memeluk tubuh Arka, mengusap punggungnya untuk menenangkannya.
"Bunda nggak bakal ke mana-mana 'kan?" Arka bertanya.
"Iya, nggak bakal ke mana-mana."
"Apapun yang terjadi?"
Bunda diam sesaat. Ia tidak tahu kenapa Arka jadi terkesan manja sore hari ini.
"Janji 'kan?"
"Iya, Sayang. Bunda janji."
~l a s t t i m e~
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Time
Teen FictionIni kisah tentang Melvino Zayyan Arkana, cowok berusia lima belas tahun yang didiagnosis menderita penyakit berbahaya tepat di hari ulang tahunnya. Bagi Arka, dunianya hancur saat itu. Mungkin saja, kematian bukanlah hal yang menyakitkan, dibanding...