BAB 11

226 32 2
                                    

Chanyeol keluar dari ruangan Dokter Lee dengan memikirkan kembali pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan pria itu. Pertanyaan yang Chanyeol sendiri tidak memiliki jawabanya. Janggal menurutnya. Dan aneh.

Pria itu berjalan menuruni tangga sambil memikirkan kemana ia akan pergi. Chanyeol butuh seseorang untuk menjawab semua pertanyaannya. Tapi siapa? Ia bahkan tidak memiliki siapapun untuk ditanyai. Ayahnya mati. Ibu nya? Entah. Chanyeol tidak tahu bagaimana kisah ibunya. Teman? Jangan ditanya. Ia tidak memiliki satupun teman.

Sial!

Sial!

Sial!

Chanyeol memegangi kepalanya sendiri. Semua hal dan pertanyaan-pertanyaan itu membuat kepalanya sakit. Benar-benar sakit. Ia berpegangan pada dinding dan bersandar sebentar untuk menyeimbangkan tubuhnya yang hampir limbung.

Pria itu mengerjapkan matanya beberapa kali ketika melihat seseorang yang dikenalinya.

"Sehun?"

Ia jelas melihat Sehun sedang berbicara kepada seseorang dengan setelan jas putih, sama persis seperti yang Sehun kenakan. Khas seorang Dokter. Tapi kemudian Chanyeol menertawai dirinya sendiri. Sakit di kepala membuat matanya ikut mengalami gangguan. Mana mungkin Sehun seorang Dokter, pikir Chanyeol.

"Yang benar saja," Chanyeol tertawa. "Dia adalah seorang pengusaha,"

Ia berheti tertawa sedetik kemudian. Setelah ingatan tiga tahun lalu kembali. Ketika ia terbangun dan tiba-tiba berada di atas ranjang sebuah rumah sakit. Sehun ada di sana. Benar. Hanya Sehun satu-satunya orang yang ada disana, bersamanya. Sial. Pasti ada sebuah penjelasan dari kejadian hari itu. Mungkin Chanyeol harus menanyai Sehun secara langsung.

☕☕☕

Warna langit sudah sangat pekat. Tapi tidak terlihat satupun bintang. Mereka sedang menyembunyikan keindahannya. Pasti untuk sebuah alasan. Hujan, mungkin.

"Chanyeol?"

Sehun ragu untuk memanggil, tapi ia tidak mungkin salah mengenali sosok yang kini sedang duduk sambil menundukkan kepala di depan teras rumahnya. Sosok itu mendongak dan membuat Sehun amat terkejut.

"Kau tahu rumah ku?"

"Kenapa kau begitu terkejut?" tanya Chanyeol.

Sehun mengulurkan tangannya untuk di raih, ia menolong pria itu bangkit. "Oh, tidak. Kau tidak pernah datang kemari sebelumnya, jadi aku bertanya-tanya."

"Ya. Setidaknya sejak aku keluar dari rumah sakit. Tapi sebelum itu, bukankah aku sering berkunjung kemari?"

Ekspresi terkejut Sehun membuat praduga Chanyeol semakin menguat.

"Masuklah,"

Chanyeol masuk ke dalam bangunan modern yang Sehun sebut sebagai rumah. Sebenarnya ia tidak ingat betul seperti apa rumah itu sebelumnya. Tapi kini terlihat sangat nyaman dengan nuansa minimalis.

Sehun meninggalkan Chanyeol menuju dapur setelah bertanya, "Kopi atau teh?"

"Air mineral."

Mata Chanyeol menelusur tiap-tiap bagian dari rumah Sehun. Dan dari sekian banyak benda, bingkai putih diatas kabinet hitam itu menarik perhatiannya. Itu adalah foto mereka berdua; dirinya dan Sehun, mengenakan baju basket. Dengan senyum amat cerah dan merangkul satu sama lain.

"Sudah berapa lama kita berteman?"

Sehun menoleh, melihat objek yang sedang dipegang oleh Chanyeol. Lalu berjalan mendekat, dengan sebotol air mineral di tangannya. "Delapan atau sepuluh tahun, mungkin?" jawab Sehun. "Entahlah, aku tidak pernah menghitungnya."

"Ada apa?" tanya Sehun setelah melihat Chanyeol hanya diam.

"Bagaimana kau bisa mengenal ku? Apa kau mengenal keluarga ku juga?"

Sehun merasa ada sesuatu yang salah denga Chanyeol. Pertanyaan itu belum pernah ia ajukan sebelumnya.

"Tiga tahun lalu, saat aku bangun di rumah sakit. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana hanya kau yang ada disana waktu itu?"

Sehun meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja. "Chanyeol, apa yang kau bicarakan?"

"Sepuluh tahun. Pasti banyak yang terjadi selama itu, kan? Tapi kenapa aku tidak ingat bagaimana kita berteman? Aku bahkan tidak tahu kenapa ayah ku mati, kenapa tiga tahun lalu aku di rumah sakit, kenapa aku menjadi seorang cupper."

Sehun mendudukkan dirinya diatas sofa dan berusaha menjawab satu per satu pertanyaan Chanyeol dengan tenang. "Ayah mu meninggal karena sakit. Bukankah aku sudah pernah mengatakannya?" Ia menatap Chanyeol. "Dan kau menjadi seorang cupper karena terinspirasi olehnya. Kau ingin menjadi sosok pria sepertinya,"

"Ya. Kau benar. Setidaknya itu yang kau katakan. Tapi tidak ada satupun dari hal itu yang dapat ku ingat," balas Chanyeol. "Kau belum menjawab pertanyaan ku yang lain. Kenapa tiga tahun lalu aku terbaring di rumah sakit? Apa aku terlibat dalam sebuah kecelakaan?"

Tatapan serius Chanyeol sama sekali tidak menakuti Sehun. Pria itu bereaksi biasa saja, bahkan tertawa atas perkataan sahabatnya itu.

"Apa menurutmu ini lucu, Oh Sehun?"

"Chanyeol, dengar. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu. Ku rasa kau telah memakan sesuatu yang salah pagi ini, atau kau mengalami sesuatu? Entah. Aku tidak memiliki clue-nya. Tapi kau aneh,"

Chanyeol menenggak sebotol air yang Sehun letakkan sejak tadi diatas meja.

"Sebaiknya kau pulang dan beristirahat. Kau terlihat lelah,"

☕☕☕

Tidak lagi menjelang gelap Irene berdiri diantara bunga-bungaan itu. Kali ini ia memilih cahaya pagi. Bukan tanpa sebab, tapi Irene hanya ingin suasana baru. Biar saja ia menghancurkan rencana matang yang sebelumnya ada. Kini, ia hanya akan menjalani permainan seperti yang Richard inginkan. Karena sungguh, Irene sudah lelah.

Wanita itu berbalik dan menemukan Chanyeol dengan setelan kemeja biru yang lengannya digulung sampai siku dipadukan celana dan sepatu yang senada, hitam, berdiri menatapnya.

"Sedang apa disini?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja, karena Irene tidak tahu lagi kata apa yang harus di ucapkannya kepada Chanyeol. Sementara pria itu, yang sudah lama menunggu Irene kembali, hanya bisa menatapnya saja sambil mengeratkan genggaman tangannya sendiri. Ia berusaha menahan diri untuk tidak bertindak gila dengan memeluk Irene yang sudah sangat di rindukannya.

"Bisakah kita bicara sore nanti?" tanya Chanyeol pada akhirnya. Ia tidak cukup gila untuk mendiamkan Irene begitu saja.

Wanita itu mengangguk, sebuah senyum dilemparkannya pada Chanyeol.

Bahagia?

Tentu saja. Apalagi yang Chanyeol harapkan selain jawaban berupa anggukan? Sebuah pelukan? Bermimpilah saja jika begitu.

"Aku akan menyelesaikan pekerjaan ku dengan cepat. Aku akan menunggu mu di sini,"

Chanyeol pergi. Ia ingin menoleh, tapi ia takut akan pemikirannya sendiri. Bahwa yang ia lihat baru saja tidaklah nyata. Itu hanya khayalannya saja. Tapi tidak mungkin, kan? Irene jelas terlihat nyata.

Bersambung..

COFFEE FRAGRANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang