Pagi ini gue datang sendiri, Shuhua harus ngambil barang pesenan dia dulu di tukang fotocopy, katanya buat mading kelas yang sampe hari ini masih kosong belum diisi. Gue disuruh tunggu di meja deket parkiran, tempat gue dan Mark Lee ngobrol waktu itu.
Gue iyain, selain karena nunggu di kelas dan nunggu di sini gak akan ada bedanya, gue juga mau ngabisin roti gue dulu. Kalau makanan sakral ini gue bawa ke kelas, udah pasti bakal abis duluan sebelum sampe ke mulut gue dan tentunya, gue yang irit serta pedit ini enggak mau itu terjadi. Gue gak mau lagi ya, maag gue kambuh kayak kemaren. Cukup sekali aja gue sakit perut yang rasanya kayak orang kena santet, jangan lagi.
Saat roti gue udah tinggal setengah, satu mobil travel masuk ke area parkir lalu berhenti gak jauh dari gue. Gak perlu pikir panjang bagi gue untuk tau bahwa mobil travel itulah kendaraan yang akan membawa anak basket lomba hari ini.
Tentunya gue gak ikut, gue gak kepilih karena selain tinggi gue yang gak memadai, kemampuan gue juga gak sebagus anak lain. Gue sih bersyukur aja ya. Seenggaknya hari ini gue gak perlu banjir keringat.
Layar ponsel gue dari tadi gak berhenti menampilkan pop-up message dari grup basket, setengah dari percakapan pagi itu diisi dengan keributan soal presensi satu sama lain. Gue membaca sekilas, terus bergerak mematikan notifikasi grup. Terlalu rame dan gak penting juga. Daripada ponsel gue yang kentang ini jadi panas dan nge-hang, mendingan gue matiin aja.
"Ran!" Gue mengangkat kepala, menangkap figur Shuhua yang berlari mendekati gue dengan tangan penuh kantong plastik besar yang gue tebak berisikan beragam peralatan ATK, termasuk karton biru yang digulung panjang sampai menyembul keluar. "Sori, lama gak?" tanya dia, berhenti di hadapan gue. Gue berdecak, terus menggeleng, "Ngapain lari sih lo, alay banget. Orang gak lama-lama amat. Dah ayo ke kelas. Pantat gue pegel duduk di sini," gue berdiri, diikuti Shuhua yang gak pakai ba-bi-bu langsung nyambat tentang mahalnya bahan buat bikin mading. Gue cuma dengerin sambil menimpali sesekali.
Tapi fokus gue mendadak teralih dari pembicaraan Shuhua mengenai gunting dan lem, sesaat setelah gue menemukan pandangan orang-orang yang hari ini tertuju dengan jelas—ke arah gue. Dan kalau gue boleh menambahkan, pandangan mereka sama sekali gak enak untuk dilihat.
Sejujurnya, gue benar-benar berharap apa yang saat ini gue paparkan hanya sebatas kegeeran gue semata, tapi saat ada yang menunjuk gue secara terang-terangan, gue tahu kalau ini bukan cuma lanturan gue doang. Mereka beneran lagi ngomongin gue.
Shuhua berhenti bicara, terus nahan gue yang makin lama makin menunduk. "Lo kenapa?" dia nanya, menaikkan alisnya. Gue menelan ludah, lalu menegakkan kepala. "Enggak, ayo ke kelas," gue menjawab dalam satu tarikan napas, berdoa dalam hati supaya Shuhua mau percaya. Gue gak mau—dan gak bisa—terjebak lebih lama di tengah orang-orang yang sibuk natap gue penuh dengan penghakiman.
Shuhua mengerutkan kening, cewek itu lalu melirik sekitar sebelum menarik tangan gue untuk kembali berjalan. "Gue gak tau lo kenapa, tapi lo harus cerita nanti," putusnya. Gue baru mau membalas waktu tiba-tiba ada yang meneriaki nama gue, disusul rupa Arin dan Yeri dari ujung koridor. Ekspresi khawatir mereka buat bulu kuduk gue meremang dari ujung kepala sampai kaki. Perasaan gak enak yang dari tadi melingkupi gue, perlahan merayap dan kian mencekik. Ada keresahan yang siap meledak dari dasar hati gue.
"Lo gak apa-apa?" Arin langsung bertanya, otomatis buat Shuhua menyatukan alisnya. "Ini kenapa, sih? Emang si Rana kenapa?" cecar cewek itu. "Ini gue doang yang gak tau apa gimana?" dia berbalik ke arah gue. Gue kontan menggeleng pelan. "Gue juga gak tau, Sha..." gue mencicit. "Udah-udah, gak usah ribut di sini. Kita ke kelas dulu, omongin di sana. Anak-anak yang lain pada khawatir sama lo," Yeri menengahi, merangkul gue dan membawa gue buru-buru ke kelas.
Pintu kelas terbuka, dan gue bisa lihat langsung bagaimana raut super panik yang mereka tunjukkan. Begitu mereka menyadari presensi gue, gue langsung disuruh masuk dan duduk. Pintu kelas ditutup dan perasaan gak nyaman yang sejak tadi mengaliri sekujur tubuh gue mulai menjelma jadi mual.
Rasa takut perlahan membungkus gue, menghilangkan sisa-sisa keberanian dan rasa penasaran yang tadi masih menghuni kepala. Saat ini, gue beralih jadi pengecut yang gak berani untuk tau apa yang terjadi.
Untuk tau hal-hal buruk... yang mungkin orang bicarakan tentang gue.
Tapi desakan Shuhua dan bantingan tasnya di atas meja menandakan kalau dia udah muak dan butuh tahu segalanya saat ini juga. Mau gak mau, bisa enggak bisa, gue pun harus menyiapkan telinga dan hati, juga memantapkan pendirian bahwa iya, gue baik-baik aja.
Hanya aja... Rana ini cuma seorang manusia biasa, kan? Sebagaimana pun gue berharap gue bisa jadi sekuat baja, seteguh karang, dan hal-hal lain yang sering diumpamakan orang-orang sebagai simbolik dari kata kuat, gue tetap gak bisa. Gue juga punya batasan atas diri gue sendiri, gue punya daftar hal-hal yang bisa dan gak bisa gue lakukan.
Karena itu, saat mulut Woojin terbuka, berbarengan dengan sederetan kalimat yang ia ucapkan setelahnya, fondasi di kepala yang gue upayakan untuk bangun kembali, runtuh seketika, pun dengan hati yang gak tertolong lagi bentuknya.
"Semalem... akun gosip sekolah nge-up postingan yang isinya chat Mark sama anak kelasnya. Di chat itu... mereka taruhan buat dapetin lo, Rana,".
——————
A/N (2019):
lapak tabok menabok dibuka.
A/N (2021):
gak, gak usah pake acara tabok-tabokan. nanti diwakilin dichapt selanjutnya ((semoga aja gue ga delay updatenya))
KAMU SEDANG MEMBACA
BREAK UP - mark lee :: ( ✓ )
Fanfiction[ O N · R E V I S I O N ] Keputusan berat yang harus gue terima: putus dari seorang Mark Lee. ---- ✧start: May, 05 2019 ✧end: July, 09 2019 [revised on 2021] cover by: @rushvcnillamkl Highest rank so far: #1 in breakup #1 in leeminhyung #1 in brea...