열일곱

15.4K 1.9K 364
                                    

Gue kembali ke kelas dengan muka kusut dan perasaan semrawut. Pintu kelas yang gak bersalah gue banting kencang, bikin seluruh atensi anak-anak kelas gue mengarah si biang keladi.

Mereka mandangin gue dengan berbagai ekspresi; ada yang kaget, ada yang biasa aja. Tapi ada juga yang bikin hati gue tercubit, yaitu mereka yang natap gue dengan air muka pias penuh rasa khawatir. Mereka ngeliat gue seolah gue ini barang pecah belah yang kalau lo senggol sedikit aja, bakal hancur berantakan—dan untuk saat ini, hal itu bisa gue katakan sebagai fakta.

"Ran...." Arin bersuara dari mejanya, melumpuhkan hening yang dari tadi menggantung canggung. Gue memandang dia, begitupun juga temen-temen gue yang lainnya. Cewek itu keliatan ragu, tapi detik kemudian ia kembali membuka bibirnya.

"Are you okay?".

Gue bingung. Itu pertanyaan basic, pertanyaan sederhana. Jawabannya sesimpel iya dan enggak. Juga gak ada unsur puitisnya sama sekali.

Tapi kenapa pertanyaan itu bikin gue merinding dari ujung kepala sampai kaki? Bikin mata gue bergenang dan kaki gue mendadak gak kuat menahan beban diri sendiri?

Detik gue jatuh bersimpuh di ambang pintu kelas sambil tersedu, seluruh penghuni kelas menghambur mendekati. Memeluk dan menepuk bahu gue, berkata: "Enggak apa-apa, Ran, enggak apa-apa. Keluarin aja,".

"Arin...." gue memanggil ditengah-tengah isakan. "I'm not fine. At all,".

((🍀))

Langkah gue berhenti di satu meja kantin, posisinya paling pojok dan paling dekat pintu keluar. Kantin masih sepi, iyalah. Istirahat harusnya baru dimulai duabelas menit lagi, tapi gue udah di sini. Duduk dengan muka sembab sembari menunggu es kelapa pesanan gue.

Tapi gue ada di sini juga bukannya tiba-tiba. Gue gak seberani itu untuk nyelinap dipertengahan kelas kayak anak lain, mental gue cupu. Cuma, beberapa saat yang lalu, di tengah kelas matematika minat yang sedang berlangsung, guru BK gue tiba-tiba muncul dan menginterupsi, terus tanpa basa-basi beliau manggil gue untuk ikut ke ruangannya.

Sampe di sana, baru aja pantat gue menyentuh permukaan tempat duduk, gue langsung dicecar sama pertanyaan, diteruskan wejangan panjang. Dari mulai yang katanya gue ini masih kelas sepuluh dan harusnya fokus sama pelajaran aja, gak usah pake acara drama putus cinta segala, lalu merentet ke akar permasalahan putusnya gue dan Mark Lee.

Gue gak berminat cerita, selain karena gue lagi enggak ingin diajak bicara, juga karena kepala gue yang terasa pening luar biasa. Alhasil jawaban gue cuma 'iya' dan 'he-em' aja. Dan mungkin itu yang bikin guru BK gue menyerah, beliau menyuruh gue kembali setelah delapanbelas menit sesi mengobrol kita berujung kosong—bener-bener gak ada isinya.

Mengingat kalau gue langsung kembali ke kelas pelajaran matematika minat masih akan berlangsung, gue serta merta membelokkan arah kaki ke kantin. Sori, tapi hari ini gue udah pusing mikirin masalah sendiri, gak usah ditambahin materi geometri dan kawan-kawannya lagi.

Lalu, berakhirlah gue di sini, dengan segelas es kelapa yang baru aja datang.

Gue juga beli satu botol air mineral dingin untuk ngompres mata gue yang kayaknya mulai bengkak.

Gak berapa lama, bel istirahat berbunyi. Gue tetap di posisi—nempelin botol air di permukaan mata kanan yang ketutup, sambil menyeruput es kelapa.

BREAK UP - mark lee :: ( ✓ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang