열여섯

14.3K 1.9K 165
                                    

an early note:
halo sebelum memulai chapt ini alangkah baiknya cari dan putar playlist lagu sedih/gegana (gelisah galau merana) andalan kalian terlebih dahulu. trimakasi dan slamat mnikmati🙏


"Lo jadiin gue bahan taruhan?".

Senyap. Lapangan parkir yang tadinya penuh suara tawa dan obrolan samar-samar, mendadak sunyi. Entah karena pertikaian gue dan Mark Lee yang terkesan lebih menarik, atau karena kaget melihat keberadaan gue di sini.

Ya gak heran sih. Hari ini gue kayak lagi jilat ludah sendiri. Rana yang katanya gak suka disorot dan dilirik, malah nyeburin diri ke kolam penuh atensi. Siapa yang bakal ngira kalau hari ini mereka bakal liat Rana nyamperin Mark Lee dan berkonfrontasi? Mengesampingkan fakta bahwa gue akan jadi bahan tontonan, bahan gunjingan.

Gue akui, dari sekian banyak hal bodoh nan gak ngotak yang gue lakukan, apa yang terjadi hari ini adalah yang paling bego, yang paling impulsif. Gue bahkan gak inget gimana ceritanya gue bisa berani-beraninya ngajuin pertanyaan yang padahal gue tahu gak hanya berpotensi bikin hati gue luka, tapi hancur lebur tanpa sisa.

Saat Woojin bicara tadi, seluruh saraf tubuh gue—dari ujung kepala sampai kaki, mendadak mogok kerja. Kurang ajarnya lagi, fragmen masa lalu yang dipenuhi si Lee serta merta berseliweran di kepala.

Butuh empat menit bagi gue untuk mencerna, memisah mana yang nyata mana yang khayalan gue aja. Shuhua udah keburu mencak-mencak, minta pintu kelas dibuka segera—dia bilang mau nyamperin Mark, dan nampar cowok itu di muka.

Lalu entah kesambet apa, gue tiba-tiba bersuara; minta mereka untuk tutup mulut sebentar aja. Gue beralih ke Soobin untuk ngambil kunci kelas, menimbulkan kericuhan bagian kedua. Tapi jawaban gue kemudian gak hanya buat mereka diam, tapi juga beku—pun gue sendiri masih gak nyangka kalimat semodel pidato begitu bisa keluar dari bilah cewek iya-iya aja macam Rana.

"Lo semua emang temen gue, but that doesn't mean lo berhak untuk nentuin segala hal yang baik dan gak baik untuk gue. Ini masalah gue sama Mark Lee, gak ada sangkut pautnya sama lo semua. Just believe in me, percaya sama gue. Gue gak akan nekat kalo gue gak mampu ngatasinnya,".

Rentetan kata-kata itu terus mondar-mandir, dan baru berhenti ketika kaki gue menjejak tepat di depan mobil travel dengan pintu bagasi yang terbuka. Mark Lee yang tadinya sibuk nyusun tas anak basket, menjeda aktivitasnya segera. Dia senyum tipis, tapi lalu ekspresi cerahnya itu berganti, sesaat setelah gue menodongkan pertanyaan tadi;

"Lo jadiin gue bahan taruhan?".

Gue enggak bisa enggak menyadari, bagaimana tubuh atletis si Lee itu mendadak kaku. Maniknya membola, natap gue gak percaya. Walau begitu, gak ada satupun kalimat yang keluar dari mulutnya. Gak ada sanggahan, apalagi penjelasan.

Dan bagi gue, itu udah sebuah jawaban. Cukup dan mutlak.

Ah, telat gak sih, kalau gue baru menyesali keputusan gue untuk lari ke sini? Untuk ketemu dia di saat ini, dan melihat dia yang gak bisa berkutik atas pertanyaan yang jauh, jauh di lubuk hati gue harap sebatas kebohongan, sebatas rumor picisan orang-orang?

Coba aja gue menekan kekepoan gue dan gak ke sini, pasti....

....gue gak perlu ngerasa sesakit ini.

Gue menghela napas panjang, berusaha menahan lapisan air mata yang siap meluncur kapan aja.



PLAK!

"Lo bajingan, lo tau itu?".

Mark bergeming. Bahkan setelah tamparan gue mendarat dengan mulus di pipinya, he remains still. Cowok bersurai gelap itu bahkan menatap gue di mata, seolah menunggu gue untuk bicara lagi—sukses buat hati gue kian remuk. Karena, ya Tuhan—cuma dia, cuma dia cowok yang bisa mengenali gue dengan baik. Cuma dia yang mampu membaca gue, seolah-olah gue ini buku favoritnya, yang dia hapal tiap lembarnya.

Tapi sekarang gue mengerti. Gue bukan buku favoritnya. Gue cuma buku pasaran yang bisa dia tebak alurnya. Gue—gak lebih dari mainan dia semata. Pelipur rasa bosan yang mendera.

Seharusnya gue bisa liat polanya. Gue harusnya dengerin omongan orang-orang, karena perkataan mereka memang benar adanya. Cowok ganteng dan bertalenta kayak dia, gak mungkin berlabuh sama cewek yang bukan siapa-siapa kayak gue.

Gue harusnya sadar diri.

"Lo sukses bikin gue jadi orang paling mengenaskan dan paling tolol sedunia," gue berucap, gak lagi peduli soal suara gue yang bergetar atau air mata gue yang meleleh. Gue cuma mau mengeluarkan semua perasaan dan pemikiran yang sekarang lagi sibuk-sibuknya menuhin hati dan kepala. Gue mau segalanya sampai ke telinga Mark Lee, melalui diri gue sendiri.

"Lo tahu? Selama gue sama lo, tiap hari, tiap malem, gue selalu ngerasa rendah diri. Ngerasa gue gak berhak bersanding sama lo, karena orang-orang selalu bilang begitu. Gue ngerasa gak cukup atas diri gue sendiri, dan gue selalu berusaha biar gue bisa mengimbangi langkah lo, biar gue gak perlu lagi dengerin omongan orang lain soal gue yang gak pantes sama lo,".

"Tapi segala perasaan itu—segala insecurity gue, mendadak ilang waktu gue ketemu lo, atau paling minimal, ngobrol sama lo—ah, enggak. Untuk gue, bacain chat dari lo aja udah cukup untuk bikin gue ngerasa gak sendirian. Bahwa gue punya elo. No matter how hard they yell about us, i had you. You're here for me. Cuma ternyata, gue terlalu kepedean. Dari awal sampe sekarang, gue gak pernah punya elo. I only had your presence,".

"Ran, ga—".

"It hurts, Mark Lee," gue menyela. Tangan gue terangkat menyeka air mata yang turun tanpa aba-aba. "It hurts so bad, menyadari kalau selama ini gue sering mengingkari diri gue sendiri untuk sesuatu yang gak ada artinya. It hurts even more, knowing you throw all of my faith in you as if it was nothing."

Dengan radar pandang seadanya, gue memicingkan mata, bersiap mengeluarkan kalimat selanjutnya yang gak pernah gue kira akan gue ucapkan secara harfiah—terlebih, untuk Mark Lee.



"I have never really regretted anything in my whole life. But now, I count knowing you as one.".


"Lo gak usah berlagak jadiin anak orang taruhan. Selama kaki lo masih ngejejak tanah, gak usah ngerasa ketinggian," gue berucap, mengelap wajah yang basah, terus melangkahkan kaki lebar-lebar menuju kelas—peduli setan sama orang-orang yang sibuk bisik kanan kiri. Hari ini resmi jadi hari terburuk dalam hidup gue.

Ponsel gue tiba-tiba bergetar, buat gue menghentikan langkah dan merogoh saku. Ekspektasi gue untuk ngeliat nama Shuhua atau anak kelas lainnya sirna, begitu gue mendapati yang mengirimi gue pesan adalah orang yang baru gue temui beberapa menit lalu.





Mark Lee

|ran, ayo kita bicarain semuanya
|jangan gini
|let me explain things to you




Brengsek.







no.|
you blocked this contact, tap to unblock.|








——————

A/N (2019):

drama banget ajg.
astagfirullah kashar.

A/N (2021):

INI NGARET BANGET KAN YA ALLAH MAAFIN. KALO PART INI RADA ANEH TOLONG DIMAKLUMKAN JUGA YA SOALNYA INI GAK GUE EDIT DULU, BENERAN NGEBUT GUE NGERJAINNYE KEK NAEK ROKET😔

tapi sumpah dah tiap hari ada aja yang nagihin gue update ini cerita,,, jujur w sampe bingung apaan si yang kalian nantikan dari cerita debu amplas begini,,,,

anyway, curcol dikit, sebenernya gue tuh paling payah kalo masalah cerita sedih sedih, kaga bisa pokonya mah dah makanya part ini lama banget bikinnya. tapi semoga apa yang rana rasa nyampe ke klean ya hihiw

oya ada catatan untuk diriku di 2019 yakni; eLUU MAKANYA GAK USAH BANYAK GAYA KAMPRETT PUSING SENDIRI KAN LU SEKARANG.

BREAK UP - mark lee :: ( ✓ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang