Bag. 12B

5.2K 605 105
                                    

Hampir selama 15 menit lamanya, gue berdiri di depan pintu kamar sahabat sepermonyetan gue.

Iya, gue masih ragu atau lebih tepatnya gue (agak) sedikit takut untuk memutuskan masuk ke dalam kamar tersebut. Pasalnya, kalau Revano lagi kumat ngambeknya itu bisa berubah menyeramkan.

Kan, gue belum siap di unyek-unyek sama uke-nya Dika tersebut.

Apa gue balik aja ya? Lagian masih ada besok, sekarang juga udah malem.

Tapi...

Kriet...

"Ngapain lo nyet diri di depan kamar gue?" Mendengar suara yang udah sangat familiar dipendengaran gue pun langsung tersadar dari lamunan gue.

Sesaat gue cuma bisa cengengesan doang.

"Eh Vano..." Udah jelas Vano menatap heran, mungkin monyet satu itu agak bingung sama sikap gue yang aneh.

"To the point aja, nyet." Kalau Revano udah bilang kaya gitu, ya gue bisa apa?

Jadi, tanpa disuruh pun gue masuk ke dalam kamarnya begitu aja. Pura-pura nggak melihat tatapan penuh selidik dari sang oknum yang bernama Revano tersebut.

"Nyet, lo beneran masih ngambek nih? Eh kan gue udah pernah bilang kalau nggak boleh marah lebih dari tiga hari, pamali. "

Revano hanya memutarkan kedua bola matanya dengan malas, lalu duduk di atas kasurnya berseberangan sama posisi gue.

Kaya orang marahan gini nggak sih?

"Ngapain lo kesini. Heh?" Seriusan nada Vano tuh bisa di bilang agak 'ketus'. Untung gue udah biasa menghadapi siklus Vano yang kaya gini, jadi gue cuma nyengir sambil memamerkan sesuatu yang sedari tadi gue bawa.

Sebut aja sogokan.

Gue mendengar suara Revano yang mendesah, lalu dengan kurang ajarnya dia mengabaikan sesuatu yang gue bawa.

Padahal kan biasanya dia bakalan luluh. Kok ini nggak sih? Apa lagi jual mahal dikit?

"Gue bawain pizza terbaru nih, honey chicken buat lo, nyet." ucap gue seraya menyodorkan satu kotak ukuran besar ke arah Revano yang lagi duduk. Sementara bisa di lihat dari matanya yang melirik kotak pizza tersebut penuh minat.

"Lo nggak jampe-jampein kan?" dengan seenaknya tuh anak monyet satu menuduh gue yang nggak-nggak pemirsah.

Buat apa juga gue jampe-jampe tuh pizza?

Unfaedah banget deh.

"Gue cuma mau minta maaf." ujar gue berusaha jujur sama dia, meskipun ya nggak sepenuhnya sih.

"Oh jadi ini sogokan biar gue maafin lo?"

Ya tepat sekali sih tebakannya itu, gue pun menggaruk kepala gue yang nggak gatel sama sekali.

"Kalau itu, udah gue maafin." lanjutnya, mungkin tau apa jawaban yang akan gue maksud kali ya.

"Beneran lo maafin gue, nyet?" Bagaimanapun, gue memastikan aja kalau yang diucapin sama Vano itu beneran, bukan sekedar apa yang keluar asal dari mulutnya aja sih.

"Nggak sepenuh sih, nyet."

Lagi-lagi gue dibuat bingung sama ucapan Vano.

Ini kok kaya dejavu ya...

"Yaelah, jahat amat sih, jangan setengah-setengah dong. Emangnya lo mau kalau jodoh lo nanti cuma setengah? "

Vano mulai menyingkirkan pizzanya ke nakas mejanya, lalu dia menyandarkan tubuhnya pada kepala kasurnya sambil menoleh kearah gue.

Normal [I'm Straight] - CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang