2). Detak

390 20 1
                                    

Davy dan Brian terus berlari kencang, tak peduli dengan tatapan para murid yang sengaja atau tidak sengaja melihat mereka.

"Lo, sih nggak ngingetin gue!" Ucap Davy disela-sela berlarinya.

"Lo yang disuruh buat manggil gue! Lo yang harusnya tanggung jawab!"

"Pinter banget, ya lo ngeles."

Brian diam tak berniat menanggapi lagi.

Setelah Brian dan Davy sampai di ruang guru, Pak Radit sudah menunggu mereka di samping pintu sambil berkacak pinggang dan menatap kedua muridnya itu dengan tatapan membunuh.

"Kenapa lama?!" Bentak Pak Radit dengan menggebrak pintu. Sontak Brian dan Davy terpelonjat kaget.

Untung saja semua guru sudah pergi ke kelas masing-masing untuk mengajar. Kalau tidak, pasti mereka akan menjadi tontonan para guru.

Mereka berdua memilih diam. Lagipula alasan yang akan dilontarkan keduanya malah akan semakin mengundang kemarahan guru itu.

"Masuk!" Suruh pak Radit cepat. Keduanya menurut.

"Dari mana saja kalian?!" Tanya pak Radit. Suara guru itu masih terdengar marah.

"Dari kantin, pak," Jawab Davy.

"Kantin? Kamu saya suruh untuk memanggil Brian tapi malah pergi ke kantin?!" Pak Radit semakin berapi-api.

Davy kalang kabut. Masalahnya ia tidak seperti Brian yang bar bar menghadapi masalah dengan guru. Brian pandai merangkai kata, sedangkan ia ribet mencari kata.

"Gini, lho pak, gini." Brian yang menjawab. Ia tahu kalau Davy yang menjawab pasti akan menambah masalahnya, "Saya tadi di kantin. Jadi Davy ke kantin untuk memanggil saya. Masa iya saya di kantin Davy manggilnya di kelas? Manggil siapa di kelas sedangkan saya di kantin."

Pak Radit dan Davy sama-sama menatap Brian heran. Mereka benar-benar tidak paham dengan penjelasan Brian.

"Kamu ngomong apa, sih yan? Saya nggak paham."

"Bukan bapak saja yang nggak paham. Saya juga nggak paham." Sahut Davy.

"Diam kamu!" Tajam pak Radit. Lantas Davy langsung mengatupkan mulutnya.

"Ulangi penjelasan kamu!" Suruhnya pada Brian. "Lebih detail, lebih jelas, lebih ringkas, dan jangan berbelit-belit!"

Brian menghela napas. Padahal ia sengaja berbelit-belit agar pak Radit pusing dan membiarkan mereka kembali ke kelas tanpa memberikan hukuman. Namun ternyata usahanya gagal.

Akhirnya Brian menjelaskannya seperti suruhan pak Radit tadi. Detail, jelas, ringkas dan tidak berbelit-belit.

Setelah Brian menjelaskan semua itu, pak Radit mengangguk-anggukkan kepalanya. Brian dan Davy saling pandang. Mereka berharap akan terbebas dari hukuman.

"Bagaimana, pak? Bapak tidak akan menghukum kita 'kan?" Tanya Davy hati-hati.

"Enak saja kalian!" Tatapan pak Radit yang semula normal berubah lagi menjadi menyeramkan, "Kalian tidak akan bisa terbebas dari hukuman saya selama kalian terus berbuat ulah. Makanya tobat!"

"In sya Allah, kami sudah tobat, pak." Ucap Brian percaya diri.

"Heleh. Tobat apa? Tobat-tobatan?"

"Itu obat, pak." Davy membenarkan.

"Oh, obat." pak Radit manggut-manggut. Brian dan Davy juga melakukan hal sama. Padahal mereka tidak tahu apa fungsinya. Selang beberapa detik, pak Radit kembali tersadar.

SHEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang