7). Sahabat

320 12 0
                                    


"Sha?"

Shea yang tadinya sibuk dengan lamumannya, menoleh menatap Mita yang duduk di sampingnya.

"Hmm,"

"Lo kenapa sih ngelamun mulu akhir-akhir ini?"

Kedua alis Shea saling bertautan, "Masa sih?"

Mita mengangguk. Lalu melemparkan pandangannya menatap taman dan danau yang ada di depannya.

Ya, mereka berdua sedang berada di salah satu tempat wisata terfavorit. Tujuannya untuk menenangkan pikiran. Entah kenapa mereka berdua seperti menahan beban berat satu sama lain. Shea yang setia dalam diamnya. Begitu juga dengan Mita.

"Mit?" Panggil Shea. Tatapannya tertuju pada sepatu putih yang ia kenakan.

"Apa?"

"Gue pengen curhat. Boleh nggak?"

"Ya Allah, sha..." Mita tertawa pelan, namun tatapannya masih tertuju ke depan, "Kalau pengen curhat, curhat aja. Nggak perlu minta izin segala. Kayak ke siapa aja." Mita melirik Shea sebentar, lalu kembali menatap depan.

"Kayaknya hari ini saatnya lo tau apa yang pernah gue alami," Shea diam sejenak, "Gue mulai ya,"

Mita awalnya ragu setelah Shea mengatakan hal itu. Namun ia berdehem, menyetujui Shea melanjutkan ceritanya.

"Lo pengen tau kenapa gue sering ngelamun akhir-akhir ini?"

"Kenapa emangnya?"

"Gue inget masalalu."

"Maksudnya?" Akhirnya Mita menoleh menatap Shea sepenuhnya.

"Lo inget waktu gue SD dulu? Waktu gue hilang?"

Mita tampak berfikir. Kemudian, ia mengangguk.

"Dulu itu gue ngerasa kalau gue udah hilang dari dunia. Gue nggak bisa jauh dari orangtua. Gue ngerasa hidup gue itu penuh masalah. Nggak pernah bahagia." Kedua mata Shea mulai berkaca-kaca, "Papa gue yang tiba-tiba ninggalin keluarga gue di saat semua butuh bantuan dari papa. Dulu gue nggak punya apa-apa. Papa yang selalu ada buat gue sama keluarga, tiba-tiba ninggalin kita begitu saja. Apa dia nggak mikir gimana nasib keluarganya nanti?" Shea mulai terisak.

Sedangkan Mita hanya mampu diam sambil mengusap bahu Shea, menenangkan. Mita memang tau kejadian itu, tapi tidak semuanya.

"Gue yang waktu itu berusaha buat ngejar mobil papa, malah naik bus yang gue nggak tau tujuannya mana. Gue tersesat. Gue nggak tahu itu daerah mana. Gue hanya bisa nangis dipinggiran jalan," Shea mengambil jeda sambil mengusap pipinya yang sudah basah karena air mata, "Sampai waktu maghrib tiba, gue masih berada dijalanan. Luntang-luntung nggak jelas. Beberapa orang sempat nanya ke gue apa alasan gue nangis, tapi gue bingung mau jawab apa. Sampai akhirnya ada seorang anak laki-laki yang kayaknya seumuran sama gue datang ngehampirin gue sambil bawa minuman."

Mita masih diam seribu bahasa. Membiarkan Shea bercerita menumpahkan segala kesedihannya. Baru kali ini ia mendengar semua yang ada dipikiran Shea selama ini, lewat mulut Shea sendiri.

Biasanya Shea hanya bercerita tentang kerinduannya pada ayahnya. Mita juga pernah sempat bertanya mengenai hilangnya Shea waktu itu, tapi Shea selalu mengalihkan cerita. Seolah-olah kejadian itu hanya Tuhan, dirinya dan keluarganya saja yang tahu.

Tetapi sekarang Shea mengatakan semuanya. Mengatakan yang sejujurnya. Mengatakan segala kesedihannya. Mengatakan salah satu diantara beribu-ribu rahasianya.

"Dia datang seperti tamu tak diundang," Shea kembali mengingat masalalunya, dimana ia pertama kali bertemu dengan anak laki-laki itu.

"Nih!" Aku mengangkat kepala. Melihat sebuah botol yang kini sedang disodorkan padaku. Aku penasaran, siapa orang pemilik botol itu?

SHEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang