"SHEA!"
Teriakan itu lantas membuat Shea tersentak dan segera menatap kearah pintu kelas. Mita dan Lola yang baru saja tiba segera menghampiri Shea yang sedang duduk dibangku barunya.
Brak!
"Lo tadi beneran di bonceng Brian?" Tanya Mita dengan ekspresi tak percayanya.
Shea bergeming. Pertanyaan Mita barusan mengundang tatapan seluruh murid sekelasnya yang sudah tiba duluan. Shea menghela napas berat. Padahal ia sudah berusaha melupakannya dan menghindari tatapan sinis dari para siswi, namun Mita malah kembali membahasnya.
"Semua itu cuma gosib 'kan, sha?" Melihat Shea setia dalam diamnya, rasa penasaran Mita makin memuncak. "Atau jangan-jangan semua itu bener? Sha? Jawab, sha!"
"Gosib apa sih, mit? Jelas-jelas tadi gue lihat sendiri Shea sama Brian itu boncengan ke sekolah. Bukan hanya gue aja yang lihat, murid-murid disini juga banyak kok yang lihat. Bener kan?" Tanya Lola sambil menatap seluruh murid yang ada dikelasnya. Murid-murid kelas IX IPA-1 pun mengangguk membenarkan. "Hoo! Lihat 'kan? Gue itu nggak bohong. Dibilangin nggak percaya!"
Mita menghiraukan racauan Lola dan lebih memilih untuk mendengar langsung dari mulut Shea. "Sha?"
Shea menghela napas jengah, "Udah, nggak usah dibahas."
"Jadi semua itu bener?"
"Hmm..."
"Aduhhhh...Shea...." Mita mengusap wajahnya kasar. Ia tak mau jika Shea harus merasakan apa yang pernah ia rasakan dulu. Mental Shea tak begitu kuat. Berbeda dengan dirinya yang blak-blakan menyelesaikan masalah. Shea sedang sakit. Mentalnya lemah. Entah apa penyakit yang diderita gadis itu, Mita tidak tahu. Arka hanya mengatakan kalau Shea sedang sakit, tanpa menjelaskan penyakit yang dideritanya.
Kemarin Mita sengaja menelfon Arka untuk meminta penjelasan lebih detail mengenai Shea, namun Arka hanya menjawab kalau sedang sakit dan menyuruh Mita untuk menjaganya. Saat Mita bertanya mengenai penyakitnya apa, Arka malah memutuskan sambungan begitu saja. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Mita saat itu. Sedih, kecewa, marah semuanya bercampur menjadi satu.
"Lo kenapa, sih?" Tanya Lola heran. Sebenarnya ia juga kaget saat melihat Shea dibonceng oleh Brian tadi. Pasalnya seorang Stevan Brian Evanrio tak pernah membonceng seorang gadis manapun. Dan tadi pagi, tiba-tiba kedatangan mereka membuat kaget seluruh murid di sekolah dan disambut oleh tatapan berbeda-beda dari mereka.
Mungkin bukan hanya murid-murid saja yang tak bisa membayangkan sebelumnya, tetapi Shea juga. Padahal tadi pagi Shea sudah berusaha menghindari Brian. Berangkat lebih awal dari biasanya. Namun ternyata Brian terlebih dulu sampai dirumahnya. Shea tak bisa membayangkan ia akan berada dalam satu motor bersama Brian lagi. Ia pikir beberapa hari lalu adalah yang pertama dan terakhir baginya. Namun ternyata dugaannya salah. Salah besar.
"Aduhhh..Lola..ini gawat! Gawat!"
"Apanya yang gawat?"
Mita memukul-mukul meja sambil memikirkan sesuatu untuk menjadi solusi daru permasalahan ini. Tingkahnya mengundang tatapan aneh dari murid-murid sekelasnya yang memang menyakisakan kehebohan mereka sejak tadi, tanpa terkecuali Shea dan Lola.
"Lo kenapa, sih mit?" Kini giliran Shea yang bertanya. Ia juga tak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh Mita sekarang.
Beberapa detik kemudian, Mita melirik kearah bangku Brian dan teman-temannya. Mereka belum ada yang datang. Mungkin masih berada diparkiran atau pergi ke kantin. Sebuah ide terlintas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEAN
Teen FictionBersamanya aku menemukan diriku yang sesungguhnya. ♡-Bukan pertemuan jika tidak berunjung perpisahan. ♡-Bukan cinta jika selalu bahagia. ♡-Bukan cinta jika selalu abadi. Tetapi apakah seseorang tidak akan pernah merasa bahagia? Tentu saja jawabannya...