Langkah Shea terhenti kala melihat seseorang yang ia kenal berada di ambang pintu kelasnya. Padahal ia ingin mengambil bahan yang kurang untuk praktek di kelas. Namun karena kedatangan Erlang, ia baru teringat akan suatu hal.
Shea kembali melanjutkan langkahnya ketika mendengar Erlang sedang mencari dirinya.
"Nggak ada." Shea berhenti mendadak setelah mendengar suara milik Brian, kemudian ia melirik kearah deretan bangkunya. Ternyata para lelaki itu belum menyelesaikan tugasnya. Ia kira Brian dan teman-temannya pergi ke kantin untuk menghindari ujian praktek yang begitu membingungkan, tapi ternyata dugaannya salah.
Shea mengigit bibir bawahnya. Ragu antara ingin masuk ke kelas atau kembali ke lab. Tetapi jika ia kembali ke lab itu akan menguras tenaga dan waktu. Belum lagi ia ingin mengambil bahan yang kurang di kelasnya.
"Yaudah kalau gitu, gue cabut. Oh, iya, jangan lupa bilangin sama Shea kalau gue nyariin."
"Hmm..." Gumam Brian malas. Malas meladeni dan malas berbicara dengan lelaki bernama Erlang itu.
Saat Shea hendak meneruskan langkahnya, Erlang sudah lebih dulu berbalik dan memergokinya. Senyum Erlang mengembang sempurna saat Shea berjalan mendekatinya.
"Baru aja gue nyariin lo. Tapi kata temen-temen lo, lo lagi nggak ada. Kebetulan kita ketemu disini. Emang, ya, takdir selalu mihak ke gue." Kata Erlang sambil sekali melirik Brian yang rahangnya mulai mengeras.
Shea memilih bungkam dan menghiraukan perkataan Erlang yang menurutnya tak berfaedah. Ia juga dapat merasakan jika para lelaki yang masih berada dikelasnya itu sedang menguping lewat jendela. Terlebih lagi tatapan Brian yang membuatnya tak dapat berkutik. Tatapan itu begitu menganggunya, seperti saat di lapangan basket beberapa hari yang lalu.
Melihat Shea tak menggubris perkataannya, Erlang kembali melanjutkan ucapannya, "Sha, gue..."
"Ya, gue tau kok." Potong Shea cepat. "Kak Erlang pasti mau ambil jaket kakak 'kan? Bentar, ya, gue ambilin."
"Eh, bukan, sha. Gue..." Erlang ingin mencegah, namun Shea lebih dulu masuk ke dalam kelasnya dan meninggalkannya begitu saja. Padahal bukan itu yang ingin Erlang bicarakan.
Saat Shea memasuki kelas, tatapannya bertemu lagi dengan pemilik mata hazel yang tak lain dan bukan adalah Brian. Tatapan itu tak dapat Shea artikan. Semua yang ada pada diri lelaki itu memang sulit untuk di tebak. Namun Shea berusaha tak peduli dan meneruskan langkahnya.
Davy, Ganish, dan teman-temannya masih menatap Shea intens. Tapi sesaat kemudian mereka baru menyadari sesuatu ketika Shea mengeluarkan jaket milik Erlang dari dalam tasnya.
"Itu bukannya milik kak Erlang, ya, sha?" Tanya Kevin.
Shea mengangguk.
"Dari kemarin 'kan lo bawa?"
Shea kembali mengangguk.
"Kok bisa?"
"Lo itu udah mirip dora aja, vin." Sahut Davy, lalu ia memfokuskan tatapannya pada Shea. "Kok bisa lo bawa, sih, sha?" Dan pertanyaan Davy barusahan mendapat jitakan keras dari Kevin.
"Pertanyaan lo sama aja!"
"Beda! Kalimat gue lebih panjang dari punya lo."
Ganish segera melerai mereka agar tidak berdebat lebih panjang lagi.
"Udah-udah. Kalian itu sehari nggak bisa diam apa?"
"Nggak!" Jawab mereka berdua serentak.
Ganish menghela napas pasrah. Percuma meladeni mereka. Percuma, percuma, dan percuma. Lalu ia mengalihkan pandangannya untuk menatap Shea yang juga sedang menatapnya. Ia memberi isyarat mata sebagai pertanyaan yang sama seperti pertanyaan Kevin dan Davy.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEAN
Teen FictionBersamanya aku menemukan diriku yang sesungguhnya. ♡-Bukan pertemuan jika tidak berunjung perpisahan. ♡-Bukan cinta jika selalu bahagia. ♡-Bukan cinta jika selalu abadi. Tetapi apakah seseorang tidak akan pernah merasa bahagia? Tentu saja jawabannya...