18). Bertemu

144 12 2
                                    

Suara musik yang cukup keras ternyata masih tak mengusik laki-laki yang kini tengah fokus belajar. Sesekali Brian menatap pemandangan luar jendela yang berada tepat didepannya. Pemandangan itu tak enak dilihat. Dimana ada seorang laki-laki yang juga tengah berada di jendela rumahnya sambil terus melambaikan tangan padanya.

"Woy! Jangan belajar terus! Otak lo lama-lama bisa kendo nanti! Hahaha..." Teriak Davy diakhiri tawa yang membahana, melebihi volume musik yang sedang diputarnya.

Brian geleng-geleng kepala melihat tingkah tetangga sekaligus sahabat terdekatnya. Ia membiarkan Davy berulah dengan sendirinya. Ia hanya akan menikmati drama dadakan yang segera tayang dihadapannya.

"Astaghfirullahaladzim, Davy! Kecilkan volumenya! Nggak baik mutar musik keras-keras malam hari!" Teriak Mina-Mama Davy sambil menjewer telinga lelaki perusuh itu.

"Adoh, ma! Sakit!" Teriak Davy tak kalah lantang.

Nah, benar 'kan, drama itu mulai tayang.

"Kecilkan tidak?!" Bentak Mina.

Suara keduanya dapat terdengar jelas ditelinga Brian, padahal rumah mereka bersebrangan. Kadang Brian berfikir, apakah keluarga Davy dulu lahirnya di gua sampai-sampai suara mereka terdengar membahana?

"Iya, ma! Iyaaa!" Davy segera mematikan musik.

"Kamu itu bikin tetangga ngamuk tau! Lihat di bawah! Semua tetangga pada demo sama mama karena ulah kamu!"

Brian dan Davy serentak menatap bawah, tepatnya halaman rumah Davy. Dan benar saja, para tetangga sudah berkerumun disana.

Brian berusaha menahan tawanya saat melihat Davy diseret mamanya untuk turun kebawah dengan posisi tangan yang masih menjewer telinga Davy. Lelaki itu masih teriak-teriak kesakitan, tapi Mina sudah tak memperdulikan. Anak semata wayangnya itu selalu saja membuatnya malu didepan tetangga. Jika seperti ini terus, Mina tidak segan-segan memasukkan Davy ke pondok pesantren. Biar tobat sekalian.

Brian menutup jendelanya agar bisa fokus belajar dan tidak terganggu oleh amukan masa di bawah sana.

Masih fokus dengan buku yang sedang ia baca, Brian dikagetkan dengan suara dobrakan pintu kamarnya yang cukup keras.

Bruak!

Lelaki itu menutup matanya dan pasrah jika seseorang yang baru saja datang ke kamarnya berbuat hal semena-mena lagi.

"Huh! Yan! Gue selamat, yan. Gue selamat," Ucap Davy dengan napas memburu.

Perlahan Brian membuka mata. Ia bernafas lega karena Davy lah yang datang ke kamarnya. Ia kira lelaki brengsek itu.

Brian berbalik dan mendapati Davy yang tengah tidur terlentang di kasurnya. Ia tidak akan bertanya mengenai cepat lambatnya lelaki itu kabur dari amukan masa, karena Davy setiap kali kabur dari mereka hanya akan mengungsi kerumahnya. Jadi ia sudah hafal betul jawaban lelaki itu.

"Ngapain lo ada disini? Pergi sana! Ganggu orang aja!" Sinis Brian.

Davy melirik sinis Brian, "Heh, babang! Lo itu nggak sopan santun banget, sih! Tetangga terdekat sekaligus sahabat yang selalu ada buat lo main ke rumah bukannya disambut atau dikasih makanan, eh ini malah diusir."

"Lagian yang nyuruh lo kesini itu siapa? Nggak ada, kan? Jadi ngapain ngarep makanan?"

Davy bersungut kesal, "Serah lo, deh yan. Gue capek. Numpang kasur, ya?"

Tetangga ga ada akhlak.

Brian berdehem, lalu ia kembali pada aktivitasnya tadi.

Cukup lima menit Davy menormalkan energinya yang sempat terkuras habis karena mamanya, ia bangkit dari tidurnya dan duduk di pinggiran kasur yang dekat dengan meja belajar Brian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang