Setelah bu Siska mengatakan kalau kondisi Shea sudah membaik, mereka berdua pun memutuskan untuk kembali ke kelas. Mita sudah terlebih dulu memakai sepatunya. Kini ia hanya tinggal menunggu Shea saja yang masih sibuk dengan aktivitas mengikat sepatunya.
"Lo beneran udah baikkan?" Tanya Mita memastikan.
"Iya," Jawab Shea.
"Yakin?"
"Iya Mitol,"
Mita berdecak kesal. Untung saja di sekitar UKS tidak ada seorang pun kecuali mereka berdua. Bu Siska beberapa waktu lalu juga izin pergi ke kantor. Jadi tidak ada yang mendengar panggilan absurd Shea yang ditunjukkan padanya.
"Sebenarnya lo sakit apa, sih, sha?" Tanya Mita lagi setelah lama terdiam.
Gerakan Shea terhenti. Perlahan ia menoleh menatap Mita.
"Nggak sakit apa-apa. Kenapa emang?"
"Muka lo pucat banget."
"Masa, sih?"
Mita mengangguk.
Shea berfikir keras. Jangan sampai Mita mencurigainya.
"Oh, tadi gue belum sempat sarapan. Jadi lihat orang berantem langsung drop gitu aja. Makanya muka gue pucat." Jelas Shea terpaksa berbohong. Kemudian ia kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Kenapa nggak sarapan?"
"Lupa, mit."
"Sampai sekolah ke kantin dulu, kan bisa. Lagian lo sama Brian tadi berangkat lumayan pagi. Iya 'kan?"
Shea menghela napas berat, "Gue nggak kepikiran. Gue juga udah malas ngeladenin mata sama mulut para fans-nya Brian. Gue capek tiap hari di nyiyirin mulu. Kaya mereka nggak pernah punya dosa aja, sukanya ngomongin orang." Jelas Shea mengutarakan perasaannya selama ini.
Dulu ia memilih diam karena ia pikir semua itu akan cepat berlalu. Tapi ternyata tidak. Yang ia pikir cepat, justru sangat sangat terlambat. Yang ia inginkan segera berlalu, malah semakin datang beribu-ribu. Andaikan dulu ia tidak menuruti ucapan Kevin. Andaikan. Ya, andaikan.
Mita lantas menatap Shea dengan tatapan iba. Ia pernah berada dalam situasi Shea sekarang. Berada dalam masalah hanya karena dekat dengan seorang lelaki yang terkenal di sekolahnya. Mendapat berbagai tatapan sinis, tekanan, sindiran, itu sudah menjadi santapannya setiap hari. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti. Ya, mungkin itulah yang dapat ia lakukan agar terhindar dari tekanan dan bisa fokus kembali dengan pelajaran. Kini ia banyak belajar dari masa lalu nya.
Belajar tentang arti keberanian.
Belajar untuk tidak bermain-main dengan cinta.
Dan sekarang ia menjadi Mita Karlina yang tidak takut lagi dengan orang-orang yang selalu membicarakannya di belakang. Ia berbeda dari tahun lalu, yang selalu diam ketika disakiti. Diam ketika ditindas. Diam ketika menjadi bahan gosib sekolah. Bukan berarti dulu ia tak punya mental pemberani, dia punya. Hanya saja ia memilih diam dan membiarkan semua orang membicarakannya semaunya.
Namun tanpa Mita sangka, situasi yang sempat menimpanya setahun lalu akan menimpa Shea juga. Mita tahu jika Shea punya mental yang tak seberani dia. Fisiknya sering lemah. Shea penakut, apalagi jika menyangkut kekerasan. Walaupun ia terlihat tak menanggapi omongan orang tentangnya, namun Mita yakin jika selama ini Shea telah menyembunyikan luka dihatinya. Mungkin bukan hanya luka saja, tetapi masih banyak hal lain yang sengaja disembunyikan oleh gadis itu. Salah satunya tentang penyakitnya.
"Udah selesai, ayo balik." Kata Shea setelah menyelesaikan aktivitasnya.
Ketika Shea sudah berdiri, Mita masih setia diam di tempatnya. Duduk sambil menatap datar kearah lapangan basket, mengacuhkan perkataan Shea yang mengajaknya untuk kembali ke kelas. Niat Mita sudah bulat. Hari ini ia harus tahu semuanya. Semua yang sengaja disembunyikan oleh Shea dari dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEAN
Teen FictionBersamanya aku menemukan diriku yang sesungguhnya. ♡-Bukan pertemuan jika tidak berunjung perpisahan. ♡-Bukan cinta jika selalu bahagia. ♡-Bukan cinta jika selalu abadi. Tetapi apakah seseorang tidak akan pernah merasa bahagia? Tentu saja jawabannya...