Shea terus-menerus mengerutuki dirinya. Bodoh, bodoh, bodoh. Ia terlalu bodoh karena telah menolak tawaran Mita untuk pulang bersama. Sampai akhirnya, disinilah Shea sekarang. Berdiri didepan halte sambil mengusap-usap telapak tangannya agar tidak kedinginan.
Hujan deras turun membasahi kota besar ini. Para pengendara motor juga sudah terlihat banyak yang berteduh. Halte depan sekolah juga mulai dipadati oleh murid-murid yang sedang menunggu jemputan ataupun angkutan umum.
Shea mencoba kembali mengecek ponselnya. Namun hasilnya tetap sama, mati total. Ia lupa membawa powerbank, jadi ia tidak bisa memesan ojek atau taxi online.
Shea mencoba mati-matian menyembunyikan rasa sakitnya. Dingin membuat rasa sakitnya semakin bertambah. Ia juga lupa meminum obat yang sudah disiapkan mamanya tadi pagi diruang makan.
Shea mencoba menguatkan diri. Jangan sampai dirinya pingsan ditempat umum seperti ini. Pasti akan membuat oranglain kerepotan. Dan Shea paling tidak mau jika harus membuat oranglain kesulitan karena dirinya. Maka dari itu, penyakit yang dideritanya tidak ia ceritakan kesiapapun, termasuk Mita. Hanya keluargannya dan mboh Inah-lah yang tahu.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor bersama pengendaranya berhenti tepat didepan Shea. Pengendara itu membuka kaca helmnya dan tersenyum kearah Shea.
Shea mengenalnya. Laki-laki itu adalah teman Arka dan juga Ketos di SMAnya. Erlang!
"Lo belum pulang?"
Shea menengok kanan kirinya. Ia pikir kakak kelasnya itu bertanya dengan murid-murid dibelakangnya. Namun murid-murid dibelakangnya malah menatapnya aneh.
"Heh?!" Gertak Erlang sedikit keras agar suaranya tidak tertelan hujan yang cukup deras.
Shea tersentak kaget, lalu bertanya, "Siapa kak yang lo tanya?"
Erlang menghela napas berat, susah juga ya ngomong sama adiknya Arka, persis kayak kakaknya, batin Erlang.
"Kalau bukan sama lo sama siapa lagi?"
"Oh gue kira sama murid dibelakang gue. Maaf kak."
"Ya nggak papa. Lo belum pulang?" Erlang mengulangi pertanyaannya tadi.
Shea menggeleng pelan.
"Kenapa?"
"Nunggu angkot,"
"Angkot kalau hujan gini udah nggak ada," Ucap Erlang, "Bareng gue aja gimana?"
Shea dapat mendengar suara bisik-bisik dari belakangnya. Sepertinya ia harus sering menghindar dari orang-orang yang menjadi idola sekolah SMA ini.
"Nggak usah kak, makasih." Tolak Shea halus.
Lagi-lagi Erlang ditolak. Tadi waktu dilapangan ia juga ditolak, sekarang sudah ada didepan mata siap mengantar juga ditolak. Tapi Erlang tak kenal kata menyerah.
"Ini hujan, sha. Lo buruan pulang. Nanti kalau kakak lo nyariin lo gimana? Dia 'kan hobi banget khawatir."
Bener juga ya. Kak Arka khawatirnya tingkat akut. Nggak-nggaak! Tahan Shea! Ini semua godaan!
"Nggak usah kak," Tolak Shea lagi, "Gue juga udah telfon kok Mita buat jemput gue." Telfon pake apa? Pake kayu? Baterai aja habis nggak ada sisa. Shea terpaksa berbohong. Namun inilah cara yang tepat untuk menghindar dari tumpangan Erlang.
"Tapi wajah lo pucet banget. Lo sakit?"
Matiii gue!!
"Eh, em," Shea tergagap sendiri, "Gu-gue nggak papa kok, kak. Cuma kedinginan aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHEAN
Teen FictionBersamanya aku menemukan diriku yang sesungguhnya. ♡-Bukan pertemuan jika tidak berunjung perpisahan. ♡-Bukan cinta jika selalu bahagia. ♡-Bukan cinta jika selalu abadi. Tetapi apakah seseorang tidak akan pernah merasa bahagia? Tentu saja jawabannya...