But I Still

804 46 0
                                    

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Gadis cantik dengan bentuk tubuh yang mungil nampak pada bayangan cermin di depanku. Sekali lagi, aku harus berpura-pura. Aku dengan segera mengambil tas yang sudah kusiapkan di atas kasurku.

Belum juga membuka pintu kamar, suara teriakan dan celaan langsung menyapu indra pendengaranku. Aku memejam sesaat. Aku segera keluar dari kamarku. Tanpa melirik sedikitpun pada dua orang paruh baya yang sedang adu mulut.

"Hera! Mau kemana kamu jam segini?" Papa berteriak ketika melihatku yang melongos begitu saja. Aku tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar dan langsung pergi dari sana.

"Lihat itu anakmu, tidak tahu sopan santun. Dasar anak pel*cur!"

Air mata yang ku tahan sejak tadi langsung jatuh di pipiku. Terus mengalir hingga menetes jatuh ke tanganku yang memegang erat knop pintu.

"Jaga ucapanmu! Hera itu anakmu, sampai kapan kamu terus menuduhku selingkuh?"

Tak tahan dengan apa yang mereka debatkan, aku langsung saja pergi dari sana. Masuk ke dalam mobilku dan segera mungkin keluar dari neraka itu.

Aku sudah menyiapkan semuanya sejak lama, berada bertahun-tahun dalam rumah itu, sungguh membuatku tertekan. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Beberapa kali aku mencoba memaklumi tapi kini aku benar-benar sudah menyerah. Perdebatan tanpa henti yang mereka lakukan dengan perlahan membunuh anak mereka sendiri. Dan mirisnya lagi aku anak tunggal, sehingga aku tidak bisa berbagi rasa sakit dengan siapapun. Sejak kecil aku sudah terbiasa sendiri, melakukan apapun dengan usahaku sendiri, hingga kini mengungkapkan apa yang kurasa pada orang lain merupakan hal yang sulit bagiku.

Aku tidak tau lagi apa yang harus aku lakukan, kabur dari rumah tapi tidak tahu tujuannya kemana. Aku tidak punya saudara, lebih tepatnya saudara sepupuku yang lain menjauhiku. Mereka dilarang berdekatan dengaku oleh tante dan pamanku, tebak karna apa. Ya, karna status ibuku yang katanya adalah seorang pel*cur. Aku tidak tahu apa kebenarannya, tapi mendengar hal itu tentu saja menyakitkan. Jika pun benar, salahku di mana. Ibuku yang bersalah, lantas kenapa aku yang mendapatkan imbasnya.

Mobilku berhenti di tepi danau buatan yang dekat dengan kampusku. Aku tidak takut kabur dari rumah walau masih berstatus mahasiswa, karna sebentar lagi aku sudah wisuda. Aku bukannya tidak tau berterimakasih atas apa yang sudah orang tua ku lakukan hingga aku bisa sampai di titik ini. Hanya saja berdiam diri di rumah yang penuh dengan kalimat-kalimat kasar tiap harinya membuatku semakin tertekan. Aku hanya ingin terbebas sebentar saja. Walau aku tau, hal ini tidak akan bertahan lama. Papa pasti dengan mudah menemukanku. Aku adalah alat untuk menjadi penerus perusahaannya, jadi ia tidak akan mungkin bisa kehilanganku.

Saat memilih jurusan kuliah dulu, aku benar-benar ingin memilih jurusan seni. Tapi apalah daya papa malah memasukanku ke jurusan bisnis. Karna memang sejak awal itulah yang ia inginkan.

Dia tidak akan penah mempercayai orang lain untuk memimpin perusahaannya. Apalagi saudara-saudaranya yang gila harta, dia tidak akan dengan mudah membiarkan mereka menguras semua uang yang sudah ia hasilkan dengan susah payah. Jadi satu-satunya harapannya adalah aku.

Aku menyandarkan tubuhku. Menutup mata perlahan, aku mencoba meresapi apa yang baru saja aku rasakan. Aku tidak ingin menangis, tapi aku tidak bisa membohongi hatiku yang sangat terluka ketika mendengar kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut ayahku sendiri.

Ketukan di kaca jendela mobilku langsung membuyarkan lamunan tentang masa kecilku. Aku segera menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi kedua pipiku.

Aku sedikit mengerutkan keningku ketika melihat siapa yang sudah berdiri di depan mobilku.

Untuk apa dia disini? Aku menggigit bibir bawahku bingung, haruskah aku membuka jendela atau tidak.

Suara ketukan kembali terdengar membuatku langsung saja menurunkan sedikit kaca mobilku.

"Kenapa?" Tanyaku begitu kaca jendela sudah setengah terbuka. Aku dapat melihat jelas wajahnya.

"Apa yang kau lakukan malam-malam disini?" Tanyanya, aku melirik sekitar, apa aku yang terlalu lama melamun atau memang waktu berjalan sangat cepat. Kenapa aku tidak menyadari langit sudah gelap? Padahal saat aku tiba tadi, langit masih sore.

"Bukan urusanmu."

Pria itu tersenyum tipis, "Masih marah?" Aku langsung saja mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Pria ini dia benar-benar keterlaluan.

"Sudah selesai? Aku harus pergi."

"Boleh aku masuk?"

Sepertinya pria ini tidak akan membiarkanku pergi begitu saja. Dan sepertinya aku juga harus meluruskan permasalahan ini.

Aku langsung saja membuka kunci, pria itu langsung berjalan memutar dan masuk untuk duduk di sebelahku.

"Ada apa?" Tanyaku tanpa basa-basi.

"Apakah aku mempersulitmu?" Alex melihat kearahku dengan pandangan yang sulit untuk ku artikan.

"Hera, apa kamu merasa menderita berada di sisiku?" Alex kembali berbicara. Aku langsung mengerti kemana arah pembicaraan ini.

"Tidak."

Alex menghela napas, "Lalu kenapa kamu menjauh?"

Aku mengusap tanganku, mencoba mencari alasan yang pas atas pertanyaannya itu. Aku tidak mungkin berkata yang sebenarnya, aku tidak mungkin bilang jika aku menjauhinya karna aku tidak ingin dia menyesal telah menyukai anak seorang pel*cur sepertiku. Walau kabar itu belum tentu benar, tapi selama 21 tahun hidupku, kalimat itulah yang selalu ku dengar. Mau tidak mau otakku akan langsung memproses hal tersebut.

"Aku hanya ... tidak ingin." Otakku benar-benar tidak bisa memikirkan alasan apapun.

"Apa kamu ada masalah?" Aku langsung meliriknya, apakah dia mengetahui sesuatu? Sebenarnya aku sudah bisa menduga cepat atau lambat Alex pasti akan curiga. Banyak orang yang tidak menyukaiku di luar sana, pasti dengan mudah mereka menyebarkan hal-hal buruk tentangku. Seakan mereka iri dengan apa yang aku jalani, dengan wajah cantik yang aku miliki. Mereka benar-benar orang bodoh yang tidak tau apa-apa. Mereka hanya ingin merendahkan orang lain, dengan kalimat menyakitkan yang nyatanya di tujukan untuk diri mereka sendiri. Memalukan.

"Hera, aku bertemu dengan sepupumu dua hari yang lalu. Dan dia mengatakan hal yang ..."

Ternyata lebih cepat dari dugaanku. Aku menatap matanya dengan wajah datarku.

"Lalu? Untuk apa kau masih ingin menemuiku? Kau tidak jijik denganku?"

"Hera, aku tidak serendah yang kamu pikirkan. Aku tidak mungkin menjauhimu hanya karna masalah itu. Lagi pula itu belum tentu benar, aku sudah mencari tahu banyak hal. Dan itu hanya kesalah pahaman."

"Ya, tapi keluargaku tentu tidak akan percaya. Mereka akan terus berusaha menjatuhkanku hingga papa tidak lagi percaya padaku dan mereka bisa dengan mudah mendapatkan kekayaannya."

"Aku tidak perduli dengan itu, karna nyatanya aku masih menginginkanmu."

"Dulu saat aku benar-benar terpuruk. Hanya kamu satu-satunya orang yang mau dekat dan berbagi denganku. Lalu di saat kamu yang berada dalam masalah, apa aku tidak boleh membantumu? Setidaknya ceritakan padaku, hal itu akan membantu meringankan masalahmu. Apa kah kamu akan percaya jika dulu saat sebelum kau datang dan menolongku, aku benar-benar tidak percaya pada semua orang. Semua ketulusan, bahkan sulit untukku membedakan apa itu kebenaran. Tapi kamu merubah semuanya, dan kini ijinkan aku untuk melakukan hal yang sama. Tidak apa untuk percaya, aku selalu ada di sini untukmu. Selalu berada di sampingmu, menggenggam tanganmu dan membantu menemukan tujuan hidupmu."

Air mataku tidak bisa lagi di bendung. Aku sudah sesegugak sejak tadi. Aku tidak percaya kehadiranku begitu berarti untuk seseorang. Aku bahkan pernah merutuki hidupku yang selalu menyusakan.

"Percayalah padaku. Hidup ini pilihan, kamu bisa memilih untuk terus berada dalam keterpurukan, atau bangkit dan menunjukan pada semua orang bahwa kau tidak mudah untuk di kalahkan."

Aku langsung memeluk Alex dengan erat. Alex langsung membalas pelukanku. Aku tidak tau harus berkata apa, yang sekarang kuinginkan adalah menangis, meluapkan semuanya.

"Semua jawaban ada di hatimu, semua akan berakhir jika kamu mengikhlaskannya."

Forgive MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang