Langkah kakinya kian melambat kala suara percakapan dua orang semakin jelas terdengar. Tidak, sudah tidak ada jalan lain. Ia sudah tau hari ini akan tiba. Tapi kenapa hatinya masih belum siap? Sudah berulangkali ia memikirkannya, tapi rasa sakit yang nyata ternyata lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan.
"Aku yang akan mengatakan langsung padanya." Sahut salah satu dua suara itu. Ia tahu siapa yang bersuara ia sangat mengenalnya. Mereka hampir menghabiskan waktu seumur hidup bersama.
"Tidak, tidak bisa secepat itu. Kita harus menunggu waktu yang tepat."
Pria itu mengutarakan pendapat yang sungguh demi apapun malah membuat ini semakin menyakitkan. Waktu yang tepat. Dia benar-benar ingin menyakiti hatinya lebih dalam.
Langkahnya berbalik. Ya, lebih baik lupakan semuanya dari pada bertahan dengan hati yang sesak tiap saat. Bersama dengan pria itu bahkan tidak membuat perubahan, sedikit bahagia pun tidak. Jadi buat apa di pertahankan.
"Biarkan saja, sudah seharusnya seperti ini," ujarnya pelan. Tapi nyatanya air matanya jatuh juga. Hati dan otak memang tidak selaras.
***
Bianca melihat kiri dan kanannya. Sepertinya tidak akan ada kendaraan yang lewat. Lalu bagaimana ia akan pulang. Menghembiskan napas kasar, Bianca mulai berjalan meninggalkan lokasi kampusnya. Ini sudah hampir tengah malam, dan ia baru meninggalkan kampus. Salahkan saja ia yang menangis seharian di gudang penyimpanan olahraga. Ya, ia tahu ia sangat bodoh. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Tidak ada yang bisa membuat semuanya kembali, kini hanya rasa penyesalanlah yang dapat Bianca resapi.
Baru berjalan beberapa langkah suara klakson mobil menyapu pendengarannya. Sebuah mobil yang sudah tak asing lagi berhenti tepat di sampingnya. Ingin sekali Bianca berlari menjauh dari sini, tapi ia tidak bisa. Ia tidak ingin bertingkah bodoh dengan lari dari kampus ke rumahnya yang jaraknya lumayan jauh.
"Caca, kenapa kamu masih disini?" Tanya pria itu begitu keluar dari mobilnya. Bianca mencoba memasang senyum terbaiknya, walau nyatanya hanya senyum tipis yang berhasil terangkai di wajahnya.
"Tadi aku tertidur di perpustakaan." Bohongnya. Bianca tidak mungkin berkata jujur jika ia baru saja menangis seharian karna pria di depannya itu.
"Ah, pantas saja matanya terlihat sembab. Masuklah, aku akan mengantarmu pulang." Reyhan menarik tangan Bianca dan mengajaknya masuk ke dalam mobilnya.
Bianca hanya menurut saja, menurutnya mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuk mengakhiri hubungan mereka. Bianca tidak ingin menyakiti pria itu lagi, karna mencoba bertahan dengannya yang nyatanya bukan orang yang pria itu cintai.
"Makasih," ucapnya begitu Reyhan membukakan pintu mobil untuknya. Biarkan Bianca merasakan perlakuan ini untuk terakhir kalinya, biarkan Bianca merasakan ini untuk terakhir kalinya.
Di dalam mobil tidak ada yang berbicara sama sekali. Keadaan sangatlah hening, Bianca sibuk dengan pikirannya sendiri, Reyhan pun begitu. Hanya fisik mereka yang duduk bersebelahan, sedangkan pikiran mereka terbang jauh entah kemana.
"Caca, besok kamu ada acara?" Tanya Reyhan pelan. Lampu lalu lintas di depannya menunjukan warna merah, hingga ia memberanikan diri menengok sebentar pada gadis di sebelahnya.
Bianca sudah bisa memikirkan apa yang akan terjadi besok jika ia mengatakan tidak ada acara berarti. "Ada, memangnya kenapa?"
"Mm, apakah acara itu sangat penting? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, kamu ingatkan besok hari apa?" Tanya Reyhan lagi. Bianca mencoba untuk menahan air matanya. Ya tentu saja ia ingat, besok tepat satu tahun hubungan mereka. Dan mungkin besok juga Reyhan akan mengakhiri hubungan mereka di tempat pertama kali pria itu menyatakan cintanya. Heol, cinta? Entahlah.
"Besok? Entahlah, memangnya besok hari apa?" Bagus Bianca, kau memang cocok menjadi seorang aktis yang handal.
"Kamu benar-benar lupa?"
Bianca tersenyum kecil, "Kau tau kan aku memang orang yang pelupa."
Rey mengernyit alisnya, "Ah, ya. Benar." Reyhan kembali menjalankan mobilnya. Bianca kembali sibuk dengan apa yang harus ia lakukan setelahnya. Ia melirik jam di perjelangan tangannya, lima menit lagi tepat tengah malam, jadi haruskah ia mengakhirinya sekarang, biarkan hubungan mereka berakhir tepat satu tahun mereka bersama.
Mobil yang di kemudi Rey berhenti tepat di depan gerbang rumah Bianca. Bianca segera turun dari mobil itu, ia tidak ingin Rey membukakan pintu mobilnya lebih dulu.
Bianca berdiri tepat di depan Rey yang juga ikut keluar. Ia melirik jam sekilas, tepat. Bianca menghembuskan napas sejenak. "Rey, ayo kita akhiri sekarang."
Rey mengernyit bingung, "Akhiri? Mengakhiri apa?"
Bianca tersenyum lebar, "Hubungan kita, ayo kita akhiri."
"Caca," Rey mencoba meraih tangan Bianca. Tapi yang ada Bianca malah melangkah mundur.
"Tapi, Ca," ujar Rey pelan.
"Aku harap kamu bertemu dengan seseorang yang lebih mencintaimu, maaf jika itu bukan aku. Mungkin, Yaya."
Rey dengan cepat meraih tangan Bianca, tidak perduli jika Bianca menolak. "Ca, kamu salah paham. Aku dan Yaya, kami tidak ..."
"Aku tau," sahut Bianca cepat. "Enam bulan kan? Sudah selama itu, seharusnya kamu katakan saja padaku. Kita bisa mengakhir ini lebih cepat."
"Ca, bukan begitu. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Yaya. Kami hanya berteman, tidak ada yg spesial."
"Ya, sekarang memang tidak ada yang spesial, tapi nanti semua pasti akan berubah. Rey, kita tidak akan bisa kembali bersama, hubungan yang selama ini kita jalani sama sekali tidak bisa membuat mu menganggap aku ada. Dalam hubungan ini, hanya aku yang berjuang. Lalu untuk apa aku bertahan."
"Aku ... aku akan mencoba mencintaimu. Maafkan aku jika ..."
"Jangan ucapkan kata itu, kumohon. Kata-kata itu sangat menyakitiku. Kamu bilang, akan mencoba mencintaiku. Lalu apa gunanya? Kamu tidak tau hati macam apa yang akan kamu berikan. Jadi kumohon, berhentilah. Aku juga akan berhenti menyakitimu dengan hubungan ini."
"Ca,"
"Aku mohon, jujur padaku. Kamu tahukan aku akan percaya apapun yang kau katakan."
Rey diam, ia tahu hubungan mereka memang tak ada perubahan. Bahkan setelah setahun berlalu semua tetap sama. Ia masih sulit untuk mencintai wanita di depannya.
Bianca tersenyum, "Pastikan kamu makan dengan baik. Kamu bisa kembali tidur dengan nyenyak, tanpa harus merasa bersalah, tanpa harus memikirkan gadis manja ini lagi. Aku serius, kamu punya hak untuk bahagia. Selamat malam."
Senyum Bianca semakin lebar, ia segera melepaskan tangan Rey, dan berbalik masuk kedalam rumahnya.
Bianca menghembuskan napas pelan, semua sudah selesai. Biarkan ia tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Ia pasti akan baik-baik saja dengan rasa sakit ini, karna ia selalu membuat Rey tersakiti dengan hubungan sepihak mereka. Rey pria yang baik, ia membutuhkan seseorang yang lebih baik dan menjadi bahagia. Dan pastinya orang itu bukan Bianca.

KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive Me
Truyện NgắnHanya berisi cerita pendek yang di tulis berdasarkan mood penulis. Tolong tinggalkan jejak sesudah membaca yaa. Selamat membaca☺