Lonely

572 36 0
                                    

Sepasang kaki itu berjalan santai menuju ruang kelasnya. Setiap tatapan mata yang mengarah padanya mencoba ia abaikan, itu sudah merupakan hal yang biasa jadi biarkan saja. Siapa yang tidak mau membuang waktu mereka hanya untuk melihat Raya berjalan dengan indahnya. Para murid pria bahkan sampai menahan napasnya ketika Raya melewati mereka. Iya, seberlebihan itu. Raya sendiri bahkan menganggap itu hal aneh dan tidak wajar, tapi ia tidak perduli.

"Raya!" panggil seseorang pria yang datang dari arah berlawanan. Raya jelas mengenali pria itu, mereka sangat dekat. Saking dekatnya, orang-orang sering menyebut mereka pacaran. Tapi Raya jelas tau, pria itu menyukai sahabatnya. Amel, dia adalah sahabat Raya, dan karna Amel juga Raya bisa dekat dengan pria itu sampai sekarang. Tapi pria itu tidak pernah berani mengatakan apa yang ia rasakan, pria itu akan terus diam dan akan berubah menjadi orang berbeda jika berada di dekat Amel. Dan hanya melihat itu saja, Raya merasa sakit. Ya, karna pria itu adalah cinta pertamanya. Kasihan sekali, tidak pernah jatuh cinta, sekali jatuh cinta langsung bertepuk sebelah tangan. Miris.

"Ya, udah ngerjain tugas Fisika?" tanya Rey begitu ia tiba di depan Raya. Lihat bahkan rangkulan di bahu itu saja sudah membuat hatinya sesak. Kenapa Rey selalu bersikap seperti ini. Mereka memang berteman, tapi melakukan kontak fisik seperti ini bukannya itu sedikit aneh. Tentu saja tidak jika diantara mereka tidak ada rasa sama sekali, tapi berbeda jika Raya merasakannya. Hanya Raya.

"Belum, liat aja punya Amel." Raya berusaha melepas rangkulan Rey, tapi bukannya mengerti dengan ketidak nyaman nya Raya, Rey malah semakin mengeratkan rangkulannya.

"Dih, pelit banget sama temen sendiri."

Raya memutar bola matanya malas, "Sejak kapan lo jadi temen gue?"

Mendengar apa yang raya katakan, Rey langsung melepaskan rangkulannya lalu pura-pura menyentuh dadanya seakan ada rasa sakit di sana. "Astaga, Ya. Lo jahat banget sama gue. Tega!"

Bukannya menanggapi, Raya malah melengos pergi. Dan Rey hanya tertawa seraya mengikuti temannya itu.

---

Bel istrahat sudah berbunyi dari sepuluh menit yang lalu, tapi Raya benar-benar tidak punya gairah untuk hanya sekedar berdiri dari bangkunya. Ia lebih memilih mendengarkan musik seraya menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangan nya sendiri, Itu lebih nyaman ketimbang harus berdesak-desakan di kantin.

Sebuah tepukan ringan di bahunya, langsung membuat Raya menengadah, Rey terlihat berdiri menjulang di depannya.

"Nih, makan." Tangan Rey terulur memberikan sebuah roti. Raya hanya melihatnya tanpa berniat mengambil bungkusan roti itu. Di tatapnya Rey sesaat, kemudian kembali menenggelamkan wajahnya.

"Makan aja, gue gak lapar."

Rey mendesah pelan, "Lo belum makan dari pagi kan, nanti maag lo kambuh gue juga yang repot."

Raya tertawa miris, "Yaudah gak usah peduli, biarin aja gue sakit sendiri."

Rey menarik tangan Raya hingga gadis itu langsung mengangkat wajahnya, "Lo kenapa sih? Dari tadi pagi kayaknya aneh mulu."

Raya memasang wajah datarnya, kemudian menggeleng pelan. "Bukan urusan lo."

"Ya, kalau ada masalah tu cerita bukan di pendem aja."

Raya tidak menjawab, ia hanya diam kemudian memasang kembali earphone yang tadi terlepas. Rey yang melihat itu lantang menarik kembali earphone Raya, dan menyimpannya.

Raya yang sudah malas berbicara, memilih kembali pada aktifitas awal. Ia hanya ingin menjernikan kepalanya dari masalah yang tidak ada habisnya.

"Ya ..."

Forgive MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang