Like Home (2)

247 23 0
                                    

"Aku mau pulang."

Sudah berulang kali Yara berucap demikian. Tapi pria di depannya tetap saja asik dengan ponselnya dan tak menghiraukan Yara sama sekali.

"Hei kau dengar aku? Aku mau pulang, aku janji jika kau mengembalikan ku aku akan berusaha membayar kembali uang yang kau keluarkan untuk membeliku."

Selesai Yara berucap demikian, Aarav langsung meliriknya kemudian tertawa pelan. Yara langsung otomatis mundur perlahan.

"Kau yakin? Kau lupa, jika kau sudah di jual oleh ayahmu. Bisa saja jika kau kembali kau akan di jual lagi, atau paling tidak dia mungkin langsung memberikanmu ke tempat yang lebih buruk lagi. Kau siap?"

Yara menelan ludahnya sendiri, ia memang sudah berpikir kearah sana. "Aku tidak akan kembali kerumah, aku bisa tinggal di tempat lain dan mencari kerja."

Aarav berdiri dari duduknya, berjalan cepat mendekati Yara. Yara yang sudah mentok di tembok, tak bisa lari kemana-mana.

"Pikiranmu gampang sekali, memangnya kau punya uang untuk menyewa tempat tinggal? Kau punya uang untuk makan selama belum dapat kerja? Kau pikir mencari pekerjaan segampang membalikan telapak tangan?"

Yara menunduk dalam, memang benar apa yang Aarav katakan. Semua tidak semudah yang ia pikirkan, tapi lebih baik ia menderita saat mencari kerja dari pada menjadi wanita pemuas nafsu dari pria di depannya ini.

"Dan lagi, bukannya kau harus bersyukur. Aku sudah membelimu tanpa harus kucicipi lebih dulu. Kau sudah ku beri tempat tinggal yang mewah, makan yang enak. Lalu apa lagi yang kurang?"

Yara menggigit bibirnya kuat, tidak mampu menjawab pertanyaan Aarav karna seharusnya, hidup Yara sekarang memang lebih enak dari pada bersama Ayahnya. Tapi jika apa yang akan terjadi ketika Aarav selesai memakainya? Yara takut ia akan di buang seperti jalang lainnya. Atau lebih parahnya di bunuh dengan sadis.

Sekalipun Yara selalu menyebutkan untuk mati saja, tapi ia tetap saja punya ketakutan tentang kematian. Di dalam hatinya, Yara masih ingin hidup sebentar.

Atau, bagaimana jika permainan mereka tidak aman, lalu Yara menderita penyakit kelamin, sungguh tidak enak sekali. Setidaknya jika ia memang harus mati, ia ingin mati dengan bahagia. Tidak karna penyakit, tidak juga karna dibunuh dengan sadis.

"Jika kau di beli dengan orang lain, sudah di pastikan kau akan langsung di gilir oleh beberapa orang. Cih, dasar wanita tidak tahu malu. Kau membuat moodku menjadi buruk. Pergilah tidur, atau ku tiduri kau sekarang juga."

Yara gelagapan, tanpa menunggu perintah kedua. Ia langsung saja berlari ke arah ranjang. Menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, lalu memejam pelan.

Yara sudah mencoba untuk tertidur, tapi mungkin karna ia tidur siang terlalu lama, atau Aarav yang menyebutnya pingsan. Yara jadi kesulitan untuk tertidur. Tubuhnya bahkan sudah berkeringat, sekarang sudah malam dan Yara bahkan tidak sempat mandi tadi, jadi ia kepanasan.

Yara berusaha menajamkan pendengarnya, sejak ia berbaring ia tidak mendengar apapun. Apa pria itu sudah pergi? Tapi Yara bahkan tidak mendengar suara pintu yang terbuka atau tertutup.

Baru saja Yara ingin membuka sedikit selimut yang menutupinya, Yara di kagetkan dengan lengan seseorang yang memeluknya kuat.

"Aku sudah menyuruhmu untuk tidur. Kenapa tidak menurut, hmm?"

Matilah ia. Bagaimana bisa pria ini tahu, Yara bahkan sudah memastikan jika ia tidak bergerak sedikitpun.

"Di luar hujan deras, sepertinya aku akan bermalam disini."

Tanpa ia sadari, Yara membuka selimut yang menutupi wajahnya dengan cepat. "Apa!"

Aarav terlihat berbaring menyamping ke arah Yara, sebelah tangannya menopang kepalanya agar mudah melihat wajah Yara, dan tangannya yang lain memeluk Yara kuat.

"Kenapa kaget begitu? Kau tahu kan ini adalah kamarku."

Yara mengangguk pelan, "Kalau begitu, biarkan aku tidak di tempat lain."

Aarav terdiam sebentar, "Ah, permintaan yang sulit. Aku tidak bisa tidur sendiri, jadi aku membutuhkanmu di sini."

Yara mengumpat dalam hatinya, terbiasa di temani jalang jadi sulit untuk terlepas sepertinya.

"Kau bisa meminta wanitamu yang lain untuk datang."

Aarav tertawa, "Wanita yang lain ya? Sayang sekali, aku tidak suka sesama wanitaku berada di tempat yang sama."

"Aku bisa bersembunyi, aku janji tidak akan keluar sampai pagi."

Aarav terlihat berpikir, "Akan membutuhkan waktu yang lama untuk membawanya kemari, sedangkan aku sudah sangat mengantuk. Lagi pula, aku sudah tidak sabar untuk menyicipimu."

"Ak-aku, aku tidak mau." Yara menangis. Entah kenapa air matanya luruh, Yara ketakutan. Ia tidak mau memberikan tubuhnya pada orang yang tidak ia kenal. Ia sudah menjaga dirinya selama ini, hanya tinggal inilah harta yang ia miliki. Yara tidak ingin menyerahkannya pada sembarang orang.

Aarav melepas pelukan Yara, dengan tangannya Aarav menghapus air mata Yara. "Kenapa menangis? Apa aku menyakitimu?"

Yara menggeleng, "Ak-aku takut."

"Apa aku semenakutkan itu?"

Yara menggeleng kuat, ia tidak ingin salah bicara. Bisa-bisa ia langsung di terkam.

"Lalu?"

Mencoba berpikir cepat, Yara memutar matanya kesekeliling arah. Mencoba mencari alasan.

"Aku belum mandi, aku takut kau jijik padaku."

Serentak, Aarav tertawa keras. "Tenang saja, aku bukan orang yang jijian. Lagipula, bukannya lebih bagus? Kita bisa mandi bersama setelahnya."

Yara kehabisan akal, setiap ucapannya selalu di balas dengan hal menjijikan. Yara tidak tau harus berucap apa lagi.

"Ak-aku belum siap."

Akhirnya Yara berkata yang sebenarnya. Ia sudah siap di tertawakan, atau bahkan di ejek olehnya.

"Wah, sayang sekali. Tapi aku tidak peduli, siap tidak siap tetap akan ku lakukan."

***

Forgive MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang